Ilustrasi-jelajahpesantren

Bekerja sebagai Aplikasi Ibadah

JelajahPesantren.Com – Bekerja Bersama Tuhan. Seringkali kita meng’Tuhan’kan akal dan pikiran kita untuk mempertahankan kehidupan ini. Sehingga akal selalu dipuja-puja, akal adalah alat menuju kesuksesan, yang tidak sesuai dengan rasionalitas akal kita itu adalah kesesatan. Sungguh ironis. Semua kehidupan di dunia ini kita kalkulasi dengan angka-angka aritmatika, selalu menghitung untung, sehingga menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Tak pernah terpikir lagi mana halal dan mana haram.

Pertanyaannya sekarang adalah, masih adakah pekerjaan yang menggunakan hati, yang memposisikan Tuhan sebagai ‘teman kerja’?

Islam adalah agama yang paling benar. Allah SWT hanya ridha pada Islam sebagai pegangan hidup kita. Islam adalah rahmatan lil alamin. Islam mengajarkan keseimbangan dunia dan akhirat. Mari kita simak ayat-ayat berikut:

Ilustrasi-jelajahpesantren
Ilustrasi-jelajahpesantren

”Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Al-Qashash 28:77)

”Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mukmin, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik.”  (QS. Al Israa’ 17:19)

Rasulullah SAW, menegaskan kepada kita sebagai ummatnya agar bekerja untuk dunia setelah selesai urusan akhirat, sabdanya: ”Kewajiban berikutnya bagi orang yang melakukan shalat adalah mencari nafkah dengan jujur”. Jujur ini mari kita maknai dengan arti “bersungguh-sungguh”. Mari kita simak ayat berikut:

”Apabila telah melaksanakan shalat (Jumat), bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah, dan selalu ingatlah Allah supaya kamu beruntung.” (QS. Al-Jum’ah 62: 10)

Memaksimalkan Anugerah Akal

Agama saat ini hanya sekedar dianggap sebagai tren atau gaya hidup (semoga kita terhindar). Banyak dari kita yang seringkali meremehkan ajaran agama, meninggalkan ibadah wajib dengan sengaja. Kita sering berbicara tentang keberadaan Tuhan, tetapi ketika melakukan aktivitas duniawi sering melupakan keberadaan Tuhan. Tuhan seolah-olah tidak ada. Ironis!.

Akal selalu menjadi tumpuan kita, akal kita anggap sebagai Tuhan. Padahal Islam menempatkan posisi akal sebagai tools untuk memperkokoh ketakwaan kita pada Allah Swt:

“Dan apabila kamu menyeru (mereka) untuk (mengerjakan) sembahyang, mereka menjadikannya buah ejekan dan permainan. Yang demikian itu adalah karena mereka benar-benar kaum yang tidak mau mempergunakan akal.” (QS. Al Maa’idah 5:58)

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): ‘Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka’.” (QS. Ali ‘Imran 3:190-191)

Akal, sesungguhnya adalah pembeda kita dari mahluk yang lain. Islam mengajarkan kita untuk mengoptimalkan. Dengan akal, kita mengeksplotasi dan mengelaborasi ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan secara menyeluruh, yang menyangkut dunia dan akhirat. Al-Quran adalah kitab suci, yang kita imani dan yakini sebagai sumber dari segala sumber ilmu. Bahkan keilmuan barat telah membuktikan kebenarannya. Al-Quran menyuruh afala yandzuruna, afala ta’qiluna, bekerja pada amal-amal yang menghasilkan ilmu.

”Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: ‘Berlapang-lapanglah dalam majlis’, maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: ‘Berdirilah kamu’, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Mujaadilah 58:11)

Islam mengajarkan kita untuk selalu menuntut ilmu. Rasulullah SAW menyampaikan: “Menuntut ilmu itu wajib bagi muslim laki-laki dan perempuan“. “Tuntutlah ilmu dari ayunan hingga liang lahat“.

Dalam kehidupan saat ini, penuh kompetitif, penggunaan akal untuk kehidupan sehari-hari. Akal digunakan untuk berhubungan dengan orang lain. Gunakan akal untuk hal-hal yang baik. Jangan sampai ungkapan “Jamane jaman edan, nek ora edan, ora keduman” sebagai landasan hidup kita.

Hak Untuk Kaya

Orientalis selalu menyebarkan anggapan bahwa Islam bersifat deterministik atau bergantung pada takdir, manusia tidak punya kekuatan, setiap usaha adalah sia-sia, karena semua sudah diatur oleh Tuhan. Orang kaya memang ditakdirkan kaya oleh Tuhan, dan sebaliknya, miskin itu juga takdir.

Bahkan, Max Weber (1864-1920), mengatakan Islam melupakan urusan duniawi, tetapi Bernstein dalam bukunya Power of God (2004) mengatakan justru etos bisnis muslim itu sangat kuat. Memang benar, Rasulullah SAW adalah contoh nyata, beliau adalah pebisnis sejati yang sukses.

Allah SWT menjamin dan bahkan memberikan hak kepada setiap hamba-Nya untuk kaya. Tetapi tentu saja dengan cara-cara yang halal, kerja keras atau berwirausaha. Untuk kita ingat bersama, bahwa kekayaan yang nantinya kita peroleh itu sesungguhnya adalah ujian dan cobaan.

”Dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. al-An’am 6:165)

Islam itu sangat komprehensif dan universal dalam memandang berbagai aspek kehidupan, termasuk di dalamnya bagaimana memotivasi diri dalam memenuhi kebutuhan hidup baik dengan bekerja dan berusaha.

”Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” (QS. Al Mulk 67:15)

Menuruf Yusuf Al-Qaradhawi (1977), kata bekerja dalam makna ayat tersebut adalah usaha yang dilakukan seseorang, sendirian atau kelompok untuk menghasilkan suatu barang atau jasa. Untuk itu manusia mulai berperilaku tidak baik, bersaing dengan cara-cara yang tidak dibenarkan oleh agama, mereka mulai meninggalkan Tuhan. Padahal Allah SWT itu sangat dekat dengan kita, dalam semua aspek hidup kita, termasuk dalam bekerja.

”Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS. Al Baqarah 2:186)

Manusia memiliki hati dan akal, gunakan untuk merasakan kehadiran Tuhan dalam semua aktivitas kerja kita. Bukankah dua malaikat selalu menyertai kita dan mencatat gerak-gerik kita dan melaporkannya kepada Tuhan tanpa manipulasi sedikitpun? Ini harus kita sadari. Rasulullah SAW mencontohkan bagaimana berbisnis yang baik, yaitu dengan melakukan kejujuran, sebagaimana sabdanya , “Pedagang yang jujur lagi terpercaya kelak akan tinggal bersama para nabi, shiddiqin dan syuhada” (HR. Tirmidzi)

Lalu, bagaimana melibatkan Tuhan dalam pekerjaan kita? Wallahu a’lam bishawab.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *