Generasi Milenial dalam Pandangan Islam

JelajahPesantren.Com – Masa muda adalah masa yang sangat penting dalam kehidupan manusia seperti yang diungkapkan oleh Prof. Benedict R. Anderson dalam Java in time of revolution, mengatakan bahwa dalam konteks kebudayaan Jawa, generasi muda adalah suatu gerbang dalam kehidupan, sementara dalam arti yang lain generasi muda merupakan gaya kultural yang otonom, yang dapat didefinisikan sebagai “gaya oposisi yang sistematik“, demikian dikatakan Alm. Prof. Dr. Tholhah Hasan dalam Prospek Islam dalam menghadapi tantangan zaman (Tholhah Hasan, 2000).

Image From: glocalities.com

Adapun gaya oposisi ini disebabkan karena adanya dua generasi yang secara psikologis mengalami perkembangan yang berbeda begitu pula secara sosial dan kultural. Sehingga dapat menciptakan dua situasi kultural yang berbeda pula. Satu sisi membina, yang lain berkembang. Satu sisi mengajar, yang lain belajar. Satu sisi menguasai, yang lain mempertahankan. Dua generasi yang dimaksud adalah generasi tua dan generasi muda. Dari dua generasi yang berbeda inilah kemudian muncul pula dua orientasi kultural yang berbeda pula.

Sementara dunia informasi dan telekomunikasi yang canggih telah membawa perubahan yang sangat drastis bagi generasi muda kita. Perubahan ini mulai kita rasakan dari cara berkomunikasi, berbagai kemudahan akses terhadap informasi sampai kepada cara berfikir dan respon kita terhadap permasalahan yang ada. Jika perubahan itu positif mungkin tidak perlu dikhawatirkan.Namun, justru perubahan ini terkadang membawa kita menjadi makhluk yang bodoh dan cenderung pemalas.

Karena begitu pentingnya masa muda ini imam Al Ghozali dalam kitabnya Wahai Anakku (Ayyuhal Walad) mengatakan, “Demi Alloh hidupnya pemuda itu adalah dengan ilmu dan ketaqwaan bila dia tidak berilmu dan bertaqwa maka dia dianggap telah mati“ (Ayyuhal Walad). Hal senada juga diungkapkan oleh seorang ulama besar Syekh Musthafa al Ghulayaini dalam ‘idhoh-nya beliau mengatakan, “Ditangan pemudalah urusan ummat dan ditelapak kaki pemuda hidupnya ummat“ beliau juga menambahkan “pemuda saat ini adalah pemimpin dimasa yang akan datang.“ Dari beberapa adagium ini menunjukkan bahwa begitu besar harapan masa depan terhadap pemuda karena hanya dengan menyadari kategori generasi muda sebagai gerbang kehidupan dan sebagai gaya kultural, kita dapat memahami kehidupan dan peran kita.

Dari latar belakang inilah, tulisan ini ingin sedikit mengupas tentang siapa sih sebenarnya yang dimaksud dengan generasi milenial itu? Dan bagaimana pandangan Islam tentang generasi milenial?  Dengan objective sebagai ikhtiar, memberikan sedikit pencerahan terhadap para pembaca khususnya para pemuda tentang seputar generasi milenial dan berupaya untuk dapat memberikan kontribusi positif terhadap generasi muda agar terinspirasi untuk selalu bertindak positif, konstruktif dan tidak terjerumus ke dalam pergaulan yang destruktif.

Generasi Milenial

Milenial yang juga dikenal sebagai generasi Y adalah kelompok demografi setelah generasi X. Istilah tersebut berasal dari milenial yang diciptakan oleh dua pakar sejarah dan penulis Amerika, William Strauss dan Neil Howe dalam beberapa bukunya Milenial generation atau generasi Y juga akrab disebut generation me atau echo boomers. tidak ada batas waktu yang pasti untuk awal dan akhir dari kelompok ini. Para ahli dan peneliti biasanya menggunakan awal tahun 1980-an sebagai awal kelahiran kelompok ini dan pertengahan 1990-an hingga awal 2000-an sebagai akhir kelahiran. (Wekipedia). Setelah 37 tahun berlalu dapat dipastikan sekitar 87% populasi penduduk bumi saat ini didominasi oleh generasi milenial. Karakter yang dimiliki oleh generasi muda ini juga cenderung khas. Karakter mereka sangat berbeda dari generasi sebelumnya mulai dari budaya, sikap, tingkah laku dan hal lainnya.

Alm. Muhammad Tholchah Hasan dalam Prospek Islam dalam menghadapi tantangan zaman beliau mengatakan bahwa generasi muda dalam pengertian umumnya adalah golongan manusia berusia muda. Lebih lanjut dalam Lokakarya Nasional Pembinaan Generasi Muda yang diselenggarakan pada tanggal 4–7 Oktober 1978 di Jakarta, pengertian generasi muda dibedakan dalam beberapa kategori :

  1. Dilihat dari segi biologis, generasi muda adalah mereka yang berumur 12-15 tahun (remaja ) dan 15-30 tahun (pemuda).
  2. Dilihat dari segi budaya, generasi muda adalah mereka yang berumur 13-40 tahun.
  3. Dilihat dari angkatan kerja, yang disebut tenaga muda adalah yang berumur 18-22 tahun.
  4. Dilihat dari kepentingan perencanaan pembangunan, yang disebut sebagai sumber daya manusia muda (young human resources) adalah dari 0-8 tahun.
  5. Dilihat dari segi ideologis-politis, maka generasi muda yang menjadi calon pengganti generasi terdahulu, adalah yang berumur 18-30 tahun, dan kadang-kadang sampai umur 40 tahun.
  6. Dilihat dari lembaga dan lingkungan hidup sosialnya, generasi muda dapat dibedakan dalam tiga kategori :
  7. Siswa, usia antara 6-18/19 tahun.
  8. Mahasiswa, usia antara 18-25 tahun.
  9. Pemuda, yang berada diluar sekolah atau perguruan tinggi, usia antara 15-30 tahun (Mohammad Tholchah Hasan, 2000: 60 – 61).

Sementara generasi milenial memiliki ciri khas tersendiri yaitu, mereka lahir pada saat TV berwarna, handphone juga internet sudah diperkenalkan, sehingga generasi ini sangat mahir dalam teknologi. Di Indonesia sendiri dari jumlah 255 juta penduduk yang telah tercatat, terdapat 81 juta merupakan generasi milenial atau berusia 17-37 tahun. Hal ini mengindikasikan bahwa Indonesia memiliki banyak kesempatan untuk membangun negaranya. Tapi, kemanakah mereka pergi? Apakah mereka bersembunyi? Sungguh tidak, jika kita menengok ke dunia sebelah (medsos), generasi milenial sangat mendominasi jika dibandingkan dengan generasi X (Rumah Milenial.com, 2018).

Hanya saja kebanyakan dari generasi milenial kurang peduli terhadap dunia sekeliling mereka seperti dunia politik perkembangan ekonomi dan lainya, mereka lebih peduli untuk membanggakan pola hidup kebebasan dan hedonisme. Memiliki visi yang tidak realistis dan terlalu idealistis yang penting bisa gaya. Demikianlah kiranya sekilas tentang dunia generasi milenial yang menggambarkan prototipe genersai masa depan sebagai tonggak estafet pembangunan bangsa.

Pandangan Islam tentang Generasi Milenial

Islam melalui ayat kauniyah berupa jagad raya yang luas yang meliputi makro kosmos dan mikro kosmos dan juga ayat qauliyah dalam bentuk kalam ilahi memberikan informasi sekaligus tuntunan dalam tata kelola kehidupan manusia yang sesuai dengan sunnatulloh (nature) dan syariatulloh (culture) seperti yang difirmankan oleh Alloh swt dalam Al Qur’an Surat Ali Imron ayat 110 menegaskan bahwa :

كنتم خير امة اخرجت للناس تاءمرون باالمعروف وتنهون عن المنكر وتؤمنون بالله …الايه  ( ال عمران : 110 )

Artinya : “ Adapun kamu (wahai ummat Muhammad) adalah sebaik-baik ummat (dalam hal iman dan amal) yang dikeluarkan bagi manusia agar mengajak kepada kebaikan, mencegah kemungkaran dan beriman kepada Alloh swt … (QS. Ali Imron : 110)

Seperti yang termaktub dalam tafsir hasyiyah Asshowi karya syekh Ahmad bin Muhammad Asshowi al Mishri kata ( اخرجت للناس   ) adalah sifat untuk ummat, sementara kata ( للناس ) menunjukkan bahwa sesungguhnya ummat ini dapat memberikan manfaat dan rahmat baik bagi diri sendiri maupun bagi makhluk secara umum (Asshowi, 2004: 230).

Sementara generasi milenial seperti yang telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya ada beberapa ciri yang menonjol dari kehidupan generasi muda atau milenial ini antara lain: Kemurnian idealismenya; Keberanian dan keterbukaannya dalam menyerap nilai-nilai dan gagasan baru; Semangat pengabdiannya; Spontanitas dan dinamikanya; Innovasi dan kreativitasnya; Keinginan-keinginan untuk segera mewujudkan gagasan-gagasan baru; Keteguhan janjinya dan keinginan untuk menampilkan sikap dan kepribadian yang mandiri; Masih langkanya pengalaman-pengalaman yang dapat merelevansi pendapat, sikap dan tindakannya dengan kenyataan-kenyataan yang ada.

Ciri yang demikian ini, dalam Al Qur’an juga berulang kali disebut, seperti tentang kemurnian idealismenya Ashhabul Kahfi QS. Al Kahfi: 12, semangat pengabdian nabi Ibrohim as QS. Al Anbiya’: 60, keteguhan janji dan keinginan untuk menampilkan sikap yang committed dari Tholut QS. Al Baqoroh: 247. Dalam sejarah perkembangannya Islam sendiri mencatat peranan pemuda, terutama pada zaman Rasululloh saw ada sekitar 40 pemuda pelopor (Ali bin Abi Tholib, Zaid bin Tsabit, Mas’ud bin Rabi’ah, Ja’far bin Abi Thalib, Tholhah bin Ubaidillah, Umar bin khottob, Asma’ binti Abu Bakar, dan lain-lain). Itu sebabnya Rasululloh saw pernah dengan terharu menyatakan: “Aku telah diutus membawa agama yang murni yang mudah difahami dan diamalkan, ternyata para pemuda yang mendukungku pada saat orang-orang tua menentangku “. ( Muhammad Tholhah Hasan, 2000: 61 ).

Seiring dengan perjalanan waktu dan perkembangan zaman di era digitalisasi saat ini tentu menciptakan peluang dan sekaligus tantangan hususnya bagi generasi muslim milenial. Peluangnya adalah bagaimana generasi Islam dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya dalam membentuk peradaban manusia yang sesuai dengan fitrahnya. Hal ini juga sesuai dengan sabda Nabi saw bahwa sebaik-baik manusia adalah mereka yang dapat bermanfaat bagi manusia yang lain. Sementara tantangannya adalah era digitalisasi ini tentunya juga menjadi celah bagi segolongan manusia yang berbuat dholim. Seperti maraknya penipuan menggunakan sarana-sarana elektronik, ada juga judi online, prostitusi online, kabar Hoax dan ‘pencitraan’. Oleh karena itu generasi Islam harus dipersiapkan dengan baik. Jangan sampai menjadi korban atas perilaku penyimpangan tersebut, apalagi menjadi pelaku menyimpang tersebut, waiyadhu billah.

Masalahnya sekarang adalah, sejauh mana nilai kehidupan hari ini dapat bertahan dan membekali mereka untuk menghadapi hari esok? Pertanyaan ini menyangkut dunia pendidikan, dalam arti usaha menanamkan aspirasi yang sesuai. Dalam hal ini, bagi kelompok masyarakat yang relatif masih statis, transfer materi nilai tersebut tidak selalu harus dilakukan secara formal, oleh karena seluruh bagian organisma masyarakat itu sudah berfungsi sebagai jaringan pengatur lalu lintas yang sangat efektif dalam menimbulkan nilai-nilai aspirasional tertentu. Tetapi bagi masyarakat yang mulai menunjukkan sifat-sifat kehidupan yang hiterogen, persoalannya menjadi tidak semudah itu, dalam kondisi masyarakat yang demikian masalah proses pembentukan nilai dan pewarisannya menjadi penting.

Yang dimaksud dengan proses pembentukan dan pewarisan nilai adalah suatu proses internalisasi nilai yang akhirnya akan menjadikan nilai itu milik dan bagian utama dari kehidupan individu maupun kelompok, ini bersumber dari postulat yang menekankan bahwa hanya nilai tertentu, termasuk nilai agama yang dihayati oleh seseorang atau kelompok, melalui suatu proses pertumbuhan didalam dirinya, yang akan dengan efektif berfungsi dan dapat dimanfaatkan dalam hidupnya (Muhammad Tholhah Hasan, 2000 : 63).

Generasi Islam di era digital ini hendaknya mampu mencerminkan diri sebagai generasi khaira Ummah dalam arti generasi yang kokoh secara spiritual dan luas secara keilmuan juga professional dalam tindakan yang kemudian berperan dalam amar ma’ruf, nahi munkar dan tentunya dilandasi dengan penuh keikhlasan untuk menggapai ridho Alloh swt. Dalam ajaran agama Islam, setiap orang yang sudah memasuki masa taklif yang memuat unsur baligh dan aqil, telah terkena kewajiban dan tanggung jawab melaksanakan ketentuan agama. Baik yang berusia belasan tahun hingga usia puluhan tahun, kewajiban dan hak agamanya sama.

Karena itu, penting kiranya menyiapkan generasi Islam yang bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan agama. Rasululloh saw bersabda yang artinya, “Ajarkanlah anakmu shalat ketika telah berusia 7 tahun dan pukullah ia pada saat usia 10 tahun (apabila meninggalkannya).“ HR. Turmuzi.

Dalamhal mempersiapkan genrasi Islam milenial ini Hamdani Bakron dalam bukunya Prophetic Intellejensi dapat melalui beberapa tahapan proses pendidikan dan pelatihan diantaranya :

  1. Proses pendidikan dan pelatihan tingkat pertumbuhan, yakni usia aqil baligh hingga menjelang dewasa (antara usia 10-19 tahun). Materi yang diberikan antara lain: keimanan terhadap Alloh swt, ibadah sholat, ibadah puasa, membaca Al Qur’an, ibadah do’a, keteladanan Rasululloh saw dan para Auliya’ Alloh swt dan dasar-dasar ilmu kealaman.
  2. Proses pendidikan dan pelatihan tingkat perkembangan, ketika seseorang telah memasuki fase usia muda (yakni usia 19-25 tahun). Materi pendidikan yang diberikan antara lain: penghayatan tentang hikmah-hikmah keimanan dan peribadatan dalam praktik dan aplikasi, penghayatan tentang hikmah-hikmah dari ayat qauliyah (ayat-ayat yang ada dalam Al Qur’an ) dan ayat-ayat kauniyah (ayat yang terhampar dalam kehidupan alam semesta), penghayatan tentang hakikat manusia di hadapan penciptanya dan makhluk Nya, penghayatan tentang bagaimana cara berfikir, berkeyakinan, bersikap, dan berperilaku yang benar sebagaimana yang diharapkan dari pesan-pesan Al Qur’an dan sunnah, dan penghayatan tentang makna serta tujuan hidup di dalam kehidupan di dunia ini, baik kehidupan yang berhubungan dengan sisi ruhani, keluarga, organisasi, hubungan social dan lingkungan.
  3. Proses pendidikan dan pelatihan tingkat pendewasaan, idealnya pendidikan ini diberikan ketika memasuki usia 40 tahun. Mengapa demikian? Sebab, menurut Hamdani Bakron pada usia inilah seorang insan berada pada kondisinya yang sangat sehat, kuat, penuh vitalitas, sehingga dapat bersosialisasi secara total. Pada masa ini ia harus mulai menghadapi kehidupan yang sesungguhnya secara mandiri. Adapun materi yang diberikan dalam pendidikan pendewasaan ini antara lain: Tauhid, Tasawuf, perkawinan, amalan-amalan atau wirid dan lain-lain ( Hamdani Bakron, 2004: 586 ).

Sementara Dr. Muhammad Ali Al Hasyimi dalam bukunya Menjadi Muslim Ideal mengatakan bahwa ada tiga kebutuhan yang harus dipenuhi dalam diri seorang muslim yaitu: Kebutuhan badannya yang meliputi beberapa hal diantaranya pola makan dan minum yang sesuai dengan ajaran Islam, penampilan fisik yang baik; Kebutuhan pikirannya yang meliputi pengetahuan yang merupakan kewajiban dan kehormatan baginya, kewajiban menuntut ilmu sepanjang hayat, membuka diri terhadap informasi dan lain-lain; dan Kebutuhan jiwanya seperti halnya melaksanakan ibadah, menjaga hubungan dan persahabatan dengan orang – orang yang sholih,berdo’a dan lain-lain (Dr. Muhammad Ali Al Hasyimi, 1999: 39 ).

Dari uraian di atas dapatlah kita simpulkan bahwa Islam tidak menutup diri terhadap modernisasi justru ajaran Islam yang sangat inspiratif memberikan khazanah pengetahuan yang komprehensif baik yang fisis maupun metafisis, masa lalu, sekarang bahkan masa yang akan datang. Alam secara mikro ataupun secara makro dan semuanya itu terdapat pada ayat-ayat qouliyah dan ayat-ayat kauniyah. Prof. Mahmud Syaltut mengatakan, “Islam merupakan agama yang dapat sejalan dengan berbagai macam budaya yang benar dan peradaban yang unggul, sesuai dengan kemampuan nalar manusia untuk mewujudkan kemaslahatan dan kemajuan taraf hidupnya.“ ( Mahmud Syaltut, 1966).

Oleh karena itu kondisi ummat Islam termasuk di dalamnya generasi milenial dalam menghadapi modernitas sedikitnya dapat dikelompokkan dalam tiga kategori, menurut formulasi Meuleman adalah :

  1. Westernis (Pembaratan atau Pelarian Keluar). Sikap ini banyak mendapat kritik, baik dari kalangan Islam maupun dari luar Islam. Secara ilmiah, sikap pembaratan mengakibatkan perkembangan ilmu pengetahuan menjadi konsumtif dan tidak kreatif karena tidak berakar, dan tidak banyak melakukan analisis ataupun kritik berdasarkan prinsip dan asas keilmuan.
  2. Fundamentalis (Ushuli atau pelarian kedalam). Kelompok ini dipandang sebagai kelompok yang anti barat, juga dipandang sangat tertutup terhadap perubahan, mereka berusaha membangun paradigm sendiri yang dianggap murni islami.
  3. Keterbukaan Kritis. Kelompok ini mempunyai sikap yang tidak menolak secara apriori terhadap luar terutama Barat, tetapi juga tidak menyerah bulat kepadanya. Sikap ini disatu pihak sadar akan adanya hal-hal yang baik dan bermanfaat dari luar lingkungan dan tradisinya sendiri, dan dapat menikmati dan menghargainya, dan dilain fihak sadar akan nilai dan cita – cita sendiri, dan mengendalikan hubungan dengan dunia luar atas dasar dan kepentingan nilai dan cita-cita tersebut. (Mohammmad Tholhah Hasan, 2000: 254 ).

Demikianlah gambaran ummat Islam dalam menghadapi modernitas, sementara generasi muslim milenial seharusnya masuk pada kategori yang ketiga yaitu keterbukaan kritis, artinya generasi yang mampu secara terbuka dan kritis dalam menerima juga  memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang disponsori oleh Barat sesuai dengan nilai-nilai yang tidak bertentangan dengan norma agama Islam. Di sinilah urgensi generasi muslim milenial agar memiliki kedalaman spiritual, keluasan ilmu dan professional dalam tindakan. Wallohu a’lam bishshowaab.

 

DAFTAR PUSTAKA

Abdulloh bin Zaid bin Ghonim al Khoiriyah, Mukhtashar Fi Tafsir Al Qur’an, li addirasah Al Qur’aniyah

Abu bakar Muhammad, Membangun manusia seutuhnya menurut Al Qur’an, Al Ikhlas, Surabaya tanpa tahun

Ahmad Muhammad As Showi, Hasyiyah As Showi ‘Ala Tafsir Jalalaini, Darul Kutub, Bairut 2004

Abu Hamid Muhammad Al Ghozali, Ayyuhal Walad, Al Ikhlas, Surabaya, tanpa tahun

Hamdani Bakran, Prophetic Intellegensi, Islamika, 2005

Mohamma Tholhah Hasan, Prospek Islam dalam menghadapi tantangan zaman,Lantabora Press, Jakarta, 2000

Muhammad Ali Al Hasyimi, Menjadi Muslim Ideal, Mitra Pustaka, 1999

Taufiqi, Religious Parenting, MSA, Malang, 2016

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *