Masjid Al-Aqsha Menara Kudus sebagai Simbol Toleransi

Idul Kurban dan Local Wisdom Kanjeng Sunan Kudus

JelajahPesantren.Com – Bulan terakhir dalam kalender hijriyah adalah Dzulhijjah, tepatnya tanggal 10 dirayakan sebagai salah satu hari raya umat Islam. Adalah Idul Adha, atau sering disebut Hari Raya Kurban atau Idul Kurban.

Idul Kurban sendiri dalam khasanah tradisi perayaan hari besar di Nusantara tidak semeriah Idul Fitri atau lebaran. Hal ini antagonistis dengan tradisi di Timur Tengah, negara-negara Arab dan negara mayoritas Islam lainnya, yang lebih meriah dalam merayakan Idul Kurban. Dan tulisan ini tidak sedang mendialektikakan fenomena tersebut.

Kembali tentang ihwal Idul Kurban. Para ulama banyak mengungkap bahwa religiousity value dari Idul Kurban terkait keteladan Nabi Ibrahim as. dan Nabi Ismail as. yang diabadikan dalam teks suci, QS. As-Saffat [37]: 102-108.

Religiousity value Idul Kurban memiliki kesatupaduan berkurban dengan prinsip Hablun min Allah, sekaligus Hablun min Annas. Adalah misi suci yang diteladankan Nabi Ibrahim as, yang mendapatkan perintah dari Allah swt. untuk menyembelih putra tercinta, Nabi Ismail as. dalam beberapa kali mimpinya.

Lalu Kami panggil dia, ‘Wahai Ibrahim! Sungguh, engkau telah membenarkan mimpi itu. Sungguh, demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sungguh ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim (pujian) di kalangan orang-orang yang datang kemudian,” (QS. As-Saffat [37]: 104-108).

Tafsir Fi Zhilalil Qur’an menyebutkan bahwa Allah menebus jiwa yang telah menyerahkan dirinya dan telah menunaikan tugasnya. Dia menebusnya dengan seekor sesembelihan yang besar. Yang mana seekor sesembelihan tersebut didapati oleh Nabi Ibrahim as. yang disiapkan oleh Rabb-nya dan dikehendaki-Nya untuk di sembelih oleh Nabi Ibrahim as. sebagai ganti menyembelih Nabi Ismail as.

Dikutip dari Tafsir Ibnu Katsir, Sufyan ats-Tsauri menceritakan dari Jabir al-Ju’fi, dari Abuth Thufail, dari Ali “Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sesembelihan yang besar”. Dia mengatakan bahwa, yang dimaksud sesembelihan yang besar adalah seekor domba jantan yang berwarna putih, bermata bagus, bertanduk serta diikat dengan rumput samurah.

Idul Kurban sendiri identik dengan sesembelihan hewan kurban sebagai bentuk penapaktilasan kisah Nabi Ibrahim sebagai salah satu leluhur umat Muslim dan putra sematawayangnya, Nabi Ismail as. sang Sadiqul Wa’di.

Salah satu simbol penyembelihan hewan kurban dengan menumpahkan darah hewan adalah menanggalkan sifat-sifat kebinatangan yang melekat pada diri manusia.

Local Wisdom Kanjeng Sunan Kudus

Merujuk dalam artikel Stakeholder Theory and Spirituality, teori stakeholder menunjukkan bahwa melalui memanusiakan sesama oleh tokoh panutan memberikan aspirasi bagi follower mereka untuk mengikuti apa yang dilakukan oleh sang tokoh (Wicks, 2015). Ini yang dilakukan follower Kanjeng Sunan Kudus kala itu sampai sekarang terkait hewan sesembelihan (kurban).

Masjid Al-Aqsha Menara Kudus sebagai Simbol Toleransi
Masjid Al-Aqsha Menara Kudus sebagai Simbol Toleransi

Islam tidak mengharamkan menyembelih sapi, sehingga tidaklah mungkin Kanjeng Sunan Kudus melarang menyembelih sapi. Untuk kemanusiaan dan toleransi, karena dulu banyak penganut agama Hindu yang secara keimanan sapi dianggap sebagai hewan suci. Jaffar Shadiq atau Kanjeng Sunan Kudus mengimbau dengan sangat kepada masyarakat, khususnya yang sudah memeluk Islam untuk tidak menjadikan sapi sebagai hewan sesembelihan.

Sehingga masyarakat Kudus dan sekitarnya sampai sekarang tidak menjadikan sapi sebagai hewan sesembelihan. Tentunya termasuk dalam ritual Idul Kurban, hewan sesembelihan Kurban yang umum di Nusantara adalah sapi diganti dengan kerbau.

Tidak menjadikan sapi sebagai hewan sesembelihan penuh pesan moralitas yang tinggi waktu itu, faktanya mayoritas masyarakat waktu itu yang menganggap sapi sebagai hewan suci. Demikian adalah bukti bahwa Kanjeng Sunan Kudus meletakkan fondasi nilai-nilai toleransi dalam kehidupan bermasyarakat.

Bukti lain, merangkul masyarakat Budha, dengan membuat padasan tempat wudlu Masjid Al-Aqsha Menara Kudus berupa pancuran yang berjumlah delapan yang di atas pancuran tersebut diberi arca kepala Kebo Gumarang yang disesuaikan dengan ajaran Budha “jalan berlipat delapan atau asta sunghika marga”.

Perjumpaan Kanjeng Sunan Kudus dengan The Liang Sing mubaligh terkemuka asal Tiongkok, yang kemudian dikenal dengan nama Kyai Tlingsing (karena dialek Jawa kesulitan penyebutan nama The Liang Sing) menjadikan relasional keduanya dalam jalan dakwah yang ramah penuh dengan kebajikan kultur lokal, local wisdom.

Kanjeng Sunan Kudus mampu mengintegrasikan Islam dan kearifan lokal, Inilah yang menjadi syarat dari strategi kultural Islam. Yakni kewaskitaan.

Dapat diambil kesimpulan bahwa Kanjeng Sunan Kudus dan para Walisongo lainnya menyebarkan Islam dengan tradisi-budaya yang sudah ada, dan mengubah ajaran yang dikiranya mengandung unsur musyrik ke dalam ajaran yang “Islami”, dan menggunakan kelembutan dan tidak menggunakan unsur kekerasan sama sekali yang dapat disebut “Tasawuf Akhlak” dan “Tasawuf Sosial” tentu hilirisasinya adalah kemanusiaan. Inilah subtansi makna Idul Kurban, pengorbanan. Suara kemanusiaan sebagai tanda keimanan. Akhirnya, Wallahu a’lamu bi al-shawab.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *