Yai Musy

Iman Agama dan Iman Negara

JelajahPesantren.Com – Indonesia adalah negara demokrasi yang berasaskan Pancasila. Dihuni bangsa yang majemuk, Indonesia dinahkodai pemerintah yang menjalankan konstitusi sebagaimana tertuang dalam UUD 1945 dan turunannya.

Status konstitusional ini membatasi. Artinya, pemerintah tidak boleh dan dianggap melanggar konstitusi apabila menjadikan organisasi non-strukturalnya, apalagi yang mewakili keyakinan tertentu, serta tekanan massa sebagai sumber dan rujukan kebijakan.

Yai Musy
Yai Musy

Organisasi ekstra negara yang mewakili identitas keagamaan tertentu bukanlah bagian integral dari struktur formal kenegaraan. Karenanya, jika organisasi itu diberi celah untuk mempengaruhi kebijakan Pemerintah, apalagi mengintervensinya, maka itu sama saja dengan mengakui negara dengan sistem demokrasi yang menjadi rumah bagi kemajemukan, sebagai milik sebagian warganya yang punya identitas keagamaan tertentu.

Domain negara niscaya berbeda dengan domain keyakinan spesifik (bukan nilai universalnya). Apalagi di tengah masyarakat multi keyakinan tapi punya hak dan kewajiban setara. Ini merupakan konsekuensi logis dari sistem demokrasi Pancasila sekaligus sikap realistis demi merawat kebhinnekaan sebagai conditio sine qua non (syarat mutlak bagi eksistensinya).

Dalam memahami relasi agama dan negara, ide “membedakan” keduanya tidaklah sama dengan “memisahkan” keduanya yang bertendensi sekularistik. Membedakan agama dan negara hanyalah sebentuk afirmasi praktis atas batas-batas fungsional keduanya agar tidak bias dan saling tumpang tindih.

Semestinya sangat mudah untuk dipahami bahwa negara berikut aparatusnya, seperti konstitusi, demografi, dan sebagainya mengikat setiap warganya, apapun keyakinan dan keunikan lainnya. Sementara agama berikut hukum, narasi, dan tradisinya mengikat setiap penganutnya di negara manapun.

Dengan kata lain, negara memiliki batas teritorial yang tegas, sedangkan agama tak punya batas-batas geografis maupun demografis apapun. Kecuali jika agama tertentu disepakati oleh suatu masyarakat menjadi dasar negaranya, melalui mekanisme konstitusional dan legal bersama seperti referendum dan semacamnya. Bila tidak, hukum agama berlaku hanya di ranah personal atau komunal (sebatas komunitas penganutnya) selama tidak merugikan hak warga lain yang tak seagama maupun tak semazhab dalam agama yang sama (misal, mazhab Sunni dan Syiah dalam Islam).

Atas dasar itu, pemerintah semestinya tidak mengurusi agama dan aliran atau mazhab intra agama setiap warganya. Kecuali yang terkait dengan perkara administratif dan peraturan yang dimaksudkan untuk menjaga kerukunan antar penganut agama/mazhab. Karena alasan itulah kementerian agama (kemenag) dibentuk sebagai salah satu bagian dari lembaga eksekutif negara. Menteri agama selaku pucuk pimpinan kemenag seyogianya steril dari bias kepentingan agama dan kelompoknya saat melaksanakan fungsi eksekutifnya menjamin hak beragama setiap warga negara. Selain kemenag, organisasi dan perkumpulan apapun tak punya hak dan kewenangan formal maupun legal atas siapapun terkait substansi dan konten keyakinan pihak lain.

Dengan memahami sifat domestikal negara dan watak universal agama, maka memaksakan keyakinan atau agama tertentu terhadap sesama warga negara namun berbeda agama atau mazhab keagamaan, sama saja dengan upaya mengekspansi konstitusi dan hukum khas suatu negara keluar teritori legalnya.

Orang yang beragama sekaligus bernegara dengan bekal rasio takkan berpandangan intoleran dan ekspansionis dalam beragama dan chauvinis, fasis dan rasis dalam bernegara.

Lebih baik dicap sekular daripada dicampur dengan salah satu agama bahkan salah satu aliran dalam satu agama, apalagi satu pola pemahaman yang ekstrem dalam satu aliran agama supaya kebhinnekaan jadi asas nyata, bukan jargon semata.

Allah Swt berfirman: “Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke medan perang). Mengapa sebagian dari setiap golongan diantara mereka tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya”  (QS. At Taubah : 122)

Jangan pernah lelah untuk belajar menjadi orang yang baik, tiada pernah berhenti untuk berbuat kebajikan, serta tidak pernah jenuh untuk senantiasa menebar kasih sayang kepada sesama.

Marilah kita saling nasehat menasehati dalam ketaqwaan dan kesabaran, serta berbagi ilmu pengetahuan. Semoga ikhtiar yang telah, sedang dan akan kita lakukan bisa bermanfaat dan mampu menginspirasi bagi kehidupan kita di dunia maupun kelak di akhirat nanti. Aamiin Yaa Robbal ‘Alamiin, Istajib Du’aanaa Yaa Mujibas Saa’iliin.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *