Pesantren dalam Bingkai Al-Quran

JelajahPesantren.Com – Pesantren dalam bingkai Al-Quran demikian judul tulisan yang coba kita diskusikan, berikut petikan ayat yang sangat populer dalam dunia pendidikan.

۞وَمَا كَانَ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ لِيَنفِرُواْ كَآفَّةٗۚ فَلَوۡلَا نَفَرَ مِن كُلِّ فِرۡقَةٖ مِّنۡهُمۡ طَآئِفَةٞ لِّيَتَفَقَّهُواْ فِي ٱلدِّينِ وَلِيُنذِرُواْ قَوۡمَهُمۡ إِذَا رَجَعُوٓاْ إِلَيۡهِمۡ لَعَلَّهُمۡ يَحۡذَرُونَ ١٢٢

Artinya: Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.

Ayat di atas adalah dasar menuntut ilmu agama di pesantren, sedikitnya ada empat poin penting yang dapat diambil dari kandungan ayat tersebut.

source: ibanah

Pertama: adanya anjuran menuntut ilmu (nafar) ke sebuah pendidikan bagi sebagian penduduk daerah (Tha’ifah). Menuntut ilmu memang wajib bagi setiap muslim secara terus menerus menurut situasi dan kondisi masing-masing. Akan tetapi ayat ini menganjurkan agar di antara sebagian kelompok masyarakat ada yang pergi keluar daerah untuk menuntut ilmu secara khusus (ilmu agama).

Kedua: Mendalami ilmu agama (tafaqquh fid-din). Ilmu yang berkaitan dengan keagamaan secara langsung seperti akidah dan syariah yang menjadi tafsiran terdekat ayat ini, maka menuntutnya harus mendapat prioritas utama. Jika pengertian ad-din dikembangkan maka menjadi segala ilmu yang penting bermanfaat bagi agama Islam seperti ekonomi, kemiliteran, teknik, kesehatan dan sebagainya yang diajarkan juga dalam ajaran Islam. kata “tafaqquh” dalam konteks ayat di atas mengandung arti bahwa mencari ilmu itu tidak boleh santai, ia harus bersungguh-sungguh dalam mengingat kata tafaqquh yang mempunyai arti mendalam dalam disiplin keilmuan. Yang mencari ilmu secara serius sungguh akan diperhatikan oleh Allah SWT yang kurang sungguhan tidak akan diperhatikan oleh Allah SWT pula.

Ketiga: Menginformasikan keilmuan pada masyarakat (Indzar). Kata “Indzar” ini mengandung pengertian “menakuti” artinya penyampaian ajaran agama (Kiai – Santri) harus berwibawa, terpandang hormat dan disegani dimata masyarakat agar penyampaiannya berbobot dan diperhatikan. Orang yang tidak berwibawa akan terasa kurang didengar ceramahnya, cara berwibawa secara umum tersirat dalam dua hal yakni ilmu dan takwa.

Keempat: Penuh perhatian dan Takut Tertimpa Azab (Hadzar). Masyarakat sasaran dakwah merasa mendapatkan penuh ajaran berharga dari santri hingga terciptanya suasana Hadzar. Sengaja Allah SWT memakai kata “Yahdzarun” bukan lainnya seperti “Ya’qilun”, “Yatadzakkarun” tidak lainnya sebab nilai kata lainnya itu belum menjamin kesadaran puncak yang mencerminkan sikap berbakti. Sedangkan kata “Yahdzarun” sudah merupakan nilai final dari paduan kesadaran dan sikap bakti beramal, dalam kekhusyukan. Artinya sedapat mungkin informasi keagamaan seorang kiai-santri harus bisa menjadi pegangan hidup bagi masyarakat dan tingkah lakunya sebagai contoh serta keteladanan yang baik (uswatun hasanah). Jika ia seorang kiai maka akan disegani dalam agamanya, sedangkan jika menjadi seorang insinyur dapat disegani dalam ilmu teknik dan takwanya, jika ia seorang jenderal akan disegani oleh bawahannya dalam ilmu militer dan ketakwaannya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *