Muhasabah Nuzul Al-Quran: Menumbuhkan Kembali Semangat Anak Belajar Al-Quran

JelajahPesantren.Com  –  Tidak sedikit anak-anak zaman ini yang enggan mengaji serta belajar mengaji al-Quran ketika mereka sudah “merasa” besar (dewasa). Padahal mereka terbilang masih anak-anak. Ukuran “merasa” besar di sini adalah anak-anak yang sudah tamat pendidikan dasar (SD) atau sederajatnya. Mereka “merasa” bahwa belajar dan mengaji al-Quran sudah tidak wayahe (waktunya) lagi, karena mareka sudah “merasa” dewasa. Padahal sekali lagi usia mereka masih dalam kategori anak-anak.

Ada beberapa faktor yang membuat mereka enggan mengaji al-Quran sampai mereka tidak suka datang ke tempat-tempat Taman Pendidikan al-Quran (TPQ) untuk belajar al-Quran. Pertama, Anak-anak yang sudah tamat SD atau sederajatnya ini “merasa” paling besar di antara peserta TPQ yang lain, karena peserta TPQ umumnya adalah anak-anak kecil seusia TK dan paling tinggi sampai seusia kelas enam SD. Di samping secara tinggi badan mereka lebih besar, juga secara akademik mereka sudah selesai untuk ukuran anak-anak peserta TPQ, yaitu sudah tamat SD atau sederajatnya.

Kedua mereka merasa sudah lama mengaji dan belajar al-Quran di TPQ, yaitu ketika mereka ketika masuk TK atau minimal ketika mereka mulai duduk di bangku SD atau sederajatnya. Jadi, mereka rasa tujuh atau enam tahun saat masih duduk di TK atau hingga tamat SD itu adalah waktu yang cukup lama dan sudah “dirasa” cukup belajar dan mengaji al-Quran.

Ketiga, anak-anak ini merasa malu karena mereka adalah anak yang paling besar di antara peserta TPQ. Mereka malu karena tidak ada teman yang sebaya dengan mereka, sedangkan teman-teman yang sebaya dengan mereka banyak yang sudah tidak lagi belajar dan mengaji al-Quran. Teman-teman mereka berhenti karena beberapa alasan, ada yang karena pindah sekolah meneruskan ke jenjang SLTA sehingga tidak lagi satu sekolah di tingkat SLTA nya, ada pula karena pengaruh lingkungan teman-teman baru di sekolahnya yang baru, dan ada pula karena orang tuanya yang pindah tugas (tempat kerja). Lebih terasa malu lagi untuk datang belajar dan mengaji al-Quran  apabila anak-anak ini – sudah “merasa” besar – masih juga belum bisa mengaji al-Quran secara baik dan benar sehingga mereka merasa minder dengan peserta TPQ lainnya.

Keempat, orang tua yang cenderung tidak memperhatikan mengaji al-Quran atau belajar al-Quran si anak, atau bahkan tidak tahu menahu si anak sudah bisa mengaji al-Quran atau belum. sehingga si anak merasa bebas ingin mengaji serta belajar atau tidak.

Kelima, tidak adanya daya paksa – tidak seperti sekolah-sekolah formal pada umumnya – yang mengharuskan peserta didiknya harus rajin masuk. Belajar mengaji al-Quran di TPQ hanya berangkat dari kesadaran masing-masing individu orang tua maupun si anak. Sangat kurang perhatian kita akan Al-Quran, bahkan, para pengajar di TPQ pun dibayar hanya se ikhlasnya saja. Sebenarnya disekolah-sekolah formal –khususnya yang berada di bawah naungan Kemenag – ada juga pelajaran al-Quran yang di kemas dalam mata pelajaran, semisal mata pelajaran al-Quran – Hadis (QurDis), tetapi melihat alokasi waktu yang hanya kurang lebih 1-1,5 jam per minggu beserta kurang terfokusnya pengajaran kepada al-Quran, maka membuat pembelajaran al-Quran ini kurang maksimal, lebih lagi pelajaran ini hanya masuk dalam kategori pelajaran mulok (Muatan Lokal) sehingga kurang menarik minat siswa untuk memberikan perhatian lebih terhadap mata pelajaran ini.

Kelima faktor di atas merupakan pandangan sementara penulis pribadi yang di temukan di lapangan. Barangkali di sana masih ada beberapa faktor yang lain sehingga membuat anak-anak malas belajar dan mengaji al-Quran.

Secara umum kelima faktor di atas barangkali dapat di cegah dengan adanya perhatian dari lingkungan, khususnya lingkungan keluarga, atau dalam hal ini adalah orang tua. Orang tua ketika mendapatkan si anak sudah tamat SD atau sederajatnya tetapi kemudian si anak malas mengaji atau belajar al-Quran, maka orang tua bisa mencari tahu langsung penyebabnya. Jika penyebabnya adalah karena “merasa” besar, sudah dewasa, alangkah baiknya jika orang tua memperingatkan si anak untuk tetap mengaji dan belajar mengaji, atau bahkan memaksa si anak supaya tidak putus mengaji dan belajar al-Quran (namun tentu dengan cara-cara yang baik, dengan tetap memperhatikan kondisi psikis atau mental si anak).

Dalam momentum bulan al-Quran ramdhan yang mulia ini, di mana al-Quran nuzul (turun) di dalamnya, mari kita luangkan waktu mengajak anak-anak kita untuk duduk bersama, kita sebisa mungkin memberikan penyadaran kepada mereka, bahwa tidak baik “merasa” besar atau dewasa ketika hendak mengaji atau belajar al-Quran, Nabi Agung Muhammad s.a.w saja mulai belajar al-Quran sejak ketika beliau sudah berumur empat puluh tahun, tepatnya ketika beliau menerima nuzul (turunnya) wahyu di Gua Hira. Maka ketika kita “merasa” dewasa untuk mengaji dan belajar al-Quran seharusnya kita malu kepada beliau Nabi saw.

Nabi Muhammad s.a.w sendiri tidak pernah merasa malu apalagi minder walaupun beliau belajar al-Quran kepada makhluk yang derajatnya lebih rendah dari dirinya, yaitu Malaikat Jibril. Bahkan Nabi saw., suka meminta sahabat-sahabatnya yang lebih muda membacakan al-Quran untuk dirinya. Maka buat apa malu apalagi minder untuk belajar dan mengaji al-Quran walaupun seandainya teman kita belajar dan mengaji adalah lebih muda usianya dari kita.

Jika si anak ini “merasa” bahwa mengaji atau belajar al-Qurannya sudah terlalu lama, mungkin kondisi ketekunan Nabi Muhammad s.a.w. bisa dijadikan contoh. kita bisa menjelaskan kepada si anak bahwa Nabi Muhammad s.a.w sebagai junjungan dan panutan kita sebagai umatnya, beliau mengaji dan mempelajari al-Quran sangat lama bahkan tidak ada batasannya di dunia, beliau membaca dan mempelajari al-Quran hingga sampai beliau meninggal dunia.

Kemudian yang lebih penting adalah orang tua harus memberikan contoh secara nyata, paling tidak setiap siang atau malam hari meluangkan waktu khusus untuk mengaji, lebih baik lagi -kalau bisa- kemudian men-tadabbur-i (merenungkan) ayat-ayat yang sudah dibacanya. Kemudian minimal dalam dua minggu atau satu bulan sekali bisa meluangkan waktu ikut majelis taklim.

Anak merupakan penerus orang tua, masa depan anak sangat besar kemungkinan ditentukan oleh apa yang dia lakukan hari ini. Jadi, alangkah baiknya jika orang tua mengontrol mengaji atau belajar al-Qurannya si anak, si anak sudah bisa mengaji dengan baik dan benar atau belum, syukur-syukur jika sudah baik dan benar mengajinya kemudian ditingkatkan pada pembelajaran pemahaman tentang kandungan yang di bacanya. Orang tua tidak perlu minder untuk memperhatikan mengaji atau belajar al-Qurannya si anak, walaupun –apabila- si orang tua masih “belepotan” mengaji al-Qurannya. Kesungguhan dari perhatian orang tua membuat si anak akan terus terlecuti untuk mengaji dan belajar al-Quran, asalkan si orang tua mau istiqamah memberikan contoh meluangkan waktu khusus untuk mengaji al-Quran serta meluangkan waktu hadir di majelis-majelis pengajian.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *