Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari dan Khittah Pesantren

JelajahPesantren.Com – Ketika terjadi peristiwa 11September terjadi, kaum muslim di AS ketar-ketir. Mereka khawatir gejolak anti teroris akan tumpah menjadi kebencian terhadap kaum muslim.  Memang ada penjelasan bahwa para teroris itu, sekalipun muslim dan membawa nama Islam melalui konsep jihadnya untuk menjustifikasi tindakan mereka, tidak mewakili kaum muslim. Tapi bukankah orang sering lupa bertindak atas kepala dingin, apalagi di tengah kemarahan kala itu?

Source: Kemendikbud

Terbukti, telah terjadi manifestasi ekstrem dari gerakan Islam Fobia di AS waktu itu. Di Columbus, ibukota Ohio, sebuah masjid atau Islamic Center diserang orang-orang tak dikenal. Di negara bagian lain, beberapa toko milik orang Arab dibakar. Perempuan muslim yang berjilbab, menjadi obyek pelecehan. Tetapi pada sisi yang lain, Anda harus tahu bahwa banyak orang atau tempat khusus milik kaum muslim dilindungi kalangan agamawan non muslim, seperti di Athens, sebuah kota kecil di Ohio.

Dalam konteks perkembangan aksi terorisme di Indonesia, terungkapnya sebuah fakta bahwa pelaku terorisme banyak yang alumni atau setidaknya pernah mengenyam pendidikan di pesantren sungguh amat sangat memprihatinkan. Hal ini akan memunculkan sebuah stereotip bahwa pesantren tak ubahnya sebuah lembaga yang memproduksi teroris. Dan juga menguatkan tesis Samuel P. Huntington bahwa Islam itu ditegakkan melalui hunusan pedang dan genangan darah. Tentu hal ini tidaklah benar. Kita tidak bisa menjadikan sebuah fenomena yang bersifat kasuistis untuk menggeneralisasi, sehingga menghasilkan sebuah konklusi yang holistik dan komprehensif.

Logika yang dipakai pun takber-nash. Dalam spirit yang sama, tetapi dalam kadar yang berbeda, saya ingin menganalogikan bahwa bagaimana mungkin kita bisa menilai bahwa universitas atau pendidikan tinggi telah ikut andil dalam menciptakan koruptor-koruptor kelas kakap di tingkat elit, padahal tak jarang kita temui bahwa mereka adalah orang-orang yang berpendidikan tinggi?

Sam Harris dalam bukunya yang bertajuk The End of Faith mengkritik agama (apa pun) dengan keras. Menurut dia, pada dasarnya agama adalah buruk karena sifat destruktifnya yang ditunjukkan dengan banyaknya pembunuhan dan kekerasan atas nama agama. Meski ada kaum moderat dalam agama, menurut Sam Harris, agama tetaplah sesuatu yang jahat. Ironisnya, teori ini mendapatkan legitimasinya melalui aksi-aksi keji terorisme yang selama ini terjadi.

Tentu kritik Sam Harris tidak benar. Saya yakin tidak ada satu agama apa pun di dunia ini yang mempunyai doktrin legalisasi kekerasan atas dasar agama. Semua agama mengajarkan kedamaian dengan bahasanya masing-masing. Misalnya Islam dengan konsep rahmatanlil ‘alaminnya dan Nasrani dengan konsep cinta kasihnya. Hal ini menjadi tantangan menarik bagi umat beragama. Kita ditantang untuk menunjukkan kebaikan agama yang kita anut, terlebih lewat perilaku atau hidup kita.

Bahwa pesantren telah gagal dalam gerakan deradikalisasi agama mungkin iya. Frasa ini pun harus dibuktikan melalui penelitian yang mendalam serta dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Yang jelas, fakta radikalisme dan ekstremisme yang munculbelakanganinipadahakikatnyakarenamerekamelihatsejarahsecaraparsial, sepotong-potong, terutama sejarah umat pasca tahun 1924 dan 1948, yang telah menciptakan “psikologi kegagalan” dan “psikologi kekalahan”, yang kemudian membentuk nalar kekerasan terhadap pihak-pihak yang dianggap biang keladi dari kejatuhan tersebut.

Menurut Muhammad Arkoun dalam seminar di Pameran Buku Internasional di Mesir pada tahun 2007, fakta itu tidak hanya menciptakan psikologi kegagalan semata, melainkan juga melahirkan paham kekalahan yang diekspresikan lewat kekerasan dan aksi terorisme, baik melalui lembaga-lembaga maupun gerakan keagamaan yang juga mendeklarasikan kekerasan (Lihat dalam Zuhairi Misrawi, 2010: 11).

Berangkat dari fakta ini, memang diperlukan kerja keras dan upaya yang serius dari semua pihak, terutama dari stakeholder pendidikan yang terejawantahkan dalam lembaga pesantren untuk menyebarkan inspirasi perdamaian. Antara lain, perlu melakukan rekonstruksi budaya, mengubah budaya kekerasan dan intoleran menjadi budaya damai (culture of peace). Dan yang tak kalah penting adalah dengan menerapkan pendidikan yang menggunakan pendekatan multikulturalisme dan berpijak pada nilai-nilai Pancasila dan prinsip pluralisme. Pendidikan hendaknya fokus pada upaya transformasi nilai-nilai moral dan nilai-nilai universal kemanusiaan seperti keadilan, kebenaran, kejujuran, kemaslahatan, kedamaian, kesetaraan, kebebasan dan tanggung jawab.

Hal ini dirasakan sangat mendesak bagi masyarakat kita, mengingat akhir-akhir ini banyak terungkap perilaku yang menunjukkan tiadanya kesejatian dan ketulusan dalam mewujudkan nilai-nilai moral dan universal kemanusiaan tersebut. Misalnya berkenaan dengan masalah pluralisme. Istilah pluralisme sudah menjadi tema harian dalam wacana nasional kita. Namun, masih ada sebagian orang yang memahami pluralisme hanya sepintas lalu tanpa makna yang lebih mendalam, tidak berakar pada ajaran kebenaran. Paham pluralisme tidak cukup hanya dengan sikap mengakui dan menerima kenyataan masyarakat yang majemuk, tapi harus disertai dengan sikap yang tulus untuk menerima kenyataan kemajemukan itu sebagai nilai positif.

Kiai Hasyim merupakan sosok penting yang telah menyelamatkan bangsa ini dari ancaman puritanisme, yang cenderung menginstitusionalisasi kekalahan dan kegagalan tersebut dalam paham keagamaan yang bersifat ekstrem.

Nah, Kiai Hasyim dalam khazanahnya mengajak kita untuk melihat sejarah Islam secara holistis, tidak hanya pada petikan sejarah Islam secara mutakhir, tetapi juga pada masa kejayaan intelektualisme Islam yang telah menjadikan Islam sebagai agama ilmu dan kemajuan, agama peradaban dan keadaban. Istimewanya, Kiai Hasyim melihat fakta tersebut justru dalam rangka membangkitkan semangat untuk memberdayakan umat. Karena itu, setelah menuntut ilmu di Mekkah, beliau langsung mengajar di pesantren, kemudian mendirikan PesantrenTebuireng sebagai upaya mencetak kader-kader muslim unggulan yang siap menghadapi tantangan zaman dengan bekal keilmuan dan tradisi keagamaan yang kuat.

Alumninya pun dinasihati agar mendirikan pesantren juga. Kiai Hasyim mampu mendorong para Kiai agar bisa melahirkan pemimpin yang dapat menjadi teladan bagi umat serta pewaris para Nabi. Tidak seperti yang terjadi sekarang, khususnya sebagian pesantren di luar tradisi NU, dengan kecenderungan mengajarkan pandangan radikal dan ekstrem. Lalu, banyak pihak yang menuduh pesantren sebagai lading “para pengantin” bom bunuh diri.

Oleh karena itu, dalam konteks inilah maka pesantren yang dipersepsikan oleh Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari (founding fathers Ormas NU) masih sangat relevan dan perlu dijadikan contoh bagi pesantren-pesantren lain, yang belakangan mulai menciptakan kekhawatiran dan keresahan. Peran pesantren harus dikembalikan sebagai lembaga pendidikan keagamaan yang diharapkan dapat memainkan peran pencerdasan dan kebangkitan moralitas umat. Pesantren harus menjadikan kader-kader muda semakin mengerti agama sebagai elan transformasi social dan keadaban publik. Tidak hanya itu, mereka juga diharapkan dapat menjadi penggerak masyarakat (community organizer), di mana alumninya dapat terlibat dalam pemberdayaan umat. Bagaimana pendapat Anda?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *