Korona Merebak, Ibadah Malang Kadak (2)

oleh: DR. KH. Ahmad Musta’in Syafi’ie al-Hafidz al-Hadist (Pengasuh Madrasatul Qur’an Tebuireng)

JelajahPesantren.Com – Memang penyakit itu lintas agama. Tak pandang agamanya apa. Bila lemah, ya kena. Tapi kami yaqin, haqqul yaqin, bahwa Islam lebih sempurna memberi panduan. Tidak hanya pakai kurikulum “puskesmas” saja, melainkan juga kurikulum “masjid”.

Usulan tetap memakmurkan masjid di tengah corona bukan melawan kurikulum puskesmas, karena setelah lebih dahulu mematuhi kurikulum puskesmas. Seperti disteril, cuci tangan, jaga jarak dan lan-lain. Tidak pula melawan fatwa pembolehan tidak jum’ahan atau berjamaah, justru membantu pemerintah dalam penanganan korona.

Pertama, masjid adalah tempat sujud, tempat mengadukan semua problem kepada Dzat yang maha kuasa. Apalagi dilakukan secara kolosal dan demonstratif (berjama’ah), maka Tuhan tak tega menolak. Jika Anda yakin ini, maka izinkan masjid membantu percepatan penyelesaian corona dengan caranya sendiri.

Untuk itu, datanglah besopan-sopan ke Rumah-Nya, seperti anda beramai-ramai datang ke istana menuntut sesuatu. Di masjid, Tuhan telah lama menunggu kedatangan kalian. Saatnya berik’tikaf menyeluruh, muhasabah dan isftigfar, serta membuka pintu masjid di malam hari. Saatnya semua ber-QUNUT NAZILAH secara tadlarru’ wa khufyah.

Simak salah satu penggalan kalimat dalam qunut nazilah. “.. Allahumm idfa’ ‘anna al-bala’ wa al-waba’ wa al-ghala’…“. (tangkislah kami dari bala, waba dan ghala). Ada keterkaitan antara ketiganya: al-bala’ (cobaan, belai :  Jawa), al-waba’ (wabah, korona), al-ghala’ (harga mahal). Terbaca, bahwa Masjid tidak hanya memproyeksikan dihilangkannya corona saja, melainkan juga bala’ yang lain, bahkan memohon stabilitas ekonomi yang bisa terjadi akibat dampak wabah.

Betapa banyak orang yang tega mengeruk untung dari sekedar penjualan masker, jahe dan temulawak. Belum lagi kalau “lockdown“, maka kebutuhan pokok jadi rebutan. Sungguh hal yang tidak terjangkau oleh kurikulum puskesmas. Dan itu hanya bisa dilakukan bersama, di masjid.

Dalam sejarah orang-orang shalih terdahulu, tidak ada qunut nazilah yang tidak efektif. Semua problem terselesaikan di luar nalar. Padahal zaman dulu, penanganan wabah secara medis tidak secanggih sekarang.

Kedua, benar-benar ada jaminan dari hadlrah Rasulillah SAW, bahwa Allah SWT tidak akan menimpakan wabah kepada ahli masjid, ‘ummar al-masjid. Jika anda percaya sabda Nabi ini, maka yakinlah bahwa Tuhan tidak mungkin menebar Covid-19 di rumah-Nya sendiri. Maka, bagi yang sudah positif terpapar, ya jangan ke masjid. Sekali lagi, karena ahli masjid adalah orang-orang bersih, lahir dan batin, “ fihi rijal yuhibbun an yatatahharu” (al-Taubah:108). Sementara kerumunan di luar masjid, mall, pasar, resepsi, wisuda, do’a bersama, dan tempat ibadah agama lain tidak ada jaminan.

Ketiga, corona ini bisa jadi sebagai tes keimanan bagi umat Islam terkait kepeduliannya dengan masjid. Bukankah, hanya orang yang beriman saja yang setia memakmurkan masjid (al-Taubah:18) ? Bagi yang tidak pernah ke masjid memang tak ada beda, diwajibkan, apalagi dilarang. Tapi tidak bagi yang biasa ke (sobo : jawa) masjid. Rasanya ada yang hilang. Bukankah Tuhan juga welas asih kepada seseorang yang hatinya “gumantung” di masjid, “rajul qalbuhu mu’allaq fi al-masajid” (Hadis).

Indah sekali, bila Wakil Presiden Kiai Makruf Amin mempelopori sisi masjid, sementara Pak Jokowi sisi puskesmasnya. Tulisan ini sekedar mengimbangi pemikiran fikih yang lebih fokus ke akaliah dengan mengajak sedikit naik ke zona ilahiah. Kehilangan Sandal di Masjid Memang Kecewa. Seharusnya Lebih Kecewa Lagi Ketika Sandal Anda tidak Pernah Kelihatan di Masjid.  Hadaana Allah… semoga Allah memberi hidayah kepada kita. Aamiin….

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *