JelajahPesantren.Com – Bertepatan Malam itu hawa terasa amat dingin mungkin suhu berkisar 18 – 19 derajat Celsius, yang bagi orang negeriku sudah cukup menusuk dan menjadikan harus berbalut jaket tuk menghangatkan tubuh. Aku pun merasakan dingin menggigit sumsum tulang kakiku yang berbalut kaos kaki tipis nan butut yang kubeli dikaki lima sebulan yang lalu. Kakiku turun dari motor sahabatku, menapak gelapnya malam di halaman sebuah rumah sederhana yang penuh rerimbunan pepohonan, ada dua pohon salak di dekat pintu rumah yang daunnya menjuntai rimbun menambah gelapnya malam dengan cahaya remang temaram dari bolam ukuran 5 watt, aku lirik sekitar tampak beberapa pohon besar, terkesan suasana Desa yang agak sedikit seram dan angker , apalagi arloji ditangan kiriku sudah menunjukkan tengah malam, telingaku pun menangkap suara tokek.. tok otok otok ..tekeeek..tekeeek.. merinding bulu kudukku.
Alunan salam sahabatku mendapat jawaban dari sang empunya rumah. Wow rupanya mereka masih terjaga ditengah gulita malam ini, batinku. Kami dibukakan pintu diiringi suara derit berat pintu tua rumah itu ..krieeet…nampak sosok gadis sederhana, dengan wajah lugu, kulit wajahnya tampak terbakar mentari disiang hari,rambutnya lusuh berombak, tubuhnya kurus berbalut baju hangat, menyambut kami dengan tatapan mata dan senyumnya yang polos bak gadis suku pedalaman yang biasa ku tonton di film-film suku terasing, belakangan kutahu rupanya dia gadis satu satunya sang empunya rumah ini. Di belakang gadis itu tampak perempuan tua dengan hijab lusuh yang tak kalah sederhananya dengan sang gadis, penuh kerut di wajah yang bagi orang kota pasti sudah menjadikan bingung harus disulam dengan berbagai cream pengencang kulit wajah, tapi sorot mata beliau tampak tenang dalam kepasrahan hidup, otakku mulai nakal menimang-nimang apa yang Allah suguhkan di depan mataku.
Mereka mempersilahkan kami masuk ruang tamu rumah itu, dengan amat tulus, ramah dan sopannya. Ruangan tamu itu berukuran sekitar tiga kali lima meter, dipenuhi sofa yang sudah usang, berlubang di sana sini dan warnanya pun sudah kusam, tembok rumah yang tak kalah buramnya, tampak bumbu dapur di tampah sudah mengering bercampur bawur, botol berserakan dipojok rumah, dan eongan kucing menyambut kedatanganku dan sahabatku di ruangan itu. Namun sahabatku langsung merebahkan diri di dipan kayu beralas kasur di samping sofa, lumayan, batinku, karena dipan itu dalam kondisi bersih, dan rupanya dipan itu disediakan untuk tamu yang datang di rumah itu dan rupanya satu satunya benda yang tampak paling berharga di ruangan itu.
Aku memperkenalkan diri kepada empunya rumah, emak tua itu dan putrinya, mereka tampak tulus dalam kesederhanaan, tatap matanya bening, tawanya lepas dan ikhlas tanpa beban, aura wajahnya penuh rasa persaudaraan dan kasih sayang yang khas, amat berbeda dengan ketika kadang aku bertemu petugas Pemerintahan yang terkesan, angkuh, arogan dan judes. Kami pun melewati malam itu dengan bersenda gurau dalam bahasa kalbu, dengan sang putri tunggal empunya rumah, sesekali Emak tua itu menimpali, tetapi beliau lebih banyak diam dengan wajah sabarnya mendengarkan gurauan kami bertiga dengan sahabatku.
Sesaat aku terhenyak, duk.. duk.. duk, mataku mencari asal suara itu, aku menangkap sosok lelaki paro baya menuju ruangan kami, dengan tongkat penunjuk ditangannya, ternyata beliau Ayah dari gadis sederhana itu. Sosok lelaki paruh baya di mana Allah Swt telan mengambil kedua biji matanya, tetapi yang membuatku ternganga aura cahaya menyemburat dari wajahnya yang bening dan bersih, seolah ada sorot lampu yang berpijar kuat dari balik wajahnya, dibalut hem warna biru langit, bersarung dengan bekas air wudlu yang belum mengering, wajahnya selalu tersenyum, tampak gurat kesabaran di wajahnya, beliau menapak dan kemudian ikut duduk bersama Kami, Subhanalloh.
Kembali aku memperkenalkan diri, kami berbincang bincang tentang hidup dan kehidupan, tentang laku manusia, tentang ke-Imanan dan ke-Tauhidan, juga tentang kisah hidup beliau, dan tentang kepasrahannya ketika Allah swt mengambil kembali kedua biji mata beliau di saat berusia dua puluh tahun, saat mata itu dibutuhkan olehnya sebagai pemuda untuk menyongsong hari depan, dalam keadaan batin terpuruk beliau pernah berjalan berkilo-kilo meter untuk mencari jawaban atas kegundahan hatinya, sampai pada akhirnya beliau temukan kesadaran akan takdir yang harus beliau terima, Subhanalloh. Setelah melewati pergolakan batin yang amat dahsyat, antara jerit tangis hati dan kenyataan yang harus beliau hadapi dalam waktu yang panjang, sekarang beliau merasakan madu bahagia, karena bisa melihat dunia dengan mata hatinya yang tajam laksana pedang, tak terhalang kemampuan jarak dan daya pandang seperti mata fisik pada kebanyakan makhluk Allah Swt. Beliau merasakan bahagia dalam kesederhanaannya, beliau semakin kuat dan sempurna dalam ke-Imanannya, dengan kedekatan kepada-Nya telah melahirkan ketakwaan, bahwa tiada yang ada didunia ini tanpa jaminan dari-Nya, beliau meyakinkan dan tidak pernah takut hidup dalam gelapnya dunia, dia tidak pernah meminta minta kepada sesama manusia, karena keyakinannya ada Allah Swt yang selalu di sampingnya, menuntunnya dalam hidupnya dan hanya kepada Allah beliau yakin meminta dan memohon segala pertolongan.
Untukku dan saudaraku semua yang sekarang dalam fisik yang berkecukupan, secuil kisah di atas semoga bisa menginspirasi, bahwa tiada guna kita berduka, masa lalu tidak akan pernah bisa berubah, tetapi masa depan masih bisa kita ubah, dengan bekal keyakinan dan ketakwaan kepada Allah Swt. Mari kita terus belajar untuk pandai memaknai apa yang tersirat serta mensyukuri apa yang telah dikaruniakan Allah swt kepada kita, semoga kita dikaruniai ilmu hikmah dibalik sebuah peristiwa yang kita terima.