Santri Gentong Pemaknaan Kiai dan Santri (Bagian 2)

JelajahPesantren.Com – Alkisah tersebutlah ‘santri gentong’ yang berada di pesantren al-Sanamiyah Desa Ganjaran, Gondanglegi, Kabupaten Malang. Santri gentong nyantri di pesantren sekitar tahun 1960-an. Nama asli beliau Pak Fugar (Pak Suha). Kiai Sanamah, pengasuh pesantren al-Sanamiyah, berusaha sekuat tenaga memberi pelajaran keagamaan kepada semua santrinya termasuk santri gentong.

Hari berganti hari, bulan berganti bulan dan tahun-pun berganti, nampak perkembangan signifikan pengetahuan keagamaan para santri. Berbeda dengan santri gentong, pelajaran yang diberikan Kiai Sanamah tidak terserap dengan baik olehnya. Melihat gelagat salah satu santrinya ini, Kiai Sanamah berinisiatif, yang menurut logika tidak wajar, santri tadi malah disuruh mengambil air dari sungai yang berada di sebelah barat desa Ganjaran, mengisi gentong di dapur Kiai. Saking istiqamahnya sampai dia mendapat julukan ‘santri gentong’ sebuah alias yang merujuk pada tugas dari Kiai, mengisi gentong.

Selang beberapa tahun Kiai memanggilnya. Mereka duduk berdua. Kiai bercerita tentang salah seorang Kiai yang mempunyai menantu harimau. Diceritakan bahwa dahulu ada seorang Kiai mempunyai anak perempuan yang sudah mencapai usia nikah. Banyak pelamar tapi selalu ditolak Kiai. Suatu ketika ada seekor harimau berkalung tasbih biji randu datang melamarnya. Anehnya lamaran tersebut diterima sang Kiai. Setelah akad nikah dilaksanakan, kedua mempelai berpamitan meninggalkan Kiai menuju rumah mempelai putra. Sebelum berangkat, menantu harimau berpesan, kalau suatu saat Kiai kangen pada putrinya, beliau disuruh mengikuti jalur pohon randu yang akan ditanam dari biji tasbih menantu harimau.

Setelah beberapa tahun berlalu, Kiai merasa kangen pada putrinya. Beliau keluar melihat pohon randu yang ditanam menantu, sudah besar dan layak dijadikan penunjuk jalur. Setelah pamitan ibu nyai, dengan mengajak salah satu khadam dan dengan membawa perbekalan secukupnya, beliau berangkat mengikuti arah deretan pohon randu. Di perjalanan beliau bertemu orang yang memikul dua keranjang berjalan terseok-seok karena isi keranjang berat sebelah. Kiai bertanya arah kepadanya, setelah memberitahu arah, orang tadi berlalu dengan tetap terseok-seok dalam langkahnya. Kiai berkata pada khadam bahwa orang tadi sebenarnya adalah santri menantu harimau, dia memberi isyarat bahwa nanti pada akhir zaman, orang akan sulit mendapatkan keadilan, meskipun sudah berjuang dengan susah-payah.

Dalam perjalanan selanjutnya, mereka bertemu dengan orang yang sedang memikul air dengan dua kaleng besar, kedua kaleng tersebut selalu beradu satu dengan yang lain karena isinya terlalu penuh. Kiai menerangkan pada khadam bahwa pada akhir zaman nanti akan banyak orang bertengkar dengan saudaranya hanya karena masalah sepele.

Terakhir mereka bertemu orang yang membersihkan bak mandi dari cipratan kotoran sapi akibat terbawa air di atasnya. Setelah bersih, diisi dengan air bening. Tapi kembali dialiri kotoran, dibersihkan lagi, diisi air bening lagi dan begitu seterusnya. Dengan agak berlinang air mata Kiai menerangkan pada khadam bahwa akhir zaman nanti akan banyak ulama dan orang shalih yang tercemar kotoran dunia, meskipun upaya telah dilakukan untuk membersihkannya.

Keduanya sampai pada akhir perjalanan. Ternyata menantu harimau tadi seorang ulama besar dengan pesantren yang luas dan santri ribuan. Begitulah akhir cerita Kiai Sanamah kepada santri gentong yang terus menyimak dari awal sampai akhir.

Cerita tadi rupanya sangat membekas di benak santri gentong, ketika melihat fenomena kekinian, dia sangat yakin bahwa isyarat yang ada dalam cerita sudah menjadi kenyataan. Itu artinya bahwa sekarang sudah memasuki zaman akhir. Hal itulah yang membuat dia menjadi al-‘abid sejati. Saat Ramadlan tiba, setiap jam 17.00 WIB, dia ke masjid membawa bekal berbuka dan sahur. Dia baru pulang besoknya setelah matahari terbit. Itu dia jalani pada tiap-tiap Ramadhan, sampai-sampai dia menjadi “jam berjalan” pengingat waktu bagi para tetangganya. Menjelang wafat, dia berwasiat agar anak cucunya tidak pulang dulu setelah upacara penguburan, dia minta agar dihatami al-Quran di atas pusaranya. Alasannya karena dia takut tidak bisa menjawab pertanyaan malaikat, subhanallah.

Cerita santri gentong di atas memberi pesan pada kita bahwa itulah hakekat peran pesantren. Pada hakikatnya pesantren tidak hanya dituntut mencetak insan yang alim, tapi tak kalah pentingnya mencetak insan yang kamil. Belakangan pesantren berlomba memacu peningkatan kualitas keilmuan santri, tapi kadang lupa pada pembentukan karakter santri.

Pada sisi lain, kepekaan batin santri harus selalu tumbuh selama di pesantren, sehingga dengan begitu tsamratun mubarakah akan diperoleh dari keilmuan yang diperoleh. Ketaatan, pengabdian dan tawadlu terhadap Kiai harus terus dijaga sebagai washilah dalam usaha tabarrukan dari pesantren. Wallahu a’lamu bi al-shawab.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *