Pengembangan Pesantren sebagai Destinasi Wisata Halal

JelajahPesantren.Com  –   Pesantren sebagai place. Adalah tempat nyantri, ladang transfer ilmu kiai dan ustadz, kawah candradimuka pengemblengan jasmani dan rohani para pejuang-pejuang pergerakan kemerdekaan, majelis dzikir, sholawat dan  ilmu, lokasi muktamar – konferensi – seminar – workhsop,  trainning dan kegiatan ilmiah lainnya. Masih sebagai place, pesantren pada musim pileg (pemilu legislatif), pilpres (pemilihan presiden) ataupun pilkada (pemilihan langsung kepada daerah) ramai menjadi panggung konstelasi meraih dukungan politik dari masyarakat pesantren – pimpinan/ pengurus (kiai, stadz), santri, wali santri, alumni, publik sekitar pesantren. Untuk pengembangan pesantren sebagai place, perlu kesungguhan dalam mengembangkan pesantren sebagai destinasi wisata halal.

Mural pada Pesantren Wisata Annur 2 Malang

Destinasi merupakan suatu tempat yang dikunjungi dengan waktu yang signifikan selama perjalanan seseorang dibanding dengan tempat lain yang dilalui selama perjalanan. Definisi destinasi wisata menurut Ricardson dan Fluker (2004) “A significant place visited on a trip, with some form of actual or perceived boundary. The basic geographic unit for the production of tourism statistics.” Dari pengertian ini pesantren bisa dikategorikan sebagai destinasi, karena signifiakannya waktu berkunjung saat orang bermobilisasi dari suatu titik ke titik lain (pesantren). Hanya selama ini destinasi yang dimaksud bukan dalam rangka berwisata, tapi keperluan lainnya. Tinggal bagaimana konsep tourism dipersiapkan dalam rangka pengembangan pesantren sebagai destinasi wisata halal.

Suatu destinasi yang dikunjungi, wisatawan dipandang sebagai sosok konsumen sementara. Tentunya mereka akan mengeluarkan sejumlah uang untuk keperluan selama di lokasi dan ihwal yang diperlukan untuk dibawa pulang. Tentunya ini akan berdampak positif bagi perekonomian, yaitu dampak pendapatan masyarakat, kesempatan kerja, pendapatan pemerintah lokal dan multiplier effects lainnya.

Kusdianto (1996), secara spesifik mengelompokkan destinasi wisata berdasarkan ciri-ciri sebagai berikut: (1) Destinasi sumber daya alam, seperti iklim, pantai, hutan; (2) Destinasi sumber daya budaya, seperti tempat bersejarah, museum, teater, dan masyarakat lokal; (3) Fasilitas rekreasi, seperti taman hiburan, park buatan; (4) Event seperti pesta kesenian Bali, Pesta Danau Toba, Pasar Malam; (5) Aktivitas spesifik, seperti Singapore Shoping Festival, Jakarta Shoping Festival, Surabaya Shoping Festival; (6) Daya tarik psikologis, seperti petualangan, perjalanan romantis, keterpencilan.

Merujuk kelima ciri destinasi tersebut, pesantren-pesantren yang ada di nusantara memiliki potensi dikembangkan berdasarkan salah satu dan atau  beberapa dengan konsepsi destinasi wisata tematik. Yang tentunya temanya diseleraskan dengan karakter pesantren itu sendiri, apakah termasuk pesantren tradisional (salaf), pesantren modern atau pesantren integrasi. Pesantren salaf bisa dikembangkan destinasi tematik ciri ke-1 (kesatu), ke-2 (dua) dan ke-6 (keenam). Sedangkan pesantren modern bisa mengembangkan tematik ciri ke-3 (ketiga), ke-4 (keempat) dan ke-5 (kelima). Lantas tematik ciri kesemuanya bisa dikembangkan pondok integrasi, tergantung integrasinya dominan sebagai pesantren salaf ataukah modern.

Pengembangan destinasi wisata tematik ala pesantren ciri kesatu dengan konsep menonjolkan potensi alam di pesantren-pesantren yang lokasinya memiliki keindahan alam. Memiliki dalam artian memang lokasinya berada di area atau aksesnya dekat dengan pesantren. Ciri kedua dengan mengeksplorasi budaya lokal dan historikal pendiri, bahkan apabila pesantren tersebut memiliki kekuatan sejarah bisa dibuatkan museum sebagai bagian dari wisata edukasi. Untuk ciri ketiga berkonsep penciptaan public space yang menarik, bisa berupa park ataupun fasilitas pesantren yang unik dan menarik, semisal membangun masjid yang berarsitektur mewah dan multikulturalis. Memiliki daya tarik orang untuk berkunjung. Adapun untuk ciri keempat pengembangannya adalah dengan menciptakan event-event berskala regional, nasional dan internasional secara berkala dan berkesinambungan. Kalau pun sudah memiliki tinggal publikasi dan kemasan yang lebih menarik lagi. Adapun pengembangan konsep ciri kelima dibuatlah aktivitas yang sudah ada dan layak jual, misal kajian kitab yang langsung diasuh kiai khos-nya pesantren tersebut. Dengan harapan potensi adanya memorable experience bagi orang-orang yang berwisata rohani ke pesantren. Dan ciri terakhir, keenam dengan dibuatkan kajian-kajian tematik yang membawa pengalaman spiritual, penguatan korelasi umat dan ulama.

Ketika ciri destinasi dikembangkan oleh pesantren bedasarkan karakteristik dan kekuatannya dikemas menjadi sebuah destinasi wisata halal, destinasi sebagai produk pariwisata. Selama di destinasi wisatawan memerlukan produk sebagai jasa layanan (service). Sebuah layanan jasa memilik empat karakteristik (Ricardson dan Fluker, 2004). Keempat karakteristik tersebut adalah intangibility, inseparability, variability dan perishability.

Lebih lanjut, komponen-komponen yang perlu dijabarkan sebagai bagian dari jasa layanan yang harus di-delivered kepada calon wisatawan adalah pertama, atraksi destinasi. Merupakan elemen-elemen yang terkandung dalam destiinasi dan lingkungan di dalamnya yang secara individual atau kombinasinya memegang peran penting dalam memotivasi para pihak untuk mengunjungi destinasi. Atraksi destinasi pesantren bisa berupa atraksi alam, seperti landscape, pantai, pegunungan, iklim, lembah, curug/ air terjun, sumber air dan pesona alam lainnya; atraksi buatan seperti bangunan fenomenal fasilitas pesantren, park, dan penginapan; atraksi budaya seperti gelaran festival seni dan budaya pesantren, acara haul, museum pesantren, dan; atraksi sosial seperti kesempatan live in pesantren, bersilaturrahim dengan kiai, ustadz dan santri secara langsung.

Kedua, fasilitas destinasi. Elemen destinasi atau berhubungan dengan destinasi yang memungkinkan wisatawan tinggal di destinasi tersebut untuk menikmati atau berpartisipasi dalam atraksi yang ditawarkan pesantren. Fasilitas destinasi bisa berupa akomodasi, kafe/ kantin, persewaan alat transportasi,  termasuk layanan lain seperti informasi seputar pesantren.

Ketiga, aksesibilitas. Berkenaan mudah atau sulitnya wisatawan menjangkau destinasi yang diinginkan. Akses dikaitkan dengan infrastruktur transportasi, seperti bandara, pelabuhan, stasiun, terminal dan akses jalan darat untuk mencapai lokasi destinasi pesantren yang dituju. Dalam hal ini peran pemerintah sebagai otoritas kebijakan dan pelaksaan atau infrastruktur ini harus support demi aksesibilitas yang hemat dan memudahkan.

Keempat, imej (image). Adalah ide atau kepercayaan yang dimiliki wisatawan tentang produk atau pelayanan yang mereka beli atau akan beli. Imej destinasi tidak selalu berdasarkan pengalaman atau fakta tetapi dapat dibentuk sedemikian rupa sehingga menjadi drive yang kuat untuk berwisata ke destinasi pesantren.

Dan kelima, harga. Adalah sejumlah mata uang tertentu yang dibutuhkan untuk mendapatkan sejumlah kombinasi dari produk dan layanan destinasi. Dalam penentuan harga, setidaknya harus memperhatikan dua hal, yaitu daya beli calon wisatawan dan harga dari produk atau layanan sejenis.

Pengembangan pesantren sebagai destinasi wisata halal sejalan dengan konsep wisata halal yang sudah dikukuhkan dengan adanya nota kesepahaman antara Kemenparekraf dengan DSN-MUI No. 11/ KS. 001/W.PEK/2012 dan No. B-459/DSN-MUI/XII/2012 tentang Pengembangan dan Sosialisasi Pariwisata Syariah. Karenanya mari kita siapkan dan promosikan pesantren sebagai destinasi wisata halal yang terintegrasi dengan misi pendidikan masing-masing pesantren.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *