Alif dan Manusia

JelajahPesantren.Com Tradisi Aktivitas hidup ini tidak ubahnya seperti huruf Alif. Dari Alif melengkung menjadi Ba, menjadi Ta, berproses hingga sampai akhirnya menjadi huruf Ya. Berlika-liku perjalanan hidup ini sebagaimana “lika-likunya” huruf-huruf itu menjadi satu huruf kepada huruf yang lain. Pada mulanya hidup itu Alif yang kemudian direkayasa mengubah kepada bentuk-bentuk yang lain, tetapi apabila bentuk-bentuk itu ditarik kepada muasal-nya, maka bentuk-bentuk yang baru itu akan kembali kepada keadaan aslinya, yaitu lurus tegak, yaitu huruf Alif.

Hidup itu akan terus berubah seiring dengan perubahan Alif. Perubahan itu bisa tergantung kepada kebutuhan, kepada kondisi, atau bahkan tuntutan. Jika Alif tetap tegak, tetap tidak berubah bentuk, maka ia tidak dapat dibaca menjadi bacaan yang lain, Alif menjadi sombong, kaku, dan merasa paling gagah. Alif harus berubah dari bentuk semula, namun tidak mengubah kediriannya sebagai Alif sebenarnya, ini demi keindahan semesta, dan rasa estetika.

Perubahan Alif dapat menyesuaikan ritme semesta. Ketika ia perlu menjadi huruf Dal, maka seharusnya melengkung kepada bentuk Dal. Ketika ia perlu menjadi huruf Dlod, maka seharusnya ia me-reflek kepada bentuk Dlod, namun ia tetap Alif. Perubahannya hanya menyesuaikan dengan kondisi. Sekarang Alif sudah berubah dengan sebutan-sebutannya yang juga berubah, ia bukan Alif lagi, tetapi disebut berbeda sesuai perubahannya. Ia disebut sebagai pertanda identitas perubahannya. Disebut sebagai kebutuhan makna yang diingikannya.

Indahnya kemudian huruf-huruf jelmaan dari Alif itu ketika dibaca. Rasa estetiknya sangat memesona jiwa-jiwa yang bersih atau jiwa-jiwa yang menginginkan keberkatan. Maknanya pun berbeda-beda tidak seperti sediakala, kala Alif masih kesendiriannya, bahkan saat ini Alif mempunyai bermacam-macam ribu makna. Tetapi ribuan makna-makna itu esensinya adalah makna yang dimiliki oleh Alif.

Hidup ini akan tetap indah apabila manusia seperti Alif. Dan begitulah seharusnya. Manusia wakil Allah, Tuhan semesta alam untuk memakmurkan bumi-Nya. Sebagai wakil Allah, manusia dititipkan Alif-Nya, Alif yang terdapat pada lafadz Jalalahnya (keagungannya), sehingga manusia menjadi tegak, dan gagah. Makna manusia tidak boleh menjadi tunggal, makna manusia dikonstruk oleh tugas-tugas ke-Tuhan-an, maka ia memiliki macam-macam makna.

Sebagaimana Alif-Nya, Allah tidak menginginkan makna tunggal atas manusia. Makna-makna itu adalah peran yang dikehendaki-Nya. Katakanlah ada manusia yang menjadi “Ha”, menjadi “Kha” atau “Kaf” dan lain sebagainya. Manusia berperan sebagai birokrat, teknokrat, dan atau menjadi seorang aparat serta peran-peran yang lainnya. Tidak mungkin atau bahkan mustahil untuk dapat memakmurkan bumi ini apabila manusia tidak bersebrangan peran diantara satu dengan yang lainnya, manusia harus berbeda, sebagaimana Alif yang kemudian dapat dibaca dan memberikan makna-makna baru sesuai perbedaan perubahannya. Dari sini, dapat disadari bahwa menjadi mustahil keseragaman peran bagi manusia. Keberbedaan peran sudah barang tentu berimplikasi kepada perbedaan gaya cara pandang dan analisa-analisa suatu permasalahannya. Dengan demikian, perbedaan adalah sesuatu yang hak, sesuatu yang pasti yang tidak dapat dipungkiri. Tetapi dalam diri kita tetap Alif, perubahan-perubahan itu hanya untuk tuntutan kemaslahatan sesuai dengan tugas kekhalifahan manusia.

Sepertinya, manusia hanya perlu memberikan sentuhan improv dalam bentuk kesungguhan dalam setiap peran yang dimainkannya supaya peran-peran itu menjadi lebih indah dan mempesona di hadapan Penciptanya sebagai Sutradara tunggal. Artinya, manusia tidak perlu hasud dan dengki kepada peran-peran yang dimainkan oleh manusia-manusia lainnya. sebab, sejatinya, peran-peran itu saling mendukung dan melengkapi dari peran dirinya. Tidak boleh menghina, mencaci, atau lebih lagi menghabisi pemeran lainnya, sebab itu akan mengurangi nilainya dihadapan sang Sutradara.

Kita boleh disebut sebagai seorang Kiai, itu karena kita ada santri dan tanpa adanya para santri belum tentu kita disebut sebagai Kiai. Kita boleh disebut sebagai orang kaya, itu karena di sebelah kita ada orang yang miskin. Kita boleh disebut orang yang baik, itu karena didekat kita ada orang yang jahat. Maka, sebagai Alif-Nya Tuhan, kita tidak boleh membenci orangnya (yang jahat) dan kemudian menghabisnya, yang perlu kita lakukan adalah peran kita untuk dapat mengubah perilakunya supaya kembali menjadi baik. Terkadang, barangkali kita berproses memerankan berbagai peran yang memungkinkan untuk mengantarkan orang lain menjadi baik.

Manusia Alif akan dapat beradaptasi di mana pun ia berada. Dia mampu beradaptasi karena kesadaran peran-peran yang dibawanya. Sebagaimana Alif secara formal yang memiliki perubahan hingga sampai 28 perubahan (Alif sampai Ya), maka manusia pun juga dapat melakukan proses yang sama. Dilingkungan mana pun manusia bertempat tinggal dan beraktivitas, ia sebagai Alif-Nya Tuhan, maka ia akan senantiasa mampu beradaptasi, mampu memerankan diri sebaik-baiknya dengan peran yang sesuai dengan kebutuhan lingkungannya, peran yang mendatangkan manfaat untuk alam semesta.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *