Pesantren Tebuireng: Sejarah dan Perkembangannya

JelajahPesantren.Com – Siapa yang tidak mengenal dengan Pondok Tebuireng? Sebuah pesantren besar nan tua yang terletak di sebelah selatan kota Jombang Jawa Timur. Pesantren ini didirikan oleh Hadrotussyaikh K.H.M. Hasyim Asyari yang merupakan Kakek Presiden Republik Indonesia yang ke 4 K.H Abdurrahman Wahid yang lazim dikenal dengan sebutan Gus Dur. Tidak seperti umumnya pesantren-pesantren yang ada di Indonesia yang kebanyakan menggunakan istilah-istilah Arab pada penyebutan namanya, pesantren Tebuireng ini justru memakai nama sebuah dusun setempat yang bernama “Tebuireng”.

“Tebuireng” adalah nama sebuah dusun yang kecil yang terletak di tepi jalan raya Jombang-Kediri, menurut legenda masyarakat setempat nama Tebuireng ini berasal dari “Kebo Ireng”. Bermula dari suatu peristiwa yang ada di dusun tersebut bahwa salah seorang penduduk ada yang memiliki seekor kerbau yang berkulit kuning (bule). Pada suatu ketika kerbau tersebut menghilang, setelah dicari-cari kian kemari tidak ditemukan hingga akhirnya menjelang senja hari kerbau tersebut baru ditemukan terperosok di rawa-rawa. Seluruh kulitnya dipenuhi oleh binatang lintah sehingga terlihat hitam. Peristiwa ini membuat si-pemilik kerbau terkejut dan berteriak “Kebo Ireng”. Sejak saat itulah dusun tersebut dikenal sebagai dusun Kebo Ireng. Riwayat lain menyebutkan nama “Kebo Ireng” berasal dari nama punggawa kerajaan Majapahit yang masuk Islam dan kemudian tinggal di daerah Jombang. Yang konon keluarga pondok pesantren Tebuireng masih mempunyai pertalian darah dengan punggawa tersebut yang dalam perkembangan selanjutnya berubah menjadi “Tebuireng”.

Pondok Pesantren Tebuireng adalah nama salah satu pondok pesantren Besar yang melahirkan ulama-ulama Nahdliyin yang banyak berkonstribusi terhadap kemerdekaan Indonesia dan perkembangan khazanah keilmuan Islam di Nusantara. Pesantren ini berdiri pada tahun 1899 M dan baru mendapatkan pengakuan dari pemerintah Hindia Belanda pada 26 Rabiul Awal 1324 H / 6 Februari 1906 M. Pendiri dan Pengasuh Pertama pesantren ini adalah seorang ulama besar kaliber Internasional berdarah biru dan masih keturunan dari salah seorang penyebar Islam di tanah Jawa (Wali Songo) yakni Sunan Giri. K.H.M. Hasyim Asyari lahir di pesantren Gedang sebelah utara kota Jombang pada tanggal 26 Dzulqo’dah 1287 H / 14 Februari 1871 M dari hasil perkawinan Kiai Asyari dengan Nyai Halimah.

K.H M. Hasyim Asyari adalah seorang ulama besar ahli hadis sekaligus pemegang mata rantai sanad dalam silsilah periwayatan hadis yang ada di Nusantara. Beliau selama hidupnya banyak menghabiskan usianya di dalam maupun di luar negeri untuk belajar dan mengajar serta memberi manfaat kepada masyarakat luas. Setelah menyelesaikan pengembaraan rihlah ilmiahnya beliau merasa terpanggil jiwanya untuk memperbaiki kondisi masyarakat yang sedang dilanda krisis kehidupan. Langkah awal yang paling efektif untuk memecahkan masalah tersebut adalah dengan mendirikan pondok pesantren yang berperan sebagai pusat pendidikan dan penyiaran agama Islam. Pada awalnya dalam mewujudkan cita-cita luhurnya ini banyak kendala, rintangan dan halangan akan tetapi K.H. M Hasyim Asyari selalu berusaha mengatasi dengan landasan pendirian dan tekat bulat yang kuat sebagai pegangannya. Adapun pendirian dan tekat tersebut sebagai berikut: “menyiarkan agama Islam ini artinya memperbaiki manusia, jika manusia itu sudah baik maka akan banyak menghasilkan berbagai kebaikan yang lainnya. Berjihad artinya menghadapi kesukaran dan memberikan pengorbanan yang semuanya itu telah dicontohkan oleh nabi kita dalam setiap perjuangannya”.

Dengan tekat yang bulat, Kiai Hasyim membeli sebidang tanah berukuran 200 m2 di Tebuireng milik seorang dalang yang terkenal, di atas lahan inilah beliau mendirikan sebuah pondok yang terdiri dari bangunan yang cukup sederhana berupa bedeng berbentuk bujur sangkar yang dibagi menjadi dua buah ruangan. Bagian belakang berfungsi sebagai tempat tinggal Kiai dan keluarganya sedangkan bagian yang lain digunakan untuk tempat salat dan mengaji para santri yang berjumlah 28 orang kala itu. Dengan fasilitas yang sangat sederhana ini ternyata tidak mengurangi semangat Kiai Hasyim Asyari dalam membimbing para santri untuk menuntut ilmu dalam bentuk pengajian kitab-kitab turats/ kitab kuning yang membahas ilmu-ilmu keagamaan.

Semenjak Kiai Hasyim Asyari menetap serta mendirikan pondok pesantren, keberadaannya kurang mendapat perhatian dari masyarakat sekitarnya dan bahkan memunculkan rasa benci di kalangan masyarakat. Hal ini sangat mungkin terjadi karena pada masa itu dusun Tebuireng merupakan suatu daerah yang masuk zona merah di mana kehidupan masyarakatnya jauh dari nilai-nilai ajaran Islam ditambah adanya pabrik gula Cukir yang menjadi simbol keangkuhan pemerintah kolonial Hindia Belanda pada masa itu. Gangguan berupa fisik maupun non fisik kerap kali dihadapi oleh beliau, bahkan para santri-santrinya ketika malam tiba harus rela tidur dengan kondisi yang mencekam dikarenakan seringnya tembok dinding kamar ditebas oleh pisau maupun benda tajam lainnya oleh orang-orang yang tidak menyukai keberadaan Kiai Hasyim dan pesantrennya di dusun tersebut. Namun meski gangguan demi gangguan bermunculan silih berganti dan rintangan berat menghadang, beliau beserta para santrinya bisa mengatasinya dengan baik. Dengan semangat berkorban dan penuh pengabdian beliau terus membina pesantrennya hingga berkembang menjadi lembaga pendidikan Islam besar yang disegani dan diperhitungkan keberadaannya.

Adapun prinsip yang dikembangkan oleh K.H. Hasyim Asyari dalam mengembangkan pesantren Tebuireng adalah prinsip berdikari yang artinya tidak menggantungkan diri maupun meminta bantuan kepada orang lain yang tidak seirama dan seagama serta mengutamakan kepentingan pesantren di atas kepentingan diri sendiri, hal ini dilakukan karena beliau hidup pada masa kolonial Hindia Belanda yang suka menyengsarakan masyarakat dan sebagai strategi dakwah beliau dalam menyebarkan ajaran-ajaran Islam di daerah sekitar pondok pesantren. Oleh karena itulah di waktu senggang di sela-sela mengajar di pesantren Tebuireng K.H Hasyim Asyari juga menyempatkan diri mengerjakan sawah pertanian dan juga melakukan perdagangan keluar daerah bersama-sama dengan beberapa rekan beliau yang pada perkembangannya menjelma menjadi Nahdlatul Tujjar.

Tebuireng pada masa perkembangan

Di bawah kepemimpinan Hadrotusyekh K.H. M. Hasyim Asyari pesantren Tebuireng mengalami perkembangan yang cukup pesat baik dari jumlah santri, ruang belajar dan tingkat pendidikan. Sistem pendidikan yang dilakukan di pesantren ini pada mulanya dilakukan secara klasikan dengan metode bandongan (guru menjelaskan – murid menyimak) dan sorogan (guru menyimak – murid memjelaskan) yang mulai dirintis semenjak tahun 1916. Beberapa tahun kemudian tepatnya pada tahun 1926 sistem pendidikan mulai disesuaikan dengan penyempurnaan kurikulum beserta metodenya, termasuk adanya tambahan materi pelajaran umum yang meliputi bahasa Indonesia, Ilmu Bumi dan berhitung / Matematika.

Dalam meningkatkan pendidikan di pesantren Tebuireng, K.H. Hasyim Asyari dibantu oleh K.H. A. Wahid Hasyim yang tidak lain adalah putra beliau sekaligus ayahanda dari K.H. Abdurrahman Wahid ( Gus Dur ) beserta Kiai Muhammad Ilyas untuk mengembangkan dan melakukan pembaharuan di pesantren Tebuireng tersebut. Kesempatan baik ini digunakan oleh mereka berdua untuk melakukan pembenahan dalam beberapa bidang yakni: (a) memperluas pengetahuan dan pemahaman santri, (b) memasukkan pengetahuan modern ke dalam kurikulum pendidikan pesantren, (c) meningkatkan sistem pengajaran bahasa Arab secara aktif. Karena disadari atau tidak bahwa pendidikan menentukan obyek yang menjadi permasalahan dan membawa suatu proses perubahan kearah tercapainya tujuan yang telah terlebih dahulu ditetapkan.

Sebagai langkah pembaharuan Gus Wahid, sapaan akrab K.H A. Wahid Hasyim pada tahun 1934 telah merintis madrasah Nidhomiyah yang banyak mengkaji pelajaran umum dan ditunjang dengan memasukkan surat kabar, majalah, buku – buku pengetahuan umum baik yang berbahasa Indonesia, Arab maupun Inggris. Hal demikian oleh sebagian besar kalangan pesantren dirasa masih terbilang asing masa itu, namun sekalipun demikian ciri khas pesantren tetap dipertahankan yakni pengajaran dengan sistem mengkaji kitab klasik dengan menggunakan bahasa Arab tetap dilestarikan hingga kini. Tujuan utama pendidikan yang dirintis oleh Gus Wahid ini adalah untuk mensejajarkan derajat dan martabat santri sejajar dengan pelajar-pelajar dari Barat kala itu.

Pada tanggal 25 Juli 1947 K.H. M. Hasyim Asyari dipanggil menghadap Allah SWT dengan meninggalkan amal jariah yang sangat besar bagi masyarakat, salah satunya adalah pesantren Tebuireng. Setelah K.H. M. Hasyim Asyari meninggal secara berurutan tongkat estafet kepemimpinan pesantren dilanjutkan oleh  putra beliau K.H. A. Wahid Hasyim hingga tahun 1950, ketika beliau diangkat menjadi Menteri Agama Republik Indonesia kedudukan sebagai pengasuh pesantren diberikan kepada K.H Abdul Karim Hasyim (periode 1950-1951), dilanjutkan oleh K.H. Baidhowi yang merupakan menantu K.H. M. Hasyim Asyari (periode 1951 – 1952) dan kemudian digantikan kedudukannya oleh K.H Abdul Kholik Hasyim (periode 1952 – 1965 ), diteruskan oleh K.H. Yusuf Hasyim (periode 1965 – 2006) dan selanjutnya digantikan oleh K.H Shalahuddin Wahid / Gus Sholah (periode 2006 – sekarang) yang merupakan adik kandung dari K.H Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

Tebuireng Pada Era Modern

Untuk mengimbangi perkembangan zaman, pesantren Tebuireng dewasa ini telah mengembangkan beberapa lembaga pendidikan pada jalur pendidikan formal. Pertama, jalur pendidikan formal yang berbentuk Salafiyah Syafi’iyah yang disempurnakan yang terbagi menjadi tiga tahapan yakni madrasah Ibtidaiyah tiga tahun, madrasah Tsanawiyah tiga tahun dan madrasah Aliyah tiga tahun yang ke semuanya mempunyai komposisi 65% mata pelajaran agama 35% mata pelajaran umum. Kedua, jalur sekolah persiapan yang dirintis pada tahun 1970 di mana santri putus sekolah/ drop out dari sekolah non agama seperti SMP / SMA dengan konsentrasi memperoleh pelajaran agama yang lamanya sekitar dua tahun yang merupakan by-pas untuk memasuki jalur pendidikan formal berbentuk Salafiyah Syafi’iyah. Ketiga, SMP dan SMA A. Wahid Hasyim yang dibuka pada tahun 1975 yang bertujuan untuk menampung para santri yang ingin bersekolah umum dengan tetap memperoleh pelajaran agama dalam bentuk pengajian maupun kursus.

Di samping itu pula bagi santri pondok pesantren Tebuireng maupun masyarakat umum yang mau berminat melanjutkan belajar ke perguruan tinggi telah dirintis Universitas Hasyim Asyari pada tahun 1967, Madrasah Muallimin, sekolah Trans-sains hingga Mah’ad Ali Tebuireng. Sedangkan lembaga non pendidikan yang berada di naungan pondok pesantren Tebuireng juga ada sarana penunjang untuk kelancaran belajar para santri seperti Koperasi Pondok Pesantren (Kopotren) Tebuireng berdiri tahun 1973, Perpustakaan Induk A. Wahid Hasyim Pondok Pesantren Tebuireng tahun 1974, Pusat Data Pesantren (1977), Lembaga Sosial Pesantren Tebuireng (LSPT), Unit Penerbitan Buku dan Majalah, Unit Pengolahan Sampah, Unit Penjaminan Mutu, Poliklinik dsb.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *