Antara Dunia Pesantren, Kiai dan Masyarakat

JelajahPesantren.Com  –  Membicarakan tentang “pesantren, kiai dan santri” merupakan suatu topik yang selalu hangat dan tak akan habis untuk diperbincangkan, digali dan dipelajari. Bagi sebagian orang menyebutkan bahwa pesantren, kiai serta santri merupakan sebuah mata air yang tak akan pernah kering sekalipun berada ditengah-tengah padang pasir yang tandus dan panas menyengat. Bagi sebagian yang lain lagi mengatakan bahwa ia merupakan bintang yang senantiasa menghiasi langit di kegelapan malam yang gelap gulita.

Agaknya pernyataan sebagian masyarakat tersebut ada hikmah yang terkandung di dalamnya. Sebagai ilustrasi “pesantren, kiai dan santri” digambarkan sebagai “mata air”. Air yang dalam konteks fikih masuk dalam kategori thaharah/ bersuci menempati urutan yang paling utama dalam menghilangkan najis. Dalam konteks sosial masyarakat air merupakan kebutuhan dasar, di mana aktivitas seperti membersihkan pakaian, minum, bahkan memandikan sebuah pusaka kerap pula dilakukan dengan media air di sebuah sumber atau mata air tertentu. Berkenaan dengan bintang ada sebuah hadis nabi SAW yang menegaskan hal tersebut “sesungguhnya perumpamaan ulama di bumi ini bagaikan bintang di langit yang diambil petunjuk oleh manusia di kegelapan darat dan laut. Apabila bintang itu terbenam, maka mereka akan tersesat jalan”(H.R. Ahmad).

Image From: lirboyo.net

Bagi sebagian besar masyarakat tradisional, ulama dalam hadis di atas adalah seorang kiai. Figur kiai bagi masyarakat tersebut menduduki tempat sangat sentral melebihi tokoh-tokoh masyarakat lainnya sebut saja seperti pamong atau pejabat desa. Jika pamong tersebut meninggal, masih banyak yang bisa menggantikan namun jika yang meninggal adalah seorang ulama seperti kiai maka masyarakat akan merasa muskil untuk mendapatkan pengganti yang sepadan atau melebihi kiai yang meninggal tadi. Hal ini akan jelas terlihat secara simbolik dari para pentakziyah yang menghadiri kedua tokoh tipe tersebut.

Tulisan ini tidak bermaksud untuk mengagungkan golongan tertentu atas golongan yang lain, karena derajat manusia semua adalah sama di mata Allah SWT yang membedakannya adalah dari sisi ketakwaannya saja. Menurut hemat penulis orang yang konsisten atau istiqomah menjaga nilai-nilai keagamaan adalah para agamawan / ulama utamanya para kiai. Mereka itu semua adalah para penjaga nilai keagamaan yang jujur dan telaten utamanya menyangkut nasib bangsa, hal ini sudah terbukti dalam lintasan sejarah Indonesia. Di balik suksesi berdirinya negara Indonesia ini di samping ada para pejuang, ada pula para arsitek pondok pesantren yang memberikan kontribusi yang besar.

Kaitannya dengan eksistensi kebudayaan, tidak lain adalah dengan menjaga spiritnya, spirit dari kebudayaan tidak lain adalah nilai-nilai kemanusiaan yang bertalian antara etika dan agama. Misalnya bagaimana hubungan manusia dengan Tuhan (hablum min allah), hubungan manusia dengan sesamanya (hablum min nash), hubungan antara manusia dengan alam lingkungannya dan juga hubungan antara ruang, waktu dan masanya. Ada satu prinsip yang sangat fundamental berkenaan dg hubungan antara manusia dengan tuhannya yakni nilai-nilai yang dikembangkan kiai dalam pesantren dan kepada masyarakatnya dengan prinsip “Laa maujuuda illallah” (tidak tuhan selain Allah). Nilai spiritual-transendental inilah yang menjadi landasan sikap sosial dunia pesantren terhadap setiap manusia, lingkungan alam dan terhadap ruang, waktu serta masanya.

Bagaimana dunia pesantren, kiai serta santri merefleksikan hal tersebut? Dalam hal ini sebagaimana kita ketahui bersama bahwa pondok pesantren hingga saat ini bisa dikatakan sebagai satu-satunya lembaga pendidikan termurah di negeri ini, terlebih lagi pesantren salaf dengan sistem pendidikan khasnya sehingga siapa pun dan dari latar belakang sosial yang berbeda-beda dapat diterima untuk mengeyam pendidikan di pesantren.

Bagaimana pula dengan kiai? Tidak seperti pada umumnya pemimpin lembaga pendidikan, kiai lah satu-satunya orang dalam pesantren yang menjaga diri dari untuk tidak menerima gaji atau bayaran apa pun dari lembaganya bahkan terkadang yang terjadi sebaliknya. Benar adanya terkadang kita menemukan kiai menerima “amplop” (berisi uang) dari orang tua santri, akan tetapi hal itu memang kehendak dari wali santri sendiri sebagai penghargaan yang diberikan atas pengorbanannya dan lebih dari itu berharap kepada Allah SWT dengan penghormatan kepada guru-kiai dengan harapan anaknya yang belajar-mondok diberikan ilmu serta keberkahan atas apa yang diperolehnya di pondok pesantren.

Hal seperti inilah yang rupanya digunakan oleh sebagian orang untuk menyerang kyai dengan ketidaktahuan atau su’udhon bahwa kiai memeras umat untuk menciptakan pundi-pundi kekayaan bagi dirinya sendiri, prasangka yang tidak benar inilah yang membuat kita mengelus dada dan prihatin manakala kita melihat fakta betapa hampir seluruh waktu yang digunakannya dicurahkan untuk mengurus umat utamanya memajukan para santrinya dalam berilmu dan bermoral. Oleh karena itulah seorang ulama yang konsisten dengan ajaran nilai keagamaan yang dilakukannya dengan ikhlas akan mengantarkannya menjadi ulama akhirat bukan ulama dunia seperti halnya yang disampaikan oleh Hujjatul Islam Imam Ghozali ra.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *