Pemaknaan Kiai dan Santri – Bagian 1

JelajahPesantren.Com  –  Ada ilustrasi popular di kalangan pesantren seputar interaksi antara kiai dan santri. Dahulu ada seorang santri yang dilarang kiai untuk mengikuti pengajian di pesantren, malah sang kiai memberi tugas mengembalakan ternak milik kiai. Didasari keyakinan kuat si santri melaksanakan tugas dengan tekun dan istiqomah sebagai wujud ketaatan dan pengabdian pada guru, tanpa protes apalagi demo tentunya.

Waktu terus berjalan, setelah beberapa tahun berlalu kiai kedatangan tamu istimewa, orang sakti atau istilah lain disebut orang pintar. Dia ingin “ngetes” linuwih kiai, tamu tadi membawa kaleng berisi air yang bagian bawahnya kosong dan berisi kotoran ayam.

Tamu : “kiai, bagaimana cara mengeluarkan kotoran ayam ini tanpa membuat air menjadi najis?”

Lama kiai memandangi kaleng tadi sambil berpikir. Kalau kotoran ayam diangkat, maka akan pecah dan menyebar sehingga air jadi najis. Saat merenung dan berpikir, tiba-tiba kiai teringat salah satu santri yang dahulu beliau beri tugas mengembala ternak.

”cong sini cong… !“ panggil kiai pada salah satu khadamnya.

Khadam : “Dalem Kiai”

Kiai : “Panggilkan santri tukang angon, suruh menghadap saya”

Khadam : “Engeh Kiai”

Khadam berangkat menemui santri angon yang ditunjuk kiai. Selang beberapa waktu, khadam kembali ke dalem bersama santri angon. Kiai mengutarakan permasalahan yang sedang dihadapi.

“Bagaimana, kamu bisa bantu saya” Tanya kiai.

“Insyaallah kiai” jawab santri angon.

Dengan langkah pasti, santri angun mendekati kaleng tadi, dengan membaca bismillah, dia menjulurkan tangannya ke air dalam ember. Sungguh luar biasa, air dalam ember tiba-tiba berubah menjadi bongkahan es sehingga dengan mudahnya santri angun mengangkatnya keluar dari kaleng kemudian membersihkan kotoran ayam di bawahnya. Setelah selesai bongkahan es tadi dikembalikan dan dengan bacaan bismillah kembali menjadi air.

Ada beberapa bahan analisis dari ilustrasi di atas yang menarik untuk dibahas. Kiai sosok pertama yang urgen dan menarik untuk dikaji, selanjutnya santri tentunya tak kalah menarik diperbincangkan.

Di dalam Hindu, ada dua jenis guru, yaitu guru keraton dan guru pertapa. Guru jenis pertama mendapat perlindungan dan gaji dari raja, sedangkan guru jenis kedua hanya mendapat perlindungan saja. Guru keraton diangkat dan dipilih oleh raja, sedangkan guru pertapa diakui karena “lelaku” pertapaannya. Lantas, bagaimana dengan kiai?

Dalam tinjauan historis, legitimasi gelar kiai tidak muncul dari prestasi akademik, tapi muncul dengan sendirinya dari pengakuan masyarakat. Basis kemunculan gelar kiai inilah berimbas pada pengakuan dan filter yang ketat. Masyarakat akan memberi gelar kiai apabila seseorang telah memiliki “linuwih” yang melekat pada dirinya, baik dari sisi keilmuan maupun sisi-sisi yang lain. Dengan begitu, apa pun fatwa dan perintahnya menjadi sakral dan diyakini mengandung kebenaran dan kebaikan, ini menjadi landasan ketaatan pada kiai.

Gelar kiai tidak bisa diwariskan, dalam artian seorang putra kiai, yang populer dengan sebutan gus, belum tentu selanjutnya menjadi kiai, bergantung pada sisi-sisi positif yang melekat padanya. Ada kasus seorang kiai salah satu tharikah malah menyerahkan kepemimpinannya pada salah satu santri dan bukan pada putra beliau. Terkadang ada gus yang sampai wafat tetap gus, tidak naik “pangkat” menjadi kiai.

Sejalan transformasi sosial kekinian, terlepas dari su-uddzan, penyematan gelar kiai menjadi kabur dan menarik saat diperbincangkan. Suatu ketika di suatu daerah ada pendatang menanyakan alamat kiai “A”, tapi masyarakat di situ tidak mengenal kiai “A”, yang ada si “A” tapi bukan kiai. Fenomena ini menarik, bagaimana bisa seseorang bergelar kiai di daerah tertentu justru tidak di daerahnya sendiri ?

Mohon maaf sebelumnya, penulis hanya mencoba menganalisis fakta bukan bermaksud menyinggung perasaan perorangan. Dari beragam proses penyematan gelar kiai, muncul istilah-istilah kategori kiai, di antaranya ada kiai SK, kiai politik, kiai pesanan atau promosi, kiai dukun, kiai warisan, kiai medsos, kiai surban dan lain sebagainya.

Kiai SK disematkan kepada seseorang karena menjadi pimpinan asrama tertentu dalam sebuah lembaga atau istilah lain menjadi pengasuh asrama dengan SK lembaga yang menaunginya. Kiai politik biasanya dihembuskan gelar kiai tersebut oleh anggota parpol tertentu pada seseorang dengan tujuan penguatan dari partainya. Ada juga yang sengaja minta teman atau saudaranya, dalam acara tertentu, untuk disebut kiai agar diikuti yang lain. Dukun bisa dianggap kiai juga karena ilmu kedukunannya. Bisa juga seorang gus secara otomatis menjadi kiai sepeninggal abahnya. Yang lebih parah lagi, ada yang sengaja menyematkan kiai di depan namanya sendiri dan diunggah di medsos. Yang lucu, ada juga yang karena ingin disebut kiai, maka dia memakai pakain ala kiai lengkap dengan jubah dan serbannya.

Kembali mengingat ilustrasi di atas, pertanyaan besar yang muncul adalah “masih mungkinkah seorang ‘kiai’ zaman sekarang menghasilkan santri seperti dalam ilustrasi di atas ?” lebih lanjut pertanyaan kedua “beranikah seorang ‘kiai’ memerintahkan santrinya seperti dalam ilustrasi di atas ?”.

Wallahu a’lamu bi al-shawab

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *