Balaghah dan Interaksi Komunikasi Keseharian (1)

JelajahPesantren.com – Balaghah salah satu ilmu yang membahas tata cara interaksi sehari-hari melalui ujaran (kalam). Sebagai ilmu yang membahas tentang kalam, maka fokus utama uraian-uraiannya adalah tentang kata dan kalimat-kalimat interaksi. Dari sini muncul istilah mukhbir (informan), mukhathab (penerima informasi/ lawan bicara), dan khithab (informasi)/ khabar (berita). Interaksi sehari-hari kita secara nyata tidak luput dari ketiga susunan tersebut, yaitu mukhbir, mukhathab, dan khithab. Penekanan utama bertumpu kepada mukhbir. Artinya, seorang mukhbir ketika menyampaikan khithab-nya memahami kondisi mukhathab-nya. Tidak sebatas cukup hanya memahami kondisi si mukhathab, seorang mukhbir harus dapat berkomunikasi dengan pemilihan kata serta dapat merangkai satuan kata-kata tersebut dengan indah dan mempesona, sehingga mukhathab tertarik mendengarkannya dan memahami apa yang dimaksudnya.

Karakter seorang mukhathab tidak lepas antara orang yang tidak atau belum mengetahui suatu informasi, mengetahui setengah-setengah informasi, menerima informasi yang tidak benar, mengetahui informasi tapi tidak menerima kebenarannya. Ketika menghadapi karakteristik mukhatab pertama, maka seorang mukhbir cukup hanya dengan menyampaikan informasinya secara sederhana. Ini mengingat seseorang yang tidak mengetahui sebuah informasi (khali al-dzihn) mudah saja menerima sebuah informasi yang disampaikan kepadanya tanpa meminta penjelasan yang lain. Namun, tidak menutup kemungkinan seseorang yang belum atau tidak mengetahui sebuah informasi bisa menunjukkan keragu-raguannya akan sebuah informasi yang disampaikan oleh si mukhbir, hal ini bisa jadi karena si mukhathab adalah orang yang berpengalaman tentang banyak hal. Ketika seorang mukhbir melihat tanda-tanda karaguan pada si mukhathab, maka sebaiknya mukhbir menambahkan kata-kata penekanan (taukid) dalam informasi yang disampaikannya supaya si mukhathab percaya atas informasi yang disampaikan kepadanya.

Kemudian untuk karakteristik mukhathab yang kedua, yaitu mukhathab sudah menerima informasi namun informasi yang diterimanya masih setengah-setengah atau simpang siur benar dan tidaknya, maka sudah sepatutnya mukhbir memintanya untuk mempercayai berita yang disampaikan kepadanya olehnya, permintaan ini diikuti oleh kata-kata yang menunjukkan kesungguhan (taukid) atas berita yang disampaikannya.

Menghadapi karakteristik mukhathab yang ketiga, yaitu menerima informasi yang tidak benar dari orang lain, maka sudah barang tentu seorang mukhbir memberikan penguatan (taukid) yang diperlukan atas informasi yang disampaikannya sampai mukhathab mempercayai informasi yang dibawanya.

Kemudian yang terakhir, yaitu di mana mukhathab diketahui sudah menerima akan kebenaran informasi namun dia menyanggahnya (mengingkarinya), maka yang perlu dilakukan oleh mukhbir adalah usaha dengan memperingatkan kepadanya atas konsekuensi dari keingkarannya tersebut (ancaman). Dan bahkan, status pada pribadi mukhathab yang menolak kebenaran ini padahal dirinya tahu tentang konsekuensi apabila mengingkari tentang sebuah kebenaran sesuatu, maka dia dikategorikan kepada pribadi yang bodoh. Orang yang bodoh adalah orang yang tidak mengetahui sesuatu, karena kebodohannya maka dia tidak bertindak apa pun.

Di samping karakter di atas, sebagaimana yang sudah disinggung di atas, bahwa yang juga tidak boleh luput dari perhatian mukhbir tentang mukhathab adalah latar sifat dari latar belakangnya. Artinya, mukhbir berusaha memahami betul kepada komunitas atau individu seperti apa yang tengah dihadapinya. Misalkan, apabila yang sedang dihadapinya adalah komunitas petani, maka tidak sepantasnya ia menggunakan  bahasa terlalu tinggi, bahasa intelektual misalkan. Artinya, gunakanlah kata-kata yang familiar dengan kepada siapa yang sedang ia hadapi.

Khithab adalah informasi atau berita (khabar) yang disampaikan oleh pembawa informasi (mukhbir). Sebuah berita yang penting untuk disampaikan kepada seseorang atau kepada sekelompok orang bisa saja tidak berharga karena ketidaktepatan pemilihan kata-katanya. Atau, secara pemilihan kata sudah tepat, namun cara merangkai kata-kata sehingga membentuk sebuah kalimat tidak bagus sehingga mukhathab kurang dapat mencerna dan memahaminya. Atau bisa pula, secara pemilihan kata sudah baik, kemudian tata cara penyusunan kata sudah indah, tetapi cara pengucapannya yang kurang tertata dan terukur atau tidak jelas dan terang, misalkan mengucapkannya dengan terbata-bata atau “belepotan“, maka ini akan menimbulkan kehilangan nilai isi dari kandungan informasi yang dibawanya.

Oleh sebab itu, pengalaman di sini menjadi sangat penting. Dalam teori balaghah dikenal dengan apa yang disebut “malakah“. Malakah merupakan kemampuan seseorang berbicara, terampil dalam menyampaikan sebuah maksud dan tujuan yang dikehendakinya dengan cerdas dan lugas. Tidak hanya itu, malakah adalah kemampuan memoles maksud dan tujuan tersebut dengan kalimat-kalimat yang indah yang mampu membuai jiwa-jiwa yang mendengarkannya, atau bahkah membakar emosi dan kemarahan hati. Malakah merupakan sifat dari potensi seseorang yang tidak serta merta matang seketika tanpa diasah terlebih dahulu. Banyak berlatih, belajar dan belajar dari pengalaman merupakah salah satu jalan mematangkan sifat malakah tersebut.

Kategori sebuah kata dapat diasumsikan bagus apabila kata tersebut terhindar dari beberapa unsur terlarang. Pertama adalah, tidak boleh kata tersebut diambil dari kata yang sukar diucapkan atau pelafalan yang dibuat-buat sehingga terkesan sulit mengucapkannya (tanafur). Kedua, tidak disarankan kata tersebut diambil dari kata yang tidak familiar sehingga tidak dimengerti maknanya oleh lawan bicara (gharabah). Ketiga, tidak boleh menyalahi tata pengucapan yang sudah umum di tengah-tengah masyarakat (khulf). Bersambung …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *