Balaghah dan Interaksi Komunikasi Keseharian (2)

JelajahPesantren.Com  –  Balaghah dan Interaksi Komunikasi Keseharian, Fungsi Kata Yang “Tak Hadir”, salah satu komponen ilmu Ma’ani dari pembahasan tentang ilmu Balaghah berbicara tentang Ahwal Musnad Ilaih. Musnad Ilaih adalah subjek dalam pembicaraan bab Fi’il dan Fa’il atau bab Mubtada’ dan Khabar. Seperangkat Ahwal (Struktur) Musnad Ilaih di dalam posisi kalimat ada dua segi. Pertama hadz (posisi Musnad Ilaih kosong), argumen kekosongan posisi ini karena beberapa pertimbangan. Di antaranya adalah berfungsi untuk menghindari perkataan yang tidak penting (hemat kata). Misalkan, kata “cantik” yang diutarakan oleh seseorang kepada temannya di mana mereka sama-sama melihat wanita cantik yang sedang berada di seberang jalan. Kata “cantik” dari obrolan di antara kedua orang tersebut terdapat kata yang terbuang, yaitu “wanita di seberang jalan itu cantik”. Kata-kata yang terbuang adalah, “wanita di seberang jalan itu”. Kata “wanita” berada pada posisi subjek dan kata “cantik” pada posisi predikat. Terbuangnya kata-kata di dalam struktur kalimat tersebut karena sudah dapat saling dipahami antara mukhbir (penyampai berita/informan) dan mukhathab (penerima berita/informasi). Atau dengan kata lain, kandungan (psikologi kata) dalam kata “cantik” cukup mewakili daripada kata-kata yang tak hadir.

Kata yang “tak hadir” ini banyak mewarnai kehidupan. Kata-kata itu sejatinya ada, tetapi ia tidak tampak namun terasa. Kata yang “tak hadir” ini lebih sering mengisi kepada mereka yang jatuh cinta. Orang yang sedang jatuh cinta lebih banyak dalam pergaulan mereka dijembatani oleh simbol-simbol non verbal (lisan). Kata-kata yang terbesit halus di dalam benak memaknai simbol-simbol. Maka, mereka yang sedang dimabuk cinta lebih sering menyimpan kata. Dan bahkan, terkadang mereka tidak butuh bicara karena kata “yang tak hadir” itu telah banyak berbicara dari hati ke hati dan jiwa mereka.

Kesempatan kata yang “tak hadir” ini sejatinya harus berada di antara mereka yang sudah saling kenal secara baik, dan oleh perkenalan yang lama. Sebab kata yang “tak hadir” ini betul-betul dipahami oleh jiwa yang ditempa dari sekian lamanya interaksi di antara satu sama lain. Tetapi bisa saja kata yang “tak hadir” ini dipahami hanya dari pembicaraan-pembicaraan yang sifatnya umum karena secara penciptaaan feeling manusia punya persepsi yang sama. Dan untuk tujuan yang khusus dan lebih spesifik kesamaan persepsi tidak akan tercapai jika bukan dari lamanya interaksi serta perkenalan.

Kata yang “tak hadir” ini dapat pula dipahami oleh modal kekayaan pengalaman. Mukhathab (penerima berita/ informasi) mudah saja memahami yang disampaikan oleh mukhbir (penyampai berita/informan) atau mutakallim (pembicara) walaupun ia belum kenal lama dengan si mutakallim. Pengalamannya mampu melakukan filterisasi serta menebak isi dibalik kata “yang hadir” untuk kemudian memutuskan merespon serta menanggapi dan menimpal balik.

Dengan begitu, kata yang “tak hadir” merupakan objek penafsiran mukhathab. Menafsiri sesuatu yang ditarik dari sebuah kata verbal (lisan) yang tersembunyi dibaliknya. Oleh karena itu, dibutuhkan bekal pengetahuan bagi mukhathab untuk dapat menangkap maksud dibalik kata yang “tak hadir”. Menghadapi mukhathab yang tidak mempunyai cukup bekal pengetahuan akan suatu informasi/ berita, maka, secara garis besar mukhathab harus diperkenalkan terlebih dahulu dengan apa yang hendak dibicarakan supaya mukhathab dapat menerka (review) kembali ingatannya. Namun, ketika mukhthab benar-benar dalam posisi khalidz-dzihni (tidak tahun informasi/ berita), maka– lebih bijak – apabila kata yang “tak hadir” perlu dihindari.

Kata yang “tak hadir” jika dilihat dalam kehidupan berpolitik, seringkali digunakan oleh oknum-oknum politikus. Dalam berbagai jargon yang diketengahkan oleh mereka ketika menghadapi khalayak- seringkali dengan nada yang berapi-api – tidak lepas dari kata “rakyat” atau “sejahtera”. Namun, kita sebagai pengkonsumsi kata-kata mereka perlu bertanya tentang kata “rakyat” yang ia bela dan ingin disejahterakan. Sebab, sangat mungkin kata “rakyat” yang keluar dari lisannya menyimpan kata yang “tak hadir”. Yaitu, rakyat yang mana yang ia maksudkan. Dari itu, perlu klarifikasi atau bahkan penelitian untuk mengetahuinya secara terang benderang. Hal demikian, supaya kita sebagai diri mukhatab bisa terhindar dari tipu dayanya. Sebab, banyak sudah “korban” dari kata-kata yang dilontarkan oleh seorang politisi (busuk) dengan pesona kata “rakyat” atau kata “sejahtera”. Rakyat yang ia maksud rupanya adalah rakyat “khusus” atau rakyat “sebagian” yang mempunyai kedekatan dengan dirinya saja. Kata “sejahtera” yang ia maksud adalah dalam rangka untuk menyejahterakan diri, keluarga dan kroni-kroninya.

Memperhatikan pemikiran di atas, maka sudah seyogyanya warga negara yang berposisi sebagai mukhathab memperoleh pendidikan politik yang memadai. Hal demikian supaya warga negara dapat terhindar dari jebakan kata yang “tak hadir” dari politisi-politisi yang tidak bermoral. Pendidikan politik ini juga sebagai hak warga mendapatkan pengetahuan, atau menjadi bentuk meningkatkan pemahaman politik, partisipasi, serta kontrol warga atas negara dari berbagai kebijakan-kebijakan yang jauh dari keberpihakan kepada mereka.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *