Kemanusiaan sebagai Literasi Religiositas Ibadah Haji dan Idul Kurban

JelajahPesantren.Com – Bulan Dzulhijjah adalah bulan ke-12, bulan terakhir dalam kaleder hijriyah yang didalamnya ada agenda ritual ibadah haji, yang merupakan rukun Islam ke-5, terakhir. Penempatan tata laksana (kaifiah) rukun Islam terakhir di bulan terakhir ini tentu menarik dikaji sebagai literasi religiositas.

Keefe dan Copeland (2011) mengatakan bahwa literasi meliputi komunikasi, kontak, dan harapan. Interaksi komunikasi, kontak dan harapan melibatkan antar individu yang memiliki potensi untuk pemberdayaan. Sehingga literasi didefinisikan sebagai tanggung jawab bersama setiap individu dalam masyarakat; yaitu mengembangkan pembuatan makna dengan semua mode komunikasi manusia untuk mengirim dan menerima informasi.

Dalam Journal of Islamic Marketing makna religiositas menurut Rahman, dkk (2015) adalah sejauh mana seorang individu berkomitmen dan mengabdi pada agamanya dan sejauh mana agama ini tercermin dalam perilaku dan sikapnya.

Berdasar pernyataan Keefe dan Copeland (2011) dan Rahman, dkk (2015) tersebut, definisi literasi religiusitas adalah ikhtiar yang bersifat kontinum untuk pemberdayaan individual dan komunal dalam mencapai taraf prilaku dan sikap yang mencerminkan ajaran agama yang diimani.

Kakbah Tempo Dulu

Ibadah haji sebagai salah satu rukun Islam adalah sebagai dasar beragama Islam, agama yang kita imani. Dan merupakan landasan atau sebuah fondasi bagi umat Islam agar imannya senantiasa terjaga dalam kehidupan sosial.

Salah satu keutamaan ibadah haji adalah haji mabrur. “Dan haji mabrur tidak ada balasan yang pantas baginya selain surga”. (HR Bukhari dan Muslim).

‘Mabrur’ secara etimologis berakar pada kata barra-yabirru-birrun, artinya berbuat baik atau patuh. Dan, kata birrun yang merupakan mashdar (kata benda) dari kata itu artinya kebaikan. Jadi, kata ‘mabrur’ artinya orang yang mendapatkan kebaikan atau menjadi baik. Hasan (2019) menyebut, haji mabrur adalah haji yang mendapatkan birrun, kebaikan. Haji mabrur adalah haji yang mendapatkan kebaikan atau haji yang (pelakunya) menjadi baik dan atau lebih baik.

Buku Seri Fiqih Kehidupan, Ahmad Sarwat menjelaskan ibadah haji tergolong sebagai ritual yang paling kuno. Syariat ini telah ada sejak masa Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS.

Pendapat lain, bahkan menyebut ibadah haji sudah dilakukan sejak masa manusia pertama, Nabiyullah Adam AS. Lantaran Baitullah atau Ka’bah di Makkah merupakan masjid pertama yang didirikan di bumi, ini merujuk pada QS. Ali Imran [3]: 96. “Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Makkah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia.”

Dan dari sekian banyaknya ritual haji, salah satunya adalah thowaf, berkelilingi mengitari kakbah, baitullah. Jadi esensi haji selain melegasi keimanan adalah mengingat tentang arti kemanusiaan. Karena situs tersebut menjadi petunjuk bagi semua manusia. Pun demikian ritual-ritual haji lainnya sarat akan makna kemanusiaan.

Dikutip dari Buku Tuntunan Manasik Haji dan Umrah yang diterbitkan Direktorat Jendral Penyelenggaraan Haji dan Umrah tahun 1441 H/2020 ditegaskan bahwa mengerjakan haji merupakan kewajiban sekali seumur hidup. Pun demikian Nabi Muhammad SAW setelah hijrah hanya sekali, iya cuma sekali. Tepatnya pada tahun ke-10 Hijriyah. Adalah Haji Wada’ dan menjadi kesempatan bagi Baginda Rasulullah untuk mengajarkan manasik haji kepada umatnya. Yang kala itu diikuti kurang lebih 90 ribu orang.

Musim haji 2022, saudigazette.com.sa melaporkan ada satu juta jamaah dari seluruh penjuru dunia hadir. Dengan kalkulasi, kuota 150.000 jamaah domestik (Arab Saudi) dan 850.000 jamaah asing. Kalkulasi jamaah asing, jamaah haji Indonesia merupakan terbesar dengan angka 100.051 jamaah, disusul Pakistan dan India masing-masing 81.132 dan 79.237 jamaah. Tiga besar negara yang memiliki populasi muslim global.

Ada 100.051 jamaah haji Indonesia tahun ini, semoga mendapatkan gelar haji mabrur, literasi religiositas mereferensikan internalisasi nilai-nilai keimanan dan kemanusiaan dalam kehidupan sosial masyarakat setelah berhaji.

Kemanusiaan dan Idul Kurban

Tidak semua muslim berkesempatan menjalankan ibadah haji, selain terkait kemampun fisik dan finansial juga faktor kuota haji. Banyak diantara kita memiliki kedua kemampuan tersebut tapi karena faktor kuota sehingga masuk dalam waiting list haji. Sehingga ada keterbatasan dalam memaknai haji dalam literasi religiusitas ber-Islam.

Karenanya dalam waktu dan momentum yang beriringan ritual haji, ada perayaan Idul Adha atau idul kurban. Harapannya tentu juga mendapatkan pengalaman beragama, literasi religiositas ber-Islam.

Supianudin (2020) menegaskan bahwa secara semantik, dari bahasa asalnya, istilah Idul Adha mempunyai keberhubungan makna dengan istilah-istilah lainnya, diantaranya dengan kata nahr dan żabaha.

Kata nahr diwujudkan sebagai kata kerja perintah yang diletakkan secara paralel dengan kata Salat pada Surat al-Kautsar [108]: 2, “Maka laksanakanlah Salat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah (sebagai ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah).” Dan secara harfiah, kata nahr  berarti menyembelih, mengalirkan darah hewan kurban.

Kata żabaha disajikan dalam teks Al-Quran diantara dengan bentuk  “ażbahuka” dalam konteks peribadahan dengan berkurban. Sehingga terma Idul Adha sering juga disebut dengan Idul Kurban.

Ritual ibadah kurban adalah salah satu bentuk literasi religiositas untuk menapaktilasi pengorbanan Nabiyullah Ibrahim AS. atas anak semata wayangnya kala itu, Nabiyullah Ismail AS. Narasi peristiwa heroik ini terabadikan dalam QS. As-Saffat [37]: 102-108.

Sejarah kurban, jauh sebelum peristiwa tersebuat adalah kurban Habil dan Qabil, anak Nabiyullah Adam AS. Kurban berawal dari kausal perselisihan kedua anaknya. Singkat cerita, atas petunjuk Allah SWT, Nabiyullah Adam AS. memerintahkan kedua anaknya untuk berkurban dalam mencari solusi atas perselisihan yang terjadi. Barang siapa yang kurbannya diterima oleh Allah SWT, dialah yang memenangi perselisihan.

Syekh Fakhruddin al-Razi (w. 1210 M), dalam Mafatih al-Ghaib, menjelaskan, jika kurban mereka diterima, maka persembahan kurbannya akan disambar oleh api yang turun dari langit sebagaimana pendapat mayoritas ahli tafsir.

Habil yang berprofesi sebagai peternak, mempersembahkan kurbannya dengan seekor kambing dan Qabil yang berprofesi sebagai petani, mempersembahkan kurbannya berupa hasil bumi miliknya. Hanya saja, Qabil berkurban dengan hasil tanaman yang buruk, lain dengan Habil yang berkurban dengan seekor kambing pilihan terbaik miliknya.

Walhasil, kurban Habil yang diterima. Namun kedengkian menyelimuti jiwa Qabil dan akhirnya membunuh Habil, rentetan peristiwa kurban dan berujung tragedi kemanusian ini diabadikan dalam QS. Al-Ma’idah [5]: 27.

Menurut Syekh Jalaluddin Al-Mahalli dalam Kitab Tafsir Al-Quran, kambing kurban Habil tersebut digunakan sebagai ganti dari penyembelihan yang dilakukan Nabiyullah Ibrahim AS atas Ismail AS. Adalah sembelihan yang agung (dzibhul azhim).

Sehingga ritual ibadah Idul Kurban identik dengan penyembelihan hewan kurban sebagai ibrah peristiwa sejarah kemanusiaan tersebut untuk literasi religiositas. Setidaknya ada tiga, yaitu: Pertama, berkurban terkait dengan ketakwaan seseorang. Takwa inilah yang dinilai Allah dalam berkurban, ”Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhoan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.” (QS. Al-Hajj [22]: 37).

Kedua, Simbol penyembelihan hewan kurban dengan menumpahkan darah hewan adalah menanggalkan sifat-sifat kebinatangan yang melekat pada diri manusia.

Dan ketiga, secara sosial kemasyarakatan bertujuan membantu sesama, terutama yang kurang mampu melalui pendistribusian daging kurban kepada mereka. Sebagai bentuk kemurahan hati orang yang berkurban kepada sesama manusia. Melalui pembagian daging hewan kurban bentuk ikhtiar menerciptakan kebersamaan dan persaudaraan antara sesama Muslim dan umat manusia secara keseluruhan. Akhirnya, Wallahu a’lamu bi al-shawab.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *