Reorientasi Pemahaman Ahlussunnah wal Jamaah dalam Konteks Islam Universal

JelajahPesantren.Com – Islam adalah agama yang di bawa oleh seorang  Rasul sebagai rahmat bagi seluruh alam. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT yang artinya “tidaklah aku utus engkau Muhammad kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam “. (QS. Al Anbiya’ : 10). Dari ayat ini kita pahami bahwa sebenarnya rahmat itu bukan dari figur Muhammad itu sendiri tetapi rahmat itu timbul dari ajaran yang dibawa oleh baginda Rasul dari Allah SWT yakni Islam itu sendiri dan kita tidak bisa memisahkan Islam dari seorang rasul; begitu juga syafaat hanya bisa diperoleh apabila seseorang cinta kepada rasul dan mau membuktikan kecintaannya itu dengan melaksanakan ”syariat dan ajaran“ beliau ,nah di sinilah sebenarnya letak urgensi memahami Sunah secara universal baik secara tekstual maupun kontekstual. Berangkat dari sebuah pemahaman terhadap sunah inilah yang kemudian timbul masaailul khilafiyah dikalangan para ulama, meskipun perbedaan – perbedaan tersebut hanya seputar masalah-masalah furu’iyah seperti sifat-sifat Allah, kaifiyat salat dan lain sebagainya. Yang dibahas adalah seputar masalah memahami arti dari “Ahlussunnah wal jama’ah “ dengan menggunakan pola pemikiran induktif yaitu dimulai dari pengertian yang bersifat khusus kemudian ditarik pada permasalahan yang bersifat umum dan semoga dalam penulisan makalah ini kami selalu mendapat petunjuk ,pertolongan serta ridlo dari Allah SWT dan bisa memberikan manfaat yang seluas-luasnya bagi para pembaca amiin ya Robbala Alamiin.

Tidak sedikit- juga belum tentu banyak- karena masih ada sedikit banyak- orang ketika mendengar istilah Aswaja di asumsikan dengan salah satu organisasi kemasyarakatan terbesar di Indonesia hal ini sebetulnya tidak keliru hanya saja kurang tepat, karena dengan demikian maka Aswaja akan mengalami penyempitan makna yang kemudian menyebabkan keterasingan atau mungkin “alergi“ terhadap istilah Aswaja bagi komunitas yang lain. Inilah sebenarnya yang mestinya kita luruskan bahwa Ahlussunnah wal jama’ah adalah benar-benar risalah kenabian yang bertujuan untuk  membumikan Islam yang rahmatan lil’alamiin.

Secara etimologis Ahlussunnah wal Jama’ah berasal dari bahasa arab yang terdiri dari tiga suku kata Ahlun – Assunnah dan Al jama’ah dimana ketiga suku kata itu apabila di pisah maka masing – masing akan memiliki arti yang berdiri sendiri ahlun berarti keluarga/golongan assunnah berarti adat kebiasaan/ suatu perkara yang disandarkan pada nabi baik perkataan, perbuatan maupun ketetapan beliau sedangkan al jama’ah adalah suatu golongan. Dalam kaidah bahasa kata Ahl dan Assunnah adalah dua suku kata yang di-idhofahkan sehingga menjadi satu kesatuan kata yang kemudian menjadi makna yang mempunyai arti khusus dan tidak dapat dipisahkan yaitu golongan yang tetap setia dan mengikuti sunah rasul (dalam hal ini adalah juga para sahabat nabi) dan wa adalah kata yang menyambungkan antara al jama’ah yang berarti suatu golongan kepada golongan yang setia terhadap sunah rasul. Kata Al Jama’ah sebenarnya adalah berlaku pada kelompok atau golongan apa dan siapa saja selama mereka menyatakan komitmen dan konsisten terhadap ahlussunnah dalam arti luas. Yang menjadi persoalan mendasar adalah pemahaman terhadap “Sunnah“; apakah Sunnah secara keseluruhan adalah merupakan tasyri’ yang harus dan wajib diikuti secara mutlak? Ataukah Sunnah ada sebagian yang memang tasyri’ dan ada sebagian yang Hadlarah –aspek-aspek manusiawi yang boleh diikuti dan boleh juga mungkin suatu ketika berubah- mengingat di satu sisi nabi sebagai seorang utusan tetapi di sisi lain nabi adalah manusia biasa yang tidak menutup kemungkinan melakukan suatu kesalahan meskipun mungkin tidak di sengaja. Dari nalar ilmiah yang di dukung oleh kecerdasan emosi yang komprehensif –pada prinsip rahmatan lilalamin-maka akan diperoleh suatu pengertian bahwa “ASWAJA“ adalah paham yang hidup secara progresif dan universal dalam perspektif kebahasaan sehingga  tidak mudah mengklaim  pemahaman kaum tradisionalis dan juga tidak terburu – buru untuk membenarkan kaum modernis. Karena masing-masing mempunyai peluang untuk keliru dan tidak tepat karena kemungkinan adanya sikap subyektivitas pada masing-masing kelompok dan ada kemungkinan untuk benar meskipun kadang kurang tepat, ketepatan yang dimaksud berhubungan dengan syariat dalam agama dan kebenaran berhubungan dengan hakikat dalam tasawuf.

Sedangkan secara terminologis pengertian Ahlussunnah wal jama’ah adalah golongan yang tetap setia mengikuti sunah-sunah rasul yang telah dilakukan oleh para sahabat-sahabatnya (Assaabiqunal awwaluun). Dari definisi yang telah dipaparkan ini kembali pada kata kuncinya yaitu pemahaman terhadap kata Assunnah.

Pembahasan penting yang mesti dilakukan di sini ialah menjelaskan mengenai Sunah yang dianggap sebagai tasyri’; dimana semua orang wajib mengikuti dan mengamalkannya; dan Sunah yang bukan tasyri’ dan tidak ada kewajiban untuk melaksanakannya.

Sunah yang dianggap sebagai tasyri’ ini pun dibagi menjadi dua yaitu tasyri’ yang bersifat umum dan abadi untuk seluruh masyarakat sampai hari kiamat dan sunah yang dianggap tasyri’ yang bersifat khusus dalam keadaan darurat dan dalam keadaan tertentu saja. Penelitian mengenai masalah ini lebih banyak berkaitan dengan ilmu usul fikih daripada ilmu ushulul Hadits, dan kedua ilmu tersebut saling memerlukan. Untuk membedakan antara Sunah sebagai syariah yang harus di ikuti dan yang bukan, antara sunah yang bersifat umum dan abadi dan yang bukan. Untuk mengetahui masalah ini perlu ilmu pengetahuan dan pemahaman yang mendalam terhadap Kitab Allah dan Sunah Rasul-Nya.

Untuk memperjelas pembahasan kita marilah kita perhatikan beberapa pendapat ulama berkaitan dengan masalah Sunnah ini :

Pertama, Imam Abu Muhammad bin Qutaibah (Wafat : 276 H), dalam kitabnya yang berjudul Ta’wil Mukhtalaf fi al Hadits. Abu Muhammad ( ibnu Qutaibah ) mengatakan bahwa Sunah menurut saya ada tiga :

  1. Sunnah yang disampaikan malaikat Jibril as. Dari Allah Swt. Misalnya sabda Nabi Saw. :
  2. “Seorang wanita tidak boleh dinikahi oleh paman dari bapaknya dan paman dari ibunya.” Muttafaq alaih (al Lu’lu’ wa al Marjaan: 890)
  3. “Satu atau dua sedotan susu tidak menyebabkan terjadinya mahrom. ”HR. Ahmad,Muslim (Shahih al jami’ al Shaghiir: 7241)
  4. Sunnah di mana Nabi di izinkan oleh Allah untuk menetapkannya sendiri dengan menggunakan pendapatnya sendiri, sehingga beliau bisa memberikan keringanan hukum kepada siapa saja yang beliau kehendaki sesuai dengan keadaan dan keperluannya. Sebagai contoh :
  5. Nabi Saw mengharamkan orang laki-laki memakai sutera,tetapi beliau mengizinkannya untuk Abdul Rahman bin Auf karena suatu alasan tertentu.
  6. Sabda beliau ketika di Makkah: “ Janganlah dicabut dan ditebang pohonnya. “ Kemudian Abbas bin abdul muthalib berkata : “Wahai Rasulullah, kecuali pohon idkhir. Karena pohon itu digunakan untuk membuat rumah. Akhirnya nabi bersabda : “ Kecuali pohon idkhir .“HR. Muttafaq ‘Alaih (al Lu’lu’ wa al Marjan: 859 ). Ibnu Qutaibah berpendapat bahwa semua hal di atas adalah bukti bahwa Allah SWT telah memberikan wewenang kepada Nabi Muhammad untuk memutuskan suatu larangan dan mengecualikannya bagi orang yang beliau kehendaki setelah adanya larangan tersebut. Seandainya tidak boleh mungkin beliau tidak akan mengeluarkan pendapat apa-apa sehubungan dengan persoalan tersebut.
  7. Sunah yang menjadi pelajaran buat kita. Jika kita melaksanakan sunnah itu maka kita mendapatkan keutamaannya, dan jika tidak melaksanakan kita pun tidak berdosa, Insya Allah. Misalnya perintah beliau untuk memanjangkan kain jubah, mengalungkan surban di leher, perintah beliau untuk bercantuk yang diriwayatkan dari Ibnu Majah dari ibnu Mas’ud. Dalam melihat Sunah semisal ini Ibnu Qutaibah lebih cenderung sepakat dengan pendapat para ahli Usul Fikih bahwa perintah dan larangan di sini berarti anjuran.

Kedua, Imam Syihabuddin al Qarafi dari Mesir beliau menganut mazhab Maliki sekitar pada abad 7 masehi. Beliau menguraikan dengan baik mengenai Sunah nabi Saw dan mengenai perbedaan sisi-sisinya; yaitu Sunah di mana Nabi Saw bertindak sebagai seorang kepala negara, Sunah di mana Nabi berposisi sebagai seorang hakim, dan sunah di mana Nabi Saw. adalah seorang pemberi fatwa atau tabligh dan pembawa syariat. Di samping itu beliau juga menjelaskan mengenai pengaruh pembagian Sunah tersebut terhadap keumuman dan kekhususan hukum, kemutlakan dan keterbatasannya.

Masalah ini beliau jelaskan secara detail dalam karyanya yang orisinil dan unik, yaitu al Furuq dan al Ihkam fi Tamyizi al Fatawa min al Ahkam.

Pendapat Imam Syekh Ahmad bin Abdurrahim yang terkenal dengan nama Syah Waliyullah al Dahlawi dari india (W. 1176 H).

Beliau membagi Sunah ke dalam dua bagian yaitu, Sunah dalam bentuk penyampaian Risalah dan Sunah bukan dalam bentuk penyampaian risalah (Al Qardawi Yusuf,1997)

Sedangkan para Muhadditsiin berbeda-beda pendapatnya dalam menta’rifkan Al Hadits Perbedaan pendapat tersebut disebabkan karena terpengaruh oleh terbatas dan luasnya objek peninjauan mereka masing-masing. Dari perbedaan ini melahirkan dua macam pengertian hadits yakni pengertian yang terbatas dan pengertian yang luas.

Pengertian Hadits yang terbatas, sebagaimana dikemukakan para Muhadditsiin, ialah : ما اضيف للنبي صلى الله علىه وسلم قولااوفعلا او تقريرا اونحوها.

Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw baik berupa perkataan, perbuatan, pernyataan (taqrir) dan sebagainya.

Pengertian ini mengandung empat macam unsur, yakni perkataan, perbuatan, pernyataan dan sifat-sifat atau keadaan-keadaan Nabi Saw yang lain, yang semuanya hanya disandarkan kepada beliau saja.

  1. Perkataan: Perkataan yang pernah beliau ucapkan dalam berbagai bidang, seperti bidang hukum (Syariat), akhlak, pendidikan, dan sebagainya. Contoh :
  • Hukum : إنماالاعمال باانيات وإنمالكل امرئ مانوى

Bahwasanya amal – amal perbuatan itu dengan niat, dan hanya bagi setiap orang itu memperoleh apa yang ia niatkan…(HR. Bukhori Muslim ).

  • Akhlak : ثلاث من جمعهن فقد جمع الايمان : الانصاف من نفسه,وبذل السلام للعالم,والانفاق من الافتقار [البخاري ]

“ Tiga hal barang siapa yang sanggup menghimpunnya, niscaya akan mencakup iman yang sempurna: Jujur terhadap diri sendiri, mengucapkan salam perdamaian kepada seluruh dunia dan mendermakan apa yang menjadi kebutuhan umum “. ( HR. Bukhori ).

2. Perbuatan: Perbuatan Nabi merupakan penjelasan praktis terhadap peraturan-peraturan syariat yang belum jelas cara pelaksanaannya. Misal cara salat, cara menghadap kiblat dalam salat sunah di kendaraan yang sedang berjalan, telah dipraktikkan beliau di hadapan para sahabat. Dalam hal perbuatan Rasul ini dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu :1. Suatu tindakan yang ditunjuk oleh nash (dalil) yang khas, yang menegaskan bahwa perbuatan itu hanya spesifik untuk Nabi sendiri. Misalnya, Menikah lebih dari empat. 2. Suatu tindakan yang berdasarkan pada suatu kebijakan semata-mata yang bertalian dengan persoalan keduniaan. Misalnya, Pengawinan putik kurma. 3. Sebagian perbuatan beliau sebagai manusia biasa. Misalnya, makan, minum cara berpakaian dll.

كان النبى صلى الله عليه وسلم يلبس قميصا فوق الكعبين [ رواه ألحكيم ]

“Konon Nabi mengenakan jubah ( gamis ) sampai di atas mata kaki (HR. Hakim).

3. Taqrir: Artinya keadaan beliau mendiamkan, tidak mengadakan sanggahan atau menyetujui apa yang telah dilakukan atau diperkatakan oleh para sahabat di hadapan beliau.

Sifat-sifat, keadaan-keadaan, dan himmah (hasrat) Rasulullah saw.

    1. Sifat-sifat beliau yang dilukiskan oleh para sahabat dan ahli tarikh, seperti bentuk jasmani beliau.
    2. Silsilah-silsilah, nama-nama dan tahun kelahiran beliau.
    3. Himmah (Hasrat) beliau yang belum terealisasi seperti keinginan beliau berpuasa pada tanggal 9 ‘Assyura.
    4. Pengertian Hadits yang luas: meliputi segala berita yang marfu’, mauquf (disandarkan pada para sahabat) dan maqthu’ (disandarkan kepada para Tabi’in) ( Fathurrahman,1995: 13 ).

Dari uraian ini dapat kita simpulkan bahwa ada perbedaan mendasar antara Hadits dan sunah meskipun masing-masing disandarkan kepada baginda Nabi Muhammad saw. Hadits lebih bersifat umum yang meliputi perkataan (sabda) dan perbuatan Nabi, dan Sunah khusus berhubungan dengan perbuatan-perbuatan beliau baik yang mempunyai konsekuensi hukum syara khusus maupun umum dan perbuatan beliau yang tidak mempunyai konsekuensi hukum, hanya bersifat anjuran maupun posisi beliau sebagai manusia biasa.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *