Waktu dan Pemuda Gua

Menyelami Persepsi tentang Waktu: Refleksi Pengalaman Beatriz Flamini dan Kisah ‘Ashabul Kahfi’ Menurut Perspektif Psikologi Islam dan Metafisika

JelajahPesantren.Com – Pada tanggal 15 April 2023, kantor berita Reuters merilis sebuah berita yang cukup mengejutkan sekaligus menginspirasi. Beatriz Flamini, seorang atlet ekstrim asal Spanyol, mencapai prestasi monumental dengan menyelesaikan misi 500 hari hidup dalam sebuah gua yang berada di dekat Granada, Spanyol. Prestasi ini bukan hanya sebuah pencapaian fisik, tetapi juga sejauh mana manusia dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan yang tidak biasa dan bagaimana persepsi waktu dapat berubah dalam situasi isolasi ekstrem.

Flamini, seorang pendaki gunung berpengalaman, memulai misi ini pada 20 November 2021, di usianya menjelang 50 tahun. Pada saat itu, dunia masih belum pulih dari pandemi COVID-19, konflik Ukraina belum terjadi, dan Ratu Elizabeth II masih berkuasa di Inggris. Dia mengejar misi ini di tengah kehidupan yang bergerak cepat, dan ketika dia kembali, dunia telah berubah.

Waktu dan Pemuda Gua
Waktu dan Pemuda Gua

Misi Flamini dilakukan dalam pengawasan ilmuwan yang tengah mempelajari pikiran manusia dan ritme sirkadian. Selama 500 hari, Flamini hidup 70 meter di bawah permukaan tanah, mengalami isolasi total dan hampir tanpa kontak dengan dunia luar. Namun, Flamini menghadapi tantangan ini dengan semangat yang luar biasa tinggi dan menggunakannya sebagai kesempatan untuk fokus menyelesaikan bukunya. Pengalaman ini juga memberikan data berharga bagi ilmuwan untuk memahami dampak isolasi ekstrim pada pikiran dan perilaku manusia.

Ketika Flamini keluar dari gua pada 12 April 2023, dia merasa seolah-olah hanya telah berada di dalam gua selama sekitar 160-170 hari, bukan 500 hari. Fenomena ini memberikan kita wawasan baru tentang bagaimana persepsi waktu dapat berubah dalam situasi isolasi ekstrem.

Biasanya, manusia mendefinisikan waktu berdasarkan rutinitas sehari-hari dan interaksi sosial. Misalnya, matahari terbit dan terbenam, bekerja, dan berinteraksi dengan orang lain menjadi penanda berlalunya waktu. Namun, Flamini tidak memiliki penanda-penanda tersebut dalam kegelapan gua. Ini memungkinkan kita untuk melihat lebih dalam tentang peran waktu dalam kehidupan kita dan bagaimana persepsi kita tentang waktu dapat berubah dalam kondisi ekstrem.

Pengalaman Flamini mengingatkan kita pada kisah ‘Ashabul Kahfi’, atau ‘Pemuda-pemuda Gua’, yang diceritakan dalam Al-Quran Surat Al-Kahfi (18:9-26). Dalam cerita tersebut, sekelompok pemuda yang beriman melarikan diri dari penindasan agama dan mencari perlindungan dalam gua. Mereka tidur selama 309 tahun dan terbangun tanpa menyadari berapa lama mereka telah tidur, mirip dengan bagaimana Flamini kehilangan jejak waktu di dalam gua. Baik Flamini maupun ‘Ashabul Kahfi’ telah membuktikan bahwa waktu, dalam beberapa hal, adalah konstruk manusia yang bisa menjadi tidak relevan dalam situasi-situasi tertentu.

Dalam konteks psikologi Islam, konsep waktu dianggap sebagai sesuatu yang relatif dan subjektif. Al-Quran mencatat dalam Surah Al-Asr (103:1-3) bahwa manusia berada dalam kerugian, kecuali mereka yang beriman, berbuat baik, saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran. Dengan demikian, nilai waktu tidak hanya ditentukan oleh durasi, tetapi juga oleh kualitas tindakan yang dilakukan dalam periode tersebut.

Dari perspektif metafisika, waktu dianggap sebagai dimensi yang membentang antara masa lalu, sekarang, dan masa depan, yang berarti tidak ada batas yang pasti. Hal ini terbukti dalam pengalaman Flamini, di mana kurangnya interaksi sosial dan informasi dari dunia luar membuatnya merasa seolah-olah waktu berhenti. Namun, meski waktu tampaknya berhenti, Flamini tetap konsisten dalam menjalankan rutinitasnya, mempertahankan keseimbangan psikologis dan spiritualnya, menunjukkan konsep lokus kendali internal dalam psikologi.

Pengalaman Flamini dan kisah ‘Ashabul Kahfi’ memberikan kita wawasan baru tentang bagaimana kita memahami dan mengalami waktu. Mereka menunjukkan bahwa ketika kita melepaskan diri dari tekanan waktu dan memfokuskan diri pada tujuan dan aspirasi kita, kita dapat mencapai tingkat ketahanan mental dan spiritual yang luar biasa.

Flamini, mampu memanfaatkan waktu ‘tak terbatas’ ini untuk berfokus pada dirinya sendiri dan tujuan yang dia inginkan, seperti menyelesaikan bukunya. Ini menunjukkan bahwa waktu bukanlah penghalang, melainkan alat yang dapat kita gunakan untuk keuntungan kita sendiri, jika kita memilih untuk mengendalikannya. Pengalaman Flamini dan kisah ‘Ashabul Kahfi’ memberikan pelajaran berharga tentang bagaimana kita memahami dan memanfaatkan waktu. Mereka mengajarkan kita bahwa kualitas waktu lebih penting daripada kuantitasnya, dan ini adalah pelajaran yang sangat penting dalam dunia modern yang serba cepat ini.

Di sisi lain, ‘Ashabul Kahfi’, dalam kisah mereka, tidur selama ratusan tahun tanpa menyadari berapa lama waktu telah berlalu. Mereka, seperti Flamini, juga terisolasi dari dunia luar dan tidak memiliki penanda waktu tradisional. Namun, mereka juga menunjukkan tingkat ketahanan spiritual yang tinggi, mempertahankan iman dan keyakinan mereka sepanjang waktu.

Kisah-kisah ini menunjukkan bahwa, meskipun waktu adalah konstruk manusia, kita memiliki kemampuan untuk mengendalikannya dan memanfaatkannya untuk kepentingan kita. Baik Flamini maupun ‘Ashabul Kahfi’ menghabiskan waktu mereka dengan cara yang bermakna, menunjukkan bahwa nilai sejati waktu bukan terletak pada berapa lama kita menghabiskannya, melainkan pada apa yang kita lakukan dengannya. Mereka menunjukkan bahwa waktu bisa menjadi alat yang kuat untuk pertumbuhan dan perkembangan pribadi jika kita memilih untuk mengendalikannya dan memanfaatkannya dengan bijak.

Mengingat bahwa hidup di dunia modern serba cepat ini seringkali membuat kita merasa terbebani oleh waktu, pengalaman Flamini dan kisah ‘Ashabul Kahfi’ memberikan perspektif yang berharga. Mereka mengajarkan kita bahwa, meskipun waktu bisa menjadi beban, kita memiliki kemampuan untuk mengubahnya menjadi sumber kekuatan. Mereka mengajarkan kita bahwa, dengan mengendalikan waktu dan memfokuskan diri pada tujuan dan aspirasi kita, kita dapat mencapai tingkat ketahanan mental dan spiritual yang luar biasa.

Maka, melalui pengalaman Flamini dan kisah ‘Ashabul Kahfi’ ini, kita diajak untuk merenungkan kembali tentang bagaimana kita memandang dan menggunakan waktu. Apakah kita memandang waktu sebagai beban atau sebagai alat? Apakah kita menggunakan waktu kita untuk memenuhi tuntutan dan tekanan eksternal atau untuk mencapai tujuan dan aspirasi kita? Apakah kita menghabiskan waktu kita dengan cara yang bermakna atau hanya membiarkannya berlalu begitu saja? Dengan mempertanyakan cara kita memahami dan menggunakan waktu, kita mungkin akan menemukan cara baru untuk menjalani kehidupan yang lebih efektif, efisien dan bermakna. Wallahu a’lam bishawab.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *