Yai Tolchah: Sang Guru Social Finance, Mengajarkan Survival Spiritual dan Cinta Altruistik

Prof. Dr. (HC) Drs. K. H. Muhammad Tolchah Hasan yang kerab dipanggil Yai Tolchah. Panggilan Yai sangat lah familier dan akrab untuk sosok yang lahir di Tuban, Jawa Timur, 10 Oktober 1936. Padahal barangkali panggilan profesor lebih pas. Kenapa demikian? karena kepakarannya di bidang Ilmu Pendidikan Islam. Hal ini seiring diperolehnya SK Mendiknas tahun 2006 tentang Guru Besar. Selain itu, adalah dambaan sebagian besar akademisi yang berpetualang di dunia akedemik untuk memperoleh gelar profesor sebagai jabatan fungsional tertinggi. Adapun jabatan strukturalnya yang tertinggi sebagai rektor pada Universitas Islam Malang (1989 – 1998).

Selain berpetualang di ranah akademis, juga memiliki pengalaman berkiprah di ranah politik praktis pada era Orde Baru, sebagai Ketua Cabang Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Kabupaten Malang (1973-1984) dan Wakil Ketua Majelis Pertimbangan PPP Wilayah Jawa Timur (1978-1984). Pasca tumbangnya Orde Baru dan seiring berdirinya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), alumni Fakultas Sosio Politik Universitas Merdeka Malang (1966) berpindah haluan dari PPP ke PKB.

Secara grass root, sosok yang mengenyam Sekolah Rakyat (SR) di Brondong, Lamongan Jawa Timur  (1949), dibesarkan di lingkungan organisasi Nahdlatul Ulama (NU), petualangan berorganisasinya dirintis dari bawah sebagai Pengurus NU tingkat Ranting dan Cabang di Malang hingga menjadi Wakil Rois ‘Aam Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (2015-2010). Bahkan pada Muktamar NU ke-33 tahun 2015, termasuk salah satu kiai yang dipercaya dalam ahlul hali wal aqdi.

Sosok alumni Tebuireng (1951-1956) tidak bisa dilepaskan dari petualangan di ranah pendidikan, sehingga tokoh pengabdi pendidikan melekat kepadanya. Al maghfurlah pernah menjadi Kepala Sekolah PGA Al-Ma’arif Singosari Malang (1962-1965), mendirikan Taman Kanak-Kanak (TK), Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah, SD, SMP, SMA dan SMK di bawah pengelolaan Yayasan Pendidikan Al-Ma’arif Singosari Malang dan mendirikan Taman Kanak-kanak (TK), SD, SMP, dan SMA di bawah naungan Yayasan Sabilillah Malang. Dari latar belakang pendidikan formal – tentunya selain pendidikan nonformal pesantren, ranah ini menjadi petualangan sangat teruji sampai akhir hayatnya, karena banyak perguruan tinggi menjadikannya sebagai salah satu stakeholder utama, semisal Ketua, Pembina dan ataupun Pengawas Yayasan Perguruan Tinggi dan jabatan sejenis lainnya. Ini tak lepas sebagai penasbihan atas reputasi pribadi Yai Tolchah di ranah pendidikan.

Petualangan di ranah birokrasi, semasa hidupnya sosok yang mengenyam pendidikan Madrasah Tsanawiyah di Tebuireng (1953) ini duduk sebagai unsur pimpinan Badan Pemerintah Harian (BPH) Kabupaten Malang (1967-1973), puncaknya sebagai Menteri Agama dalam Kabinet Persatuan era kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid (29 Oktober 1999 – 13 Agustus 2001), walaupun relatif singkat seiring pelengseran presiden RI ke-4, namun regulatory focus-nya Yai Tolchah sangat jelas dalam memimpin Departemen yang bermoto ‘Ikhlas Beramal’.

Berawal dari pesantren, berpetualang ke ranah akademisi, politisi, pengabdi edukasi, dan birokrasi menjadikan regulatory focus-nya sangat kuat ke bidang social finance. Karena social finance berfokus pada menghasilkan manfaat ekonomi dan membawa kesejahteraan sosial (Jiao Jinpu, 2013: 1-4). Distribusi kekayaan dalam social finance, konteks filantropi Islam tentulah zakat, wakaf dan sejeninsya. Mengutip dari laman bimasislam.kemenag.go.id, legacy, peninggalan  kebijakan Menteri Agama Tolchah Hasan, di antaranya adalah adanya direktorat yang menangani zakat dan wakaf di Kementerian Agama RI. Keberadaan Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf menjadi tonggak penting perkembangan zakat dan wakaf di Indonesia.

Rekam jejaknya, sebelum menjadi Menteri Agama, tercatat Yai Tolchah andil dalam memobilisasi pembentukan Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) setelah terbitnya Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat pada periode Menteri Agama Prof. H.A. Malik Fadjar. Adapun rekam jejaknya setelah menjadi menteri,  turut andil memobilisasi pembentukan kelembagaan wakaf di tingkat nasional. Dimulai dari Tim Badan Wakaf sampai berdirinya Badan Wakaf Indonesia (BWI), turut mengawal terbitnya Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan UU Wakaf,  yang pada akhirnya mendapatkan amanah menjadi Ketua Badan Pelaksana BWI selama dua periode dari tahun 2007 – 2014. Karena ada pembatasan ketua hanya dua periode, yang kemudian dilanjutkan KH. Maftuh Basyuni. Jadi, sangat lah tidak berlebihan sosok alumni Madrasah Aliyah di Tebuireng (1956) ini sebagai pejuang dan guru social finance Islam.

Terkait social finance, organisasi-organisasi yang terlibat di dalamnya haruslah beraset. Yai Tolchah, dalam beberepa kesempatan ketika memotivasi civitas akademika Perguruan Tinggi Nahdlatul Ulama (PTNU) selalu menekankan ihwal ini. “Sebuah organisasi akan berkembang jika memiliki lima aset”, ungkap Yai Tolchah. Aset yang dimaksud: pertama, aset intelektual, yaitu para pengurus dan anggota harus memiliki wawasan dan pemikiran luas sehingga mampu menciptakan ide kreatif dan mempunyai terobosan dalam pengembangan organisasi; kedua, aset sosial, yaitu trust,atau kepercayaan yang diterima dari publik; ketiga  aset finansial, hal ini terkait dengan cashflow (kas keluar-masuk) yang sehat sehingga organiasi memiliki value secara ekonomi, dengan kata lain organisasi akan mencapai kemandirian finansial; keempat, adalah aset manajemen, yaitu kemampuan mengelola seluruh sumberdaya sehingga memiliki nilai manfaat yang maksimal; dan kelima, aset jaringan, yaitu kapabilitas dalam membangun jejaring. Dalam aset kelima ini, Yai Tolchah mengingatkan akan pentingnya silaturrahim dan harmoni. Hal ini seiring dengan teori resource dependence yang menitikberatkan pada pentingnya efektifitas, yakni “ability to create acceptable outcomes and actions” (Pfeffer dan Salancik, 1978: hal. 11). Kelima aset ini merupakan konteks memotivasi tim pada level organisasional. Lantas bagaimana Yai Tolchah memotivasi dalam konteks level individual?

Semasa hidup sampai akhir hayatnya, sosok yang memperoleh gelar Doktor Kehormatan (Doctor Honoris Causa) dari UIN Syarif Hidyatullah (2005) adalah Pengawas Yayasan Perguruan Tinggi Raden Rahmat yang menaungi salah satu PTNU, Universitas Islam Raden Rahmat (Unira) Malang. Penulis dan para civitas akademika, kerap mendapatkan wejangan saat forum internal Unira Malang yang al-Maghfurlah sebagai narasumber. Secara garis besar, wejangan-wejangannya, kalau ditarik dari perspektif social finance pada level individual yang berkohesi dengan level kelompok dan organisasi terkait dengan spiritualitas pada satu sisi. Adapun pada sisi lainnya, individual harus mempunyai nilai-nilai harapan dan cinta altruistik sebagai penegasan personal. Karena pada level organisasional, organ-organ yang terlibat dalam operasionalisasi social finance haruslah memiliki kelima aset diatas agar memiliki kemandirian yang kuat.

Survival Spiritual

Fleischman, Maddock dann Fulton (Louis W. Fry, 2003) mengemukakan bahwa dua dimensi esensial dari spiritual: rasa transenden, panggilan hidup (calling), terpanggil atas sebuah profesi; dan kebutuhan akan keanggotaan koneksi sosial. Calling menunjukkan pengalaman transeden atau bagaimana membuat sesuatu yang berbeda melalui melayani orang lain dan dalam melaksanakan hal tersebut menarik makna dan tujuan dalam kehidupan sehingga apapun jabatan fungsional dan strukturalnya, selain pekerjaan dilaksanakan dengan kapasitas dan kapabilitas penuh juga merasakan makna dan atau nilai sosial dan spritualitas. Tiga leveling spritualitas yang harus berkohesi adalah level individual yang terkait dengan apresiasi diri terhadap pekerjaan yang bermakna dan berkontribusi kepada sesama. Level kelompok, mental dan spiritual yang diartikulasikan sebaga rasa bermasyarakat yang meliputi rasa koneksi yang mendalam di antara individu, termasuk saling support dan berkepedulian. Dan selanjutnya level organisasional, spritualitas yang dimaksud level ini adalah adanya kesesuainnya nilai-nilai personal individu dengan visi, misi dan tujuan organisasi.

Pfeffer (Frey, 2003) mengemukakan bahwa spiritualitas di ranah profesi dan praktik manajemen memiliki empat dimensi fundamental mengenai apa yang dicari individu dalam menjalankan pekerjaannya: (1) Pekerjaan yang menarik dan bermakna memungkinkan mereka untuk belajar, mengembangkan, dan mempunyai kompetensi dan penguasaan pekerjaan; (2) Pekerjaan yang bermakna yang menyediakan perasaan dan tujuan; (3) Suatu rasa koneksi dan hubungan sosial positif di antara sesama; dan (4) Kemampuan untuk hidup (survival) dalam suatu kehidupan yang terintegrasi, sehingga peran seseorang dalam suatu organisasi dan peran orang lainnya bersifat harnoni dan sifat alami esensial yang humanistik. Dalam konsep dasar survival spiritual, dimensi pertama dan kedua secara langsung terkait dengan panggilan hidup (calling). Adapun dimensi ketiga dan keempat terkait langsung dengan keanggotaan koneksi sosial.

Cinta Altruistik

Fry (2003) mengatakan bahwa misi merupakan alasan eksistensi organisasi dan menyediakan suatu dasar untuk penciptaan visi. Misi mendefinisikan budaya organisasi, nilai-nilai inti, dan alasan atas lahirnya organisasi. Budaya terdiri dari satu set nilai-nilai kunci, asumsi, pemahaman, dan cara berpikir yang dipersepsikan sebagai rujukan moral diantara individu yang terhimpun dalam organisasi dan harus diajarkan apabila ada keanggotaan baru, sehingga terinternalisasi oleh mereka. Istilah yang sering dipakai secara sinonim dengan charity (amal) adalah cinta altruistik. Dalam konteks kepemimpinan spiritual, cinta altruistik didefinisikan sebagai suatu rasa ke seluruh harmoni, dan kesejahteraan yang diproduksi melalui kepedulian, perhatian dan apresiasi untuk diri sendiri dan orang lain. Definisi lainnya, cinta altruistik adalah nilai-nilai kesabaran, kebaikan, kurangnya kecemburuan, pemaaf, rendah hati, tidak memperhatikan diri sendiri (egois), pengontrolan diri sendiri, percaya diri, loyalitas dan kesungguhan (Wirawan, 2013).

Keuntungan emosional dan psikogikal dari cinta altruistik adalah peduli dan memperhatikan orang akan kebutuhannya dengan esensi memberikan dan menerima tanpa persyaratan dan hal ini dapat menanggulangi pengaruh destruktif emosi: (1) Ketakutan, termasuk kecemasan dan kekhawatiran; (2) Kemarahan, termasuk kekerasan, kebencian, kecemburuan, iri hati dan rasa benci; (3) Rasa kegagalan, termasuk keputusasaan, perasaan depresi, dan berbagai rasa berdosa mengarah kepada merusak diri sendiri; dan (4) Kebanggan, termasuk prejudis, mementingkan diri sendiri (egois) dan kecongkakan.

Outcome level individual dari survival spiritual dan cinta altruistik meliputi kegembiraan, kedamaian dan ketentraman. Hal ini menjadi sumber-sumber komitmen organisasi, produktivitas tinggi dan mengurangi level stress dan menjadi outcome organisasi yang efektif. Kegembiraan menunjukkan keceriaan atas kepuasan sebagai sumber kegembiraan dan suatu emosi yang menyenangkan dan muncul dari ketenangan sekarang atau yang diharapkan. “Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya, dan kepada orang-orang mukmin.” (Q.S. al-Fath [48]: 26). Karenanya pembawaan Yai Tolchah, yang multitalenta dan petualang pada berbagai ranah adalah ketenangan. Inilah yang diajarkannya secara totalitas dan masif oleh sosok yang wafat pada 29 Mei 2019 (24 Ramadam 1440 H) kepada kita semua. Akhirnya, Wallahu a’lamu bi al-shawab.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *