Manifestasi Pancasila dalam Tahlilan

JelajahPesantren.Com  –  Terlepas dari kontroversi dalil hukum Tahlilan, pada sisi lain tampak begitu bijak para salafush shaleh memberikan warisan serangkaian model ibadah yang begitu agung dan layak mendapat apresiasi generasi berikutnya. Dalam Tahlilan ternyata tidak hanya mengandung nilai-nilai ibadah, tetapi terdapat juga pesan-pesan filosofis yang ingin disampaikan mereka kepada generasi berikutnya.

Pesan-pesan filosofis inilah yang menarik untuk dikaji dalam multidimensi kehidupan manusia. Dalam tulisan ini, penulis membatasi pembahasan seputar Tahlil dalam  konteks kehidupan bernegara khususnya Indonesia. Lebih spesifik lagi pada posisi Tahlil dalam bingkai pengamalan dasar negara yaitu Pancasila.

Tahlil berasal dari kata “Hallala-Yuhallilu-Tahliilan” yang berarti membaca “Laa Ilaaha Illallah”. Inti Tahlil terdapat pada bacaan kalimat tauhid “Laa Ilaaha illallah”. Orang Indonesia biasa menyebut dengan istilah “Tahlilan” dengan menambahkan akhiran “an” di belakangnya, artinya melakukan atau mengadakan Tahlil.

Di luar dari kajian historis maupun pencipta tahlilan, ternyata di dalam Tahlilan terdapat nilai-nilai filosofis mulia, entah kebetulan atau tidak, yang pasti sesuai dengan dasar Negara kita yaitu Pancasila. Sehingga siapa pun yang melaksanakan Tahlilan, disadari atau tidak, berarti telah mengamalkan Pancasila.

Tahlilan secara berjamaah , dilihat dari sisi hajat dan keperluan, terbagi dua kategori, pertama Tahlian rutinan, kedua, Tahlilan karena ada hajat atau keperluan tertentu. Tidak ada patokan waktu untuk Tahlil kategori pertama, di daerah tertentu dilaksanakan pada malam jumat, ini yang mayoritas, tapi ada juga yang malam senin, hari ahad, rabu dan lain sebagainya. Kategori kedua sifatnya kondisional, ada kalanya saat selamatan, saat acara syukuran, karena kematian dan lain sebagainya.

Dalam Tahlilan, surat al-Quran pertama yang dibaca adalah al-Ikhlash. Inti dari surat al-Ikhlash mengadung tuntunan meng-esakan Allah SWT dalam segala aspeknya. Mulai dari esa dalam Dzat-Nya, esa dalam posisi sebagai tempat berlindung atau bersandar, sampai esa dari hal yang menyamai-Nya. Ini selaras dengan sila pertama dari pancasila, yaitu “Ketuhanan yang Maha Esa”.  Ketika surat al-Ikhlash dibaca dan diamalkan, maka nilai-nilai sila pertama tercakup di dalamnya.

Ada aturan tidak tertulis dalam pelaksanaan Tahlilan secara jamaah, setiap anggota jama’ah mempunyai hak sama dalam pelayanan shahibul bait, mulai dari tempat sampai konsumsi. Semua jama’ah diperlakukan sama tanpa memandang status sosial yang disandang individu jamaah. Alangkah indah aturan tidak tertulis ini, dianggap tidak etis jika ada jamaah yang menonjolkan status sosial di majlis tahlilan, mereka duduk bersama, mendapat pelayanan yang sama dan mempunyai hak yang sama. Ini semua merupakan perwujudan dari sila kedua Pancasila “Kemanusiaan yang adil dan beradab”. Langsung atau tidak langsung, sengaja ataupun tidak, yang jelas jamaah telah diarahkan untuk mengamalkan sila kedua dari Pancasila tersebut.

Tradisi yang ada, sebelum dan sesudah pembacaan Tahlil, biasanya para jamaah bercengkrama dengan penuh keakraban dan canda-gurau sambil menikmati hidangan yang disuguhkan tuan rumah. Keakraban, rasa persaudaraan dan perasaan senasib muncul dari kebiasaan ini. Persatuan antar jama’ah terjalin erat dan terpelihara tanpa paksaan dan muncul secara otomatis di majlis Tahlilan. Jika berbicara sila ketiga dari Pancasila “Persatuan Indonesia” maka salah satu bentuk pengamalannya nyata ada dalam tradisi Tahlilan. Memang jama’ah terkadang tidak merasa bahwa sebenarnya mereka telah mengamalkan sila ketiga, tapi teradisi ini dibangun oleh salafush saleh dan terus berkesinambungan sampai hari ini. Pada akhirnya persatuan dan kesatuan tertanam di kalangan jamaah sekaligus berkesesuain dengan sila ketiga.

Tradisi cengkrama di atas posisinya di luar pembacaan Tahlil, saat Tahlil dibaca, maka ada salah satu jama’ah yang memimpin pembacaan Tahlil, meskipun semua jamaah hafal semua kalimah thaiyibah yang ada dalam tahlilan. Secara otomatis mereka dilatih untuk menjadi pemimpin dan terpimpin yang baik.Tidak satupun jama’ah berani mengeraskan bacaan yang bertentangan dengan bacaan imam Tahlil. Bisa saja seandainya para jama’ah membaca kalimah thaiyibah sendiri-sendiri tanpa ada yang jadi imam, karena masing sudah hafal bacaan yang ada, tapi nilai edukasi dan filosofis luhur terdapat pada adanya imam dalam pembacaan Tahlil.

Di samping itu, tradisi di atas tak jarang menjadi ajang musyawarah untuk menentukan langkah-langkah kegiatan sosial dan keagamaan di daerahnya. Banyak keputusan ataupun pemecahan masalah daerah lahir dari majelis Tahlilan. Musyawarah non formal ini sangat efektif dan efisien tanpa harus mengorbankan waktu dan biaya secara khusus. Ini semua merupakan bentuk dari pengamalan dari sila keempat dari Pancasila “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaran/ perwakilan”.

Berkaitan dengan hak jamaah, mereka mempunyai bagian yang sama dalam pelayanan akomodasi dan konsumsi. Kaya ataupun miskin “berkat”nya sama, jatah konsumsinya sama dan tempat duduknya sama. Ini merupakan bentuk pengamalan dan pembelajaran konsep keadilan. Kebiasaan ini sudah lama berjalan dan sudah menjadi aturan tidak tertulis bahkan tertanam dengan penuh keikhlasan dan kesadaran penuh di masing-masing jama’ah. Jika kita lihat bunyi sila kelima Pancasila “Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia” maka tradisi ini merupakan bentuk pengamalan hakiki dari sila ke lima Pancasila.

Begitu agung apa yang dicetuskan dan diwariskan shalafush shaleh kepada kita, sehingga kita bisa menikmati keberadaan tatanan yang ideal dan penuh kenyamanan. Tetapi terkadang sebagian dari kita hanya memandang dari luar saja tanpa merenungkan lebih jauh kandungan di dalamnya. Wallahu a’lamu bi al-shawab.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *