Memperkokoh Eksistensi Kitab Kuning sebagai Tradisi Keilmuan Pesantren di Era Revolusi Industri 4.0

JelajahPesantren.Com – Gelombang peradaban keempat yang saat ini dikenal dengan era revolusi industri 4.0 memaksa kita menyesuaikan seluruh kerangka sendi dan perangkat kerja pada setiap segmen kehidupan, termasuk pengelolaan pendidikan dan pembelajaran –tak terkecuali di pesantren. Inovasi menjadi kunci paling utama di era revolusi industri 4.0 yang menuntut para pendidik membentuk peserta didik memiliki kompetensi abad 21 yang mampu berpikir kritis, kreatif, kolaboratif, dan komunikatif.

Pendidikan Era Revolusi Industri 4.0

Perkembangan pendidikan di dunia tidak lepas dari adanya perkembangan dari revolusi industri yang terjadi di dunia, karena secara tidak langsung perubahan tatanan ekonomi turut mengubah tatanan pendidikan di suatu negara. Revolusi industri dimulai dari 1) revolusi industri 1.0 terjadi pada abad ke 18 melalui penemuan mesin uap, sehingga memungkinkan barang dapat diproduksi secara masal, 2) revolusi industri 2.0 terjadi pada abad ke 19-20 melalui penggunaan listrik yang membuat biaya produksi menjadi murah, 3) revolusi industri 3.0 terjadi pada sekitar tahun 1970-an melalui penggunaan komputerisasi, dan 4) revolusi industri 4.0 sendiri terjadi pada sekitar tahun 2010-an melalui rekayasa intelegensia dan internet of thing sebagai tulang punggung pergerakan dan konektivitas manusia dan mesin (Prasetyo & Trisyanti, 2018).

Nama istilah industri 4.0 bermula dari sebuah proyek yang diprakarsai oleh pemerintah Jerman untuk mempromosikan komputerisasi manufaktur (Yahya, 2018). Jerman merupakan negara pertama yang membuat roadmap (grand design) tentang implementasi ekonomi digital. Era revolusi industri ini juga dikenal dengan istilah revolusi digital dan era disrupsi. Istilah disrupsi dalam bahasa Indonesia adalah tercabut dari akarnya. Menurut (Kasali, 2018) disrupsi diartikan juga sebagai inovasi. Dari istilah di atas maka disrupsi bisa diartikan sebagai perubahan inovasi yang mendasar atau secara fundamental. Di era disrupsi ini terjadi perubahan yang mendasar karena terjadi perubahan yang masif pada masyarakat di bidang teknologi di setiap aspek kehidupan masyarakat. Seperti dijelaskan dalam (Ristekdikti, 2018) ciri-ciri era disrupsi dapat dijelaskan melalui (Vuca) yaitu perubahan yang masif, cepat, dengan pola yang sulit ditebak (Volatility), perubahan yang cepat menyebabkan ketidakpastian (Uncertainty), terjadinya kompleksitas hubungan antar faktor penyebab perubahan (Complexity), kekurangjelasan arah perubahan yang menyebabkan ambiguitas (Ambiguity). Pada era ini teknologi informasi telah menjadi basis atau dasar dalam kehidupan manusia termasuk dalam bidang bidang pendidikan di Indonesia, bahkan di dunia saat ini tengah masuk ke era revolusi sosial industri 5.0. Pada era revolusi industri 4.0 beberapa hal terjadi menjadi tanpa batas melalui teknologi komputasi dan data yang tidak terbatas, hal ini terjadi karena dipengaruhi oleh perkembangan internet dan teknologi digital yang masif sebagai tulang punggung pergerakan dan konektivitas manusia dan mesin. Era ini juga akan mendisrupsi berbagai aktivitas manusia, termasuk di dalamnya bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) serta pendidikan tinggi.

Pembelajaran di era disrupsi memiliki ciri-ciri Self-directed (proses pembelajaran terjadi karena kebutuhan yang dirasakan pembelajar), multi-sources (menggunakan berbagai sumber, media, dan chanel pembelajaran), life-long learning (pembelajaran sepanjanga hayat), ICT based (pembelajaran menggunakan teknologi informasi), motivasi, attitude terhadap perubahan, adaptif, memiliki growth mindset bukan fixed mindset (Wibawa, 2018). Ciri khas dari disrupsitive innovation adalah mengubah sektor yang pada awalnya adalah produk mahal, layanan yang rumit menjadi produk atau layanan yang sederhana, mudah dijangkau atau diakses, memberi rasa nyaman dan dapat menyesuaikan.

Bagaimana era disrupsi mempengaruhi pendidikan, diawali dengan munculnya gudangnya ilmu. Google yang mampu menggeser kedudukan perpustakaan sebagai sumber pencarian referensi dan beralih pada digital library.

Generasi Z mempunyai karakteristik, fasih teknologi, sosial sangat intens berinteraksi melalui media sosial dengan semua kalangan, ekspresif cenderung toleran dengan perbedaan kultur dan sangat peduli dengan lingkungan dan cepat berpindah dari satu pemikiran atau pekerjaan yang lain (Wibawanto, 2016).

Tradisi Keilmuan Kitab Kuning

Kitab kuning merupakan kitab-kitab keagamaan berbahasa Arab, Melayu atau Jawa atau bahasa-bahasa lokal lain di Indonesia dengan menggunakan aksara Arab, yang selain ditulis oleh ulama di Timur Tengah, juga ditulis oleh ulama Indonesia sendiri (Azra, 2002).

Kitab kuning menjadi salah satu sistem nilai dalam kehidupan pesantren. Karena itu, pembelajaran dan pengkajian kitab kuning menjadi nomor satu dan merupakan ciri khas pondok pesantren. Kitab kuning menjadi sesuatu yang substansial sebagai rujukan. Oleh karena itu, perkembangan pondok pesantren yang semakin dinamis dan mengikuti perkembangan pendidikan secara nasional, pondok pesantren tetap mempertahankan kitab kuning sebagai bahan pembelajaran baik pada pesantren salafiyah maupun kholafiyah. Ketetapan pada kitab kuning ini menjadikan pondok pesantren memiliki kekhasan tersendiri, hal ini ditambah dengan penekanan kitab kuning yang dipelajari oleh pesantren, seperti kajian fikih, kajian akidah, kajian tafsir, dan kajian tasawuf (Mustofa, 2018).

Imam Bawani (1990:134) menyatakan bahwa kitab kuning dikenal juga dengan kitab gundul karena memang tidak memiliki harakat (fathah, kasrah, dhammah, sukun), tidak seperti kitab Al-Quran pada umumnya. Oleh sebab itu, untuk bisa membaca kitab kuning berikut arti harfiah kalimat per kalimat agar bisa dipahami secara menyeluruh, dibutuhkan waktu belajar yang relatif lama. Istilah kitab kuning sebenarnya diletakkan pada kitab warisan abad pertengahan Islam yang masih digunakan pesantren hingga saat ini.

Bisa dipahami pula bahwa kitab kuning adalah kitab literatur dan referensi Islam dalam bahsa Arab klasik meliputi berbagai bidang studi Islam seperti Quran, Tafsir, Ilmu Tafsir, Hadits, Ilmu Hadits, Fiqih, Ushul Fiqih, Aqidah/Tauhid, Ilmu Kalam, Nahwu, Sharaf atau ilmu lughah termasuk Ma’ani Bayan Badi’ dan Ilmu Mantik, Tarikh atau sejarah Islam, Tasawuf, Tarekat, dan Akhlak, dan ilmu- ilmu apa pun yang ditulis dalam Bahasa Arab tanpa harokat, mempunyai format sendiri yang khas dan warna kertas “kekuning-kuningan”, yang biasanya dipelajari terutama di pesantren (Mustofa, 2018).

Di antara Kitab Kuning yang diajarkan secara intensif di pesantren ternyata ada banyak yang berasal dari satu “gen”. “Gen” atau matan (matn) ini kemudian dikembangkan menjadi komentar (syarh), catatan pinggir (hâsyiah), bahkan ada kalanya muncul dalam bentuk ringkasan (mukhtashar) dan syair (nadzâm). Kitab kuning dalam pesantren berjalan dalam siklus yang tetap: mengembang-menyempit, berputar dan berulang. Sebuah cabang ilmu boleh jadi dikupas dan diringkas dalam puluhan kitab kuning. Semuanya diajarkan berulang-ulang dan bertahun-tahun selama mengikuti pendidikan di pesantren.

Pada dasarnya kitab kuning yang diajarkan di pesantren lebih menitikberatkan pada aspek pendalaman dan pengayaan materi dan sangat sedikit diarahkan pada aspek pengembangan teori, metodologi, dan wawasan. Aspek-aspek ini justru menjadi unsur-unsur keilmuan yang mendasar. Dari sini, barang kali, orang dapat mengatakan bahwa masyarakat pesantren memang lebih kaya materi, tetapi minim teori metodologi. Ini berbeda halnya dari masyarakat ”sekolahan”. Maka, tidaklah mengherankan lagi bahwa, ketika aspek teori dan metodologi terabaikan, kekayaan materi menjadi sulit dikembangkan dan diekspresikan secara kontekstual, apalagi melakukan pembaruan pemikiran Islam. Yang lebih penting lagi adalah bahwa kekayaan materi yang dimiliki pesantren lebih terpusat pada kajian fikih sebagai produk pemikiran saja dan bukan dipandang sebagai proses pemikiran dinamis yang tengah merespon perkembangan di zamannya (Mustofa, 2018).

Eksistensi pesantren di Indonesia diakui berdasarkan Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal 30 ayat 4 yang berbunyi, ”Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, pabhaja samanera, dan bentuk lain yang sejenis.” Tersurat bahwa pesantren berfungsi sebagai satuan pendidikan yang mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama (tafaqquh fiddin).

Undang-undang tersebut sejalan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. Peraturan tersebut dipertegas dengan Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 13 Tahun 2014 tentang Pendidikan Keagamaan Islam yang berbicara khusus di antaranya tentang nomenklatur pondok pesantren. Pondok pesantren mendapatkan penegasan melalui Peraturan Menteri Agama Nomor 18 Tahun 2014 tentang Satuan Pendidikan Muadalah pada Pondok Pesantren.

Tantangan Pesantren

Secara spesifik ada beberapa tantangan dan masalah yang dihadapi pesantren disebabkan keterbatasan kemampuan pengelolanya. Pertama, dalam aspek sarana dan prasarana penunjang yang terlihat masih kurang memadai. Selama ini, proses pembelajaran di pondok pesantren yang penuh kesederhanaan dan kebersahajaannya tampak masih memerlukan tingkat penyadaran dalam melaksanakan pola hidup yang bersih dan sehat yang didorong oleh penataan dan penyediaan sarana dan prasarana yang layak dan memadai.

Kedua, dalam aspek sumber daya manusia. Sekalipun sumber daya manusia dalam bidang keagamaan sangat mumpuni, tetapi dalam rangka meningkatkan eksistensi dan peranan pondok pesantren dalam bidang kehidupan sosial masyarakat, diperlukan perhatian yang serius. Penyediaan dan peningkatan sumber daya manusia dalam bidang manajemen kelembagaan, serta bidang-bidang yang berkaitan dengan kehidupan sosial masyarakat, harus menjadi prioritas pesantren.

Ketiga, dalam aspek manajemen kelembagaan. Manajemen merupakan unsur penting dalam pengelolaan pesantren. Saat ini pada umumnya pesantren dikelola secara tradisional apalagi dalam penguasaan informasi dan teknologi yang masih belum optimal. Hal tersebut dapat dilihat dalam proses pendokumentasian (data base) santri dan alumni pesantren yang masih kurang terstruktur.

Keempat dalam aspek kemandirian ekonomi kelembagaan. Kebutuhan keuangan selalu menjadi kendala dalam melakukan aktivitas pesantren, baik yang berkaitan dengan kebutuhan pengembangan pesantren maupun dalam proses aktivitas keseharian pesantren. Pada umumnya proses pembangunan pesantren berjalan dalam waktu lama yang hanya menunggu sumbangan atau donasi dari pihak luar, bahkan harus melakukan penggalangan dana di pinggir jalan.

Kurikulum yang berorientasi life skills santri dan masyarakat. Pesantren masih berkonsentrasi pada peningkatan wawasan dan pengalaman keagamaan santri dan masyarakat. Apabila melihat tantangan era Revolusi Industri 4.0 yang semakin berat, peningkatan kapasitas santri dan masyarakat tidak hanya cukup dalam bidang keagamaan semata, tetapi harus ditunjang oleh kemampuan yang bersifat soft skill dan hard skill.

Penutup

Rekontruksi dan reformasi pendidikan agama Islam diperlukan agar tidak tergilas dengan perubahan zaman. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan di antaranya yang pertama, melakukan telaah kritis dan menyeluruh baik yang normatif maupun historis, kedua adanya integrasi antara ilmu agama dan ilmu umum, ketiga perlunya revolusi pembelajaran pendidikan agama Islam, ke empat diperlukan reformulasi dan reformasi materi-materi pembelajaran, kelima diperlukan transformasi dan internalisasi nilai-nilai agama pada subyek didik dan yang ke enam diperlukan pendidik yang berkualitas.

Perlu dilakukan transformasi model pendidikan di pondok pesantren guna memenuhi kebutuhan masyarakat di era Revolusi Industri 4.0. Hal tersebut dilakukan dengan cara melihat kebutuhan “pasar” yang membutuhkan sumber daya manusia yang mampu bersaing, sehingga terbentuklah model-model pondok pesantren era Revolusi Industri 4.0. Berbagai pengembangan dilakukan, di antaranya penguasaan bahasa asing, entrepreneurship, ICT (Information and Communication Technology), serta kompetensi kekinian lainnya. Dalam konteks ini, tetaplah pesantren harus lebih mengorientasikan peningkatan kualitas para santrinya ke arah penugasan ilmu-ilmu agama. Era Revolusi Industri 4.0 ini hanyalah satu dari sekian tantangan yang harus di respon pesantren tanpa harus meninggalkan jati dirinya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *