Syahwat Beragama (2-Habis)

JelajahPesantren.Com – Sejak era “Ijo Royo-royo” (Islamisasi) awal tahun 1990-an, terutama Ketika Negara (Orde Baru) mulai mendukung Islamisasi (ICMI, Bank Muamalat, Koran Republika, ABRI Hijau) yang disambut dengan gegap gempita oleh kaum Muslim dan terus meluncur sampai hari ini, kita menyaksikan “peradaban agama” sebagai pilar yang sangat mencolok dalam “peradaban Indonesia”. Satu fenomena yang tidak pernah terbayangkan dalam imajinasi orang Indonesia di tahun-tahun 1960-an hingga ke belakang. Sebenarnya terdapat hal-hal positif dalam kebangkitan gairah keagamaan itu, misalnya agama muncul dalam wajahnya yang modern, menjadi sumber literasi, perekat harmoni, dan menjadi inspirasi untuk pengembangan etika publik. Agama model ini muncul dari kelompok-kelompok “muslim terpelajar”, apa pun identitas dan kelas sosial mereka. Tetapi, muncul juga fenomena yang cukup mencolok yaitu bahwa antusiasme religius itu membawa beberapa konsekwensi serius, misalnya menguatnya konservatisme religius.

Profesor Martin van Bruinessen dkk menulis buku khusus tentang itu, “Conservative Turn” (2013). Profesor Syafiq Hasyim dkk juga menulis  “Rising Islamic Conservatism in Indonesia: Islamic Groups and Identity Politics” (2020). Gelombang ‘conservative turn’ dan the rising of Islamic conservatism tidak hanya menyangkut kesalehan personal di wilayah privat, tetapi juga berimplikasi kepada hubungan sosial, misalnya meningkatnya pandangan, sikap dan tindakan intoleransi dan diskriminatif. Indeks kerukunan umat beragama tahun 2019 yang dirilis oleh Kementerian Agama menunjukkan ironi. Lima provinsi dengan indeks kerukunan tertinggi diraih oleh provinsi dengan mayoritas penduduk non-Muslim (Papua Barat, NTT, Bali, Sulawesi Utara, dan Maluku). Sedangkan provinsi-provinsi dengan mayoritas Muslim berada di tengah dan di bawah, bahkan Aceh berada di indeks kerukunan terendah (60,2) (Badan Litbang Kemenag RI 2019).

Pusat Pengkajian Islam & Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta pada 2016 juga melakukan riset tentang toleransi dan pandangan keagamaan guru-guru pelajaran agama di Sekolah Menengah dan Sekolah Menengah Atas di 11 kabupaten dan kota di lima Provinsi (Jawa dan Luar Jawa). Ketika diajukan beberapa pertanyaan berikut “pemerintah berdasarkan syariat Islam” (setuju 78%, tidak setuju 22%); “Pancasila dan UUD 1945 sesuai dengan syariat Islam” (setuju 82%, tidak setuju 18%); “Dukungan terhadap organisasi yang memperjuangkan syariat Islam” (setuju 77%, tidak setuju 23%); “Memberi izin pendirian rumah ibadah non-Muslim di wilayah Muslim” (setuju 19%, tidak setuju 81%); “Memberikan ucapan selamat hari raya kepada agama non-Islam” (pernah 26%, tidak pernah 74%) (Didin Syafrudin 2018).

Pada November 2020 PPIM kembali merilis hasil riset nasional tentang narasi paham keagamaan di media sosial. Paham konservatisme Islam menguasai perbincangan di media online dengan persentase 67.2%, disusul kelompok moderat 22.2%, liberal 6% dan Islamis 4.5%. Sepanjang 2009-2019 hashtag yang bersifat konservatif menjadi yang paling populer. Narasi konservatif yang banyak muncul di media sosial umumnya terkait isu perempuan, hubungan negara dengan warga negara dan kelompok-kelompok yang ada di masyarakat, serta masalah praktik ibadah yang dianggap baik dan buruk. Dalam riset itu juga ditemukan bahwa paham Islam moderat sebenarnya masih lebih banyak kuantitasnya, tetapi mereka cenderung diam (silent majority) dan kalah berisik dari kelompok-kelompok Islamis. Temuan riset itu semakin menguatkan posisi kelompok Islamis sebagai noisy minority (minoritas berisik).

Apa yang bisa dibaca dari fenomena di atas? Ada banyak orang yang senang dengan fenomena antusiasme religius itu? Tentu saja. Inilah saatnya Islam sebagai “identitas agama” berjaya di negeri ini lebih dari agama apa pun. Dan wajar donk Muslim sebagai mayoritas menginginkan “penerapan Islam” dalam semua aspek kehidupan. Ada juga yang merasa tidak nyaman, Muslim dan non-Muslim, karena banyak urusan di wilayah publik (Pendidikan, birokrasi, budaya, politik dll) yang semestinya bisa dikelola oleh ilmu pengetahuan dan sains tapi agama ikut campur mau mengaturnya. Termasuk kelompok kedua ini adalah yang tidak nyaman Ketika proses Islamisasi harus “tabrakan” atau “benturan” atau bahkan mau menghancurkan kekayaan budaya-budaya lokal Nusantara. Ada juga kelompok ketiga yang skeptis yang mengatakan bahwa fenomena itu “hanya kulit luar saja, tidak dibarengi dengan kualitas dan substansi”. Artinya bagi kelompok ketiga, kebangkitan agama ini hanya trend saja. Ketika banyak masalah hidup yang tidak bisa diselesaikan oleh agama secara riil, maka trend ini akan menurun. Orang hanya akan kembali ke agama pada soal-soal moral-spiritual dan etika saja.

Dalam konteks internal umat Islam sendiri, Saya punya refleksi begini: umat Islam Indonesia, dalam 30 tahun atau 20 tahun terakhir, ketika mendefinisikan diri mereka, mereka berada dalam “tarik-ulur psiko-sosio dinamis” sebagai Muslim dengan akar budaya yang sangat kaya dan beragam dan terikat oleh ideologi “Bhinneka Tunggal Ika”, yang hidup dalam pluralitas agama dan keyakinan, tetapi harus menghadapi perubahan sosial dan perubahan dunia dan terus menerus harus melakukan pemikiran ulang tentang praktik dan pemikiran Islam mereka vis a vis nasionalisme dan globalisme. Apakah mereka Muslim Indonesia yang masih menganut budaya “sintesis mistik” seperti dalam teori Ricklefs? atau menjadi Muslim global seperti yang diinginkan oleh Hizbut Tahrir dan gerakan transnasional di tanah air? atau menjadi “Muslim Indonesia baru” sebagai hasil sintesis dari lokal, trans-nasional dan global? Atau masih akan terus berproses dalam proses yang masih panjang ???

Allah Swt berfirman:  “Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) ” umat pertengahan ” agar kamu menjadi saksi atas Rosul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Kami tidak menjadikan kiblat yang dahulu kamu berkiblat kepadanya agar Kami mengetahui siapa yang mengikuti Rosul dan  siapa yang berbalik ke belakang. Sungguh pemindahan kiblat itu sangat berat kecuali bagi orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah. Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sungguh Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.” (QS. Al Baqoroh : 143)

Janganlah pernah lelah untuk selalu belajar menjadi orang yang baik, tiada pernah berhenti untuk berbuat kebajikan, serta tidak pernah jenuh untuk senantiasa menebar benih kasih sayang kepada sesama.

Marilah kita saling nasehat menasehati dalam ketaqwaan dan kesabaran, serta berbagi ilmu pengetahuan. Semoga semua ikhtiar kita bisa bermanfaat dan mampu menginspirasi bagi kehidupan kita di dunia dan akhirat.  Aamiin Yaa Robbal ‘Alamiin, Istajib Du’aanaa Yaa Mujibas Saa’iliin.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *