Iqra’, iqra’, Ya Muhammad!

JelajahPesantren.Com – Roqqot ‘ainaa yashaukhon || Wali Toibatadhar fata ‘ishqon || Fa’ataytu ila habibi, fahda’ ya qalbu warifqon || Salli ‘ala Muhammad || Assalamu alayka ya, Ya Rosululloh || Assalamu alayka ya habibi, Ya NabiyyaAllah ( … 2x) || Ya Rasulullah || Qolbun bil Haqqi ta’allaq || Wabi ghari hira’a ta’allaq || Yabki yas’alu khaliqahu || Fa’atahul wahyu fa’ashraq || Iqra’ iqra’ ya Muhammad

Beberapa minggu ini penulis mendadak ingin mendengarkan syair diatas secara berulang-ulang, akhirnya tertarik mencari terjemahan syair di atas, dan menemukan arti secara bebasnya sebagai berikut:

Kedua mataku penuh kerinduan || Dan meneteskan air mata karena hilang Taiba || Aku datang menuju kekasihku || Ketentraman, Sanubariku dan menjadi lemah lembut || Berselawatlah kepada Muhammad || Semoga diberikan keselamatan atasmu Wahai Utusan Allah || Semoga diberikan keselamatan atasmu duhai kekasihku || Hati yang melekat pada kebenaran Mutlak || Dan yang mulai bersinar dalam Gua Hira || Menangis dan meminta (kepada) Pencipta-Nya || maka ketika wahyu datang kepadanya || dia bersinar || Baca, Wahai Muhammad, bacalah!

Ada pesan yang mendalam dalam syair di atas adalah tentang iqra’ atawa membaca, lebih spesifik lagi adalah perintah untuk membaca, yang secara spiritual merupakan wahyu pertama dari Allah kepada Nabi Muhammad: (1) Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan; (2) Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah; (3) Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah; (4) Yang mengajar (manusia) dengan perantaran qalam (pena); (5) Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (QS. al-Alaq [96]:1-5).

Dari Aisyah Ummul Mukminin radliyallahu ‘anha, ia berkata: “Permulaan wahyu yang diterima oleh Rasulullah adalah ar-ru’ya ash-shalihah (mimpi yang baik) dalam tidur. Biasanya mimpi yang dilihatnya itu jelas laksana cuaca pagi. Kemudian beliau jadi senang menyendiri; lalu menyendiri di gua Hira untuk bertahannuts. Saat bertahannuts inilah wahyu pertama diterima, iqra, bacalah.

Wahyu pertama dalam QS. al-Alaq [96]:1-5 menyebut term iqra’ sebanyak 2 (dua) kali, ada pengulangan atas perintah membaca. Sebuah perintah yang merupakan wahyu pertama dan utama, karenanya membaca harus dimaknai secara tekstual dan kontestual. Dua pemaknaan yang merujuk pada teks dan konteks, teks berupa manuskrip dan konteks berupa alam semesta baik manuskrip ataupun alam semesta adalah buku. Jadi ketika membaca perlu adanya konsepsi kotekstualisme, teks selalu diikuti oleh realitas. Di sinilah kekuatan ketrampilan membaca diuji.

Dalam sebuah kesempatan orasi ilmiah di Kampus Unira Malang Dr. H. Ahmad Junaidi, M.Ag menjelaskan ada 5 (lima) ketrampilan, adalah membaca kritis, membaca diri sendiri, membaca peluang, membaca kondisi sosial,  dan membaca alam semesta. Kelima ketrampilan inilah kekuatan dalam membaca teks secara kontekstualisme.

Dalam perintah iqra’ di akhir ayat kelima al-Alaq disebutkan bahwa Dia (Allah) mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya, dengan perintah iqra’, agar manusia berpengetahuan. Charles Peirce dalam buku Foundation of Behavioral Research, memberikan empat jalan metode untuk memperoleh pengetahuan.

Pertama,  kegigihan/ keuletan ( tenacity). Dengan keuletan, kebenaran yang diketahui/ pahami dapat dipegang teguh. Keteguhan ini ada karena “mengetahui” sesuatu secara benar. Di era medsos yang viral, ketika tidak kuat dalam hal membaca kebenaran atas sebuah preposisi-preposisi informasi yang didapat akan menjadi korban atas informasi yang salah, karena kita tidak memiliki standar kebenaran atas informasi tersebut. Dan parahnya lagi kita ikut memviralkan. Informasi hoax.

Kedua, ke arah   pengetahuan atau keyakinan yang kokoh adalah cara otoritas/ kewenangan. Inilah cara yang ditempa dalam hal keyakinan yang mapan. Metode ini akan memperkuat metode pertama – tenacity. Dalam kenyataannya, kehidupan tidak berjalan dengan tanpa gejolak atas sebuah kebenaran yang dipahami, karenanya diperlukan otoritas dan kewenangan. Hal ini terkait dengan penguatan pengokohan atas pengetahuan yang dianggap benar dan mapan. Hari ini, mobilitas informasi begitu cepat prosesnya. Dulu kita mencari dan memperoleh informasi harus berproses dengan time line yang berliku. Sekarang, tidak mencari pun tahu-tahu mendapatkan informasi, given (dari BC medsos dan lain sebagainya). Pertanyaannya, bagaimana informasi yang kita dapat ternyata hoax? Disinilah diperlukan sebuah otoritas/ kewenangan diri yang didasari kekuatan individual atas kebenaran pengetahuan yang dimiliki. Viral atas preposisi-preposisi informasi yang salah semakin marak dan menjadi-jadi karena tidak adanya otoritas yang kuat atas sebuah validitas informasi. Korban hoax semakin meluas.

Jalan ketiga metode untuk mendapatkan pengetahuan adalah a priori (Cohen dan Nagel menyebutnya metode intuisi). A priori, arti dalam bahasa latin a (dari) dan prior (mendahului). Pandangan kaum Skolastik kesahihan pengetahuan apriori terletak pada insight mengenai interasi hakiki obyek-obyek yang dikenal. Atas sebuah informasi dari dunia medsos yang kita terima terkadang terjadi kontradiktif padahal isunya sama. Di sinilah perlunya intuisi atas sebuah gagasan informasi tersebut. Diperlukan dialektika lebih lanjut dan mendalam. Faktanya hari ini adalah netizen saling memperdebatkan dan tidak berujung, tidak adanya kekokohan kebijaksanaan dalam menerima perbedaan. Karena insight-nya belum mampu mengambil benang merah atas interasi hakiki atas sebuah obyek.

Keempat, metode ilmu pengetahuan. Hakikat dari metode ini, seharusnya sedemikian rupa kesimpulan akhir adalah sama. Kesanggupan mengoreksi diri dengan pendekatan ilmiah. Dalam pendekatan ini sebisa mungkin kontekstualitas tertaut secara kuat dengan realitas, fenomena. Tidak terkungkung dalam keyakinan, persepsi, bias, nilai, sikap dan emosi individual. Viralisasi informasi tidak dengan mudahnya terjadi ketika pendekatan ini dipakai, pun informasi tersebut valid adanya. Karena masih harus diuji obyektifitasnya. Obyektifitas adalah kecocokan atawa kesesuaian antara penilaian “ahli” mengenai amatan (obyek) disatu pihak dengan hal yang harus atau telah dilakukan dalam proses amatan/ penelitian.

Ketika skill membaca dan metode pengetahuan sudah dikuasai, kemampuan membaca kontekstual akan bermanfaat dalam mereduksi efek negatif preposisi-preposisi informasi hoax, setidaknya ini menjadi manfaat pertama.

Manfaat selanjutnya adalah penguatan pradigm thinking (ontologis, epistomologis dan metodologis). Paradigma berpikir ontologis, membahas  realita yang ada, membahas tentang apa yang ingin kita ketahui, dan seberapa jauh keingintahuan. Dan pardigma berpikir epistemologis, bagaimana kita bisa mengetahui kenyataan, bagaimana cara kita mendapatkan pengetahuan tentang obyek tertentu. Serta paradigma berpikir metodologis, bagaimana kita dapat mengakses secara sistematis apa yang dapat diketahui. Iqra’ iqra’ Ya Muhammad, sebuah wahyu pertama dan utama, yang berbentuk perintah kepada umat manusia untuk membaca teks dan konteks. Salam literasi! Akhir kata, Wallahu a’lamu bi al-shawab.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *