Kotak Pandora Dunia Santri

JelajahPesantren.Com Ini adalah cerita tentang teman-teman Saridin. Mereka adalah orang-orang yang baik, santun, berakhlak mulia dan dihormati Saridin. Mereka ditemui Saridin dalam perjalanan pengembaraannya. Dari mereka, ada cerita-cerita yang menyenangkan. Namun, ada pula cerita-cerita yang membuat hati miris. Satu persamaan mereka adalah: teman-teman Saridin yang diceritakan di sini semua berlatar belakang pendidikan Pesantren. Dari merekalah Saridin belajar banyak hal. Saridin juga mengambil mutiara-mutiara dari pertemanan itu.

Teman pertama namanya Luqman, atau ditulis dalam bahasa Indonesia menjadi Lukman. Laki-laki muda yang baru dua tiga tahun lulus dari Pesantren Al Hikmah di daerahnya, salah satu sudut timur Jember. Lukman memiliki tubuh tidak tinggi, namun juga tidak pendek. Kulitnya sawo matang dan rambutnya ikal. Baru beberapa bulan belakangan, dia bekerja sebagai penjaga outlet tenda salah satu merek sepeda motor terkenal. Lebih tepatnya, secara kebetulan dia direkrut untuk menjadi penjaga outlet tenda. Tidak ada yang tahu mengapa perusahaan memilihnya, laki-laki polos yang lugu. Bahkan, dia tidak bisa mengoperasikan komputer. Mungkin saja dia memiliki banyak kenalan, bagian sangat penting bagi seorang pemasar.

Lukman adalah salah satu kawan Saridin. Boleh dibilang, kawan agak dekat.  Saridin belajar dari Lukman hal-hal terkait Pesantren. Apa saja kitab  yang dipelajari di Pesantren, bagaimana kehidupan sehari-harinya, bagaimana cerita tentang sahabat-sahabatnya selama di Pesantren. Juga siapa, apa dan bagaimana para alumnusnya.

Dari sekian ratus alumni se-Pesantren yang dikenal oleh Lukman, hampir semua dari mereka pulang ke desanya masing-masing, menikah dan kembali menekuni dunia pertanian, perdagangan atau perkebunan. Ada pula yang bertani atau berdagang di pagi sampai siang hari, sementara di sore hari mereka mengajar Baca Tulis Al Quran di Taman Pendidikan Al Quran. Sedangkan beberapa alumni berhasil mendapatkan posisi menjadi guru di Madrasah. Demikian halnya Lukman. Usai boyong, pulang dari Pesantren, beberapa bulan kemudian Lukman menikahi gadis tetangga, kawan masa kecilnya. Sebuah kisah klasik tentang pernikahan.

“Adakah di antara mereka yang melanjutkan kuliah?” tanya Saridin.

“Ada, Mas. Tapi hanya beberapa saja,” kata Lukman.

“Biasanya kuliah di mana?”

“Di STAIN, Mas.”

“Ada yang di Universitas?”

“Tidak ada Mas, semua pasti di STAIN.”

Begitulah, pertemanan mereka diwarnai dengan obrolan seputar dunia Pesantren. Khususnya kehidupan Pesantren yang dialami oleh Lukman. Sebab, dunia Pesantren juga memiliki kehidupan yang agak berbeda dalam beberapa hal antara satu Pesantren dengan Pesantren yang lain. Misalnya, di Pesantren Lukman yang tergolong populer di seantero Kabupaten, para Santri dilarang menonton televisi dan bermain sepakbola. Apalagi untuk mengakses internet, lebih tidak boleh lagi. Terlebih sejak maraknya media sosial yang baik sekaligus mengancam. Sementara di Pesantren lain, olah raga -termasuk sepakbola- justru dianjurkan.

Sebenarnya, Lukman direkrut oleh sebuah perusahaan penjualan kendaraan bermotor untuk mengisi posisi sebagai pemasar, minimal sebagai tenaga penjualan. Namun tampaknya, Lukman kurang menguasai apa yang diinginkan oleh pemberi kerja. Sehari-hari yang dia lakukan hanya membuka outlet dan menunggu barangkali ada orang yang singgah untuk bertanya. Itu saja. Sehingga, Lukman hanya dikontrak untuk beberapa bulan saja. Sebab, dia tidak memiliki kemampuan yang dibutuhkan oleh seorang pemasar. Dalam istilah yang agak berbau profesional, Lukman tidak qualified, tidak memiliki kualitas yang dibutuhkan untuk posisi itu.

Saat Saridin pamit untuk melanjutkan perjalanan, Lukman memberi hadiah beberapa buku terbitan tahun 60an dan 70an yang halamannya sudah banyak dimakan rayap. Saridin mengintip satu judulnya: Filsafat Agama karya HM Rasjidi.

“Saridin lebih membutuhkan ini daripada saya,” begitu katanya.

Beberapa tahun kemudian, dalam perjalanan lain, Saridin sedikit bersentuhan dengan komunitas hufadz dan dia kenal baik beberapa di antara mereka. Mereka inilah teman kedua dalam cerita ini. Di antara orang-orang yang dimuliakan oleh Allah ini, ada yang sehari-hari berdagang dan memiliki lapak di pasar, ada yang berjualan tempe keliling, ada yang bekerja sebagai tukang batu, bahkan banyak di antara para hufadz itu yang tidak bekerja.

“Tidak bekerja?” tanya Saridin kaget di suatu siang.

“Ya,”jawab Ustadz Naz,”Dia memiliki 5 anak,” lanjutnya.

Saridin tercenung. Hufadz, tidak bekerja.

“Tidak perlu kaget, Mas,”lanjut Ustadz Naz,”Banyak diantara teman-teman yang tidak memiliki pekerjaan rutin.”

Mendengar kabar itu, dengan hati perih, Saridin pun bergegas pergi mencari hufadz dengan lima anak itu ke sebuah dusun kecil yang dikelilingi oleh persawahan luas di lembah gunung Semeru. Dusun kecil itu indah, perwujudan impian eksotis bagi orang-orang kota. Ibarat Edensor bagi Andrea Hirata. Jalan menuju ke dusun itu dipagari oleh puluhan pohon kelapa yang menjulang tinggi. Jika senja hampir turun, suasana persawahan yang dipagari barisan pohon kelapa di sepanjang jalan menuju dusun itu persis seperti gambar foto-foto di kartu pos. Sungguh menakjubkan.

Setelah beberapa lama dalam ketakjuban, akhirnya Saridin menemukan rumah yang dicari. Sebuah rumah sederhana di antara rumah-rumah yang sederhana pula. Tampak sekali bangunan itu sudah mulai lelah dan minta segera  istirahat. Warna putih temboknya sudah kusam. Kayu-kayu jendela dan pintu juga kusam. Bahkan, tembok belakangnya harus didukung dengan bambu agar bertahan untuk tegak. Itulah kediaman Ustadz Rahim, seorang hafidz dengan 5 anak yang sedang dicari Saridin.

Dari arah rumah yang lain, terdengar suara orang sedang membaca al Quran. Rupanya, Ustadz Rahim sedang berada di sana. Dia diundang tetangga untuk khataman Quran. Saridin pun segera ditemui. Lantas, mereka berdua berbincang-bincang untuk saling mendalami.

Saridin yang pernah mendapatkan pelatihan kewirausahaan sosial kemudian berinisiatif untuk menyampaikan beberapa pertanyaan kepada Ustadz Rahim? Menurut metode yang di susun,kalau semua pertanyaan yang diajukan itu bisa dijawab dengan baik, maka orang yang ditanya potensial untuk didukung dalam mendirikan dan mengembangkan usaha. Walaupun usaha kecil-kecilan. Begitulah maksud Saridin, dia akan mengupayakan agar Ustadz Rahim memiliki usaha kecil-kecilan.

Namun rupanya, Ustadz Rahim bukan tipe pekerja mandiri.Juga bukan orang yang bisa diserap oleh dunia kerja formal. Satu-satunya keahlian Ustadz Rahim adalah hafal Al Quran. Sehingga, Saridin berpendapat, untuk mentransformasi keluarga ini mungkin akan lebih tepat jika  melalui anaknya. Maka, Saridin merekrut putra Sulung Ustadz Rahim untuk belajar di Pesantren.

Lima tahun kemudian, putra sulung Ustadz Rahim lulus SMA. Berbekal 5 juz sebelum masuk Pesantren, dalam 2 tahun dia sudah menyelesaikan 30 juz. Suatu pencapaian yang luar biasa. Apalagi oleh anak usia SMP. Begitu menjelang lulus, si Sulung ini bertemu dan berbincang dengan Saridin. Dia menyatakan akan mencari beasiswa untuk kuliah. Dengan bekal hafalan 30 juz, rasa-rasanya mendapatkan beasiswa bukan hal yang sulit.

“Mau kuliah jurusan apa?” tanya Saridin.

“Matematika, Mas,” jawabnya mantab.

“Bagus. Saya senang mendengarnya. Kenapa memilih jurusan matematika?” Saridin menyelidik.

“Saya senang matematika.”

“Rencananya mendaftar di mana?”

“Di Universitas Negeri M, Mas.”

“Kenapa?”kejar Saridin.

“Saya ingin jadi guru.”

“Ada keinginan yang lain selain guru?”

Si sulung menggeleng,”Belum tahu, Mas,”jawabnya pendek.

Saridin mengambil jeda. Guru, mengajar al Quran, atau mengabdi di TPQ, meskipun itu baik, adalah mental block yang dia temui hampir setiap kali ngobrol dengan Ustadz atau santri. Pekerjaan yang baik dihadapan Allah dipersempit menjadi hanya mengajarkan Al Quran dan mengabdi di Madrasah. Padahal setahu Saridin, Islam mencapai puncak kejayaan peradaban saat kaum muslim memiliki para ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu. Sebagai contoh misalnya Al Khawarizmi yang ahli dalam matematika, astronomi, astrologi, dan geografi.Jabir Ibnu Hayyan seorang polymath terkemuka; ahli kimia,  ahli astronomi dan astrologi, ahli bumi, ahli filsafat juga ahli fisika.

Selain itu ada Al Kindus yang ahli dalam filsafat, matematika, logika, musik, ilmu Kedokteran, fisika, farmasi dan  geografi. Banyak lagi contohnya kalau mau disebut. Maka, Saridin berpikir sebaiknya menggali lebih dalam potensi si Sulung.

“Mana Negara Islam yang kamu ketahui?” Saridin mencari cara membuka cakrawala pemikiran si Sulung.

“Arab (Saudi), Mesir, Pakistan, Afghanistan, Turki.”

“Kamu tahu Dubai, Abu Dhabi, Qatar, Bahrain?”

Si Sulung menggeleng.

“Mereka adalah negara-negara tetangga Arab Saudi. Negara Islam yang kecil namun kaya raya. Mereka sudah memikirkan masa depan jauh sebelum Arab Saudi mengubah kebijakan pembangunannya melalui visi 2030. Bahrain berambisi menjadi pusat keuangan Islam dunia. Demikian pula Dubai, Abu Dhabi dan Qatar. Mereka merespon masa depan dengan mempersiapkan diri menjadi bagian terbaik dari masa depan itu. Sementara Pakistan, Afghanistan, Sudan, Eritrea, Somalia adalah negeri Islam yang cenderung menjadi negara miskin. Mereka terjebak pada pemikiran yang sektarian sehingga terus menerus dilanda konflik.”

“Menurut saya, orang yang buta huruf atas al Quran, apakah tidak sebaiknya engkau berpikir lebih maju? Kalau kamu suka matematika, kamu bisa masuk statistik, teknik, kimia, pertanian, komputer, pengembangan energi, bisnis, keuangan atau yang lain. Lihatlah keluar! Banyak bidang yang membutuhkanmu. Kalau semua santri yang lulus ingin mengabdi dengan mengajar atau bekerja di lingkungan Kemenag, apa akan tertampung?”

Si Sulung mendengarkan dengan khusyu’.

“Bacalah dan cari tahu para ilmuwan Islam yang membawa Islam pada masa keemasan peradaban. Mereka semua multitasking, bisa bekerja dan menguasai beberapa bidang sekaligus. Semua pekerjaan itu baik, asal disadari sebagai pengabdian kepada Allah.”

Si Sulung manggut-manggut.

“Baiklah! Renungkanlah dulu. Kapan-kapan kita ngobrol lagi,”pungkas Saridin.

Kemudian, Saridin pamit pergi meninggalkan Pesantren. Dari luar pintu, dia melihat beberapa santri sedang berebut minum kopi yang dia tinggalkan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *