Al-Quran antara Bacaan, Pemahaman dan Keyakinan

JelajahPesantren.Com – Al-Quran merupakan kitab suci terakhir yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad sebagai way of life bagi umat Islam. Selain itu Al-Quran juga sebagai petunjuk  (Hudan) bagi orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang beriman.

Pada dasarnya petunjuk Al-Quran adalah bagi manusia /هداللناس akan tetapi yang bisa mengambil hidayah/petunjuk dari Al-Quran hanyalah orang-orang yang beriman dan bertakwa saja. Adapun bukti bahwa Al-Quran adalah hujjah bagi manusia dan hukum-hukum yang ada di dalamnya adalah merupakan perundang-undangan yang wajib diikuti karena Al-Quran wahyu Allah SWT yang tidak ada keraguan atas kebenarannya. Adapun bukti bahwa Al-Quran adalah dari Allah SWT adalah I’jaznya kepada manusia untuk menciptakan yang semisalnya. Sehubungan dengan fungsi Al-Quran yang begitu besar dan urgent dalam kehidupan manusia khususnya umat Islam, ada tiga aspek penting yang setidaknya harus dipelajari dan dipahami sehingga antara satu aspek dengan aspek yang lain saling terkait dan sinergis. Adapun tiga aspek penting dalam Al-Quran:

  1. Aspek Bacaan [قرأة]

Karena bacaan Al-Quran adalah Tauqifi artinya langsung dari Nabi Muhammad Saw maka bacaan Al-Quran haruslah sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Rasululloh saw. Ada perbedaan essensial antara Al-Quran dan Qiraat, kalau Al-Quran adalah wahyu yang diturunkan oleh Alloh kepada nabi Muhammad sebagai mukjizat. Sedangkan Qiraat adalah perbedaan lafadz-lafadz tersebut dalam huruf-hurufnya dan tata cara pengucapannya, dari takhfiif, tasydiid dan lain-lainnya. Ada tiga istilah ahli qurroo’; (a) Qaari’ al Mubtadi’: orang yang memulai belajar qiraat dengan mempelajari tiga qiraat terlebih dahulu tanpa menyertakan yang lain. Artinya membaca Al-Quran sesuai dengan kaidah tajwid yang benar dengan riwayat Hafs kemudian setelah mantap baru pindah pada imam yang lain; (b) Qaari’ al muntahi: Orang yang menguasai sebagian besar qiraat yang masyhur dan; (3) Al muqri’: orang yang menguasai seluruh qiraat yang kemudian disebut dengan al ‘Aliim bi al Qiraat.

Perbedaan antara Qiraat, Riwayat dan Thuruq

Qiraat : bacaan yang disandarkan kepada salah seorang imam dari qurraa’ 7,10 / 14.

Contoh : Nafi’,ibnu katsir/Ya’qub dan sebagainya.

Riwayat: bacaan yang disandarkan pada para rawi dari para Qurra’ yang 7,10 / 14.

Contoh : Nafi’ mempunyai dua perawi Qoluun dan Warsy (Riwayat Qooluun ‘An Naafi’ ).

Thuruq: bacaan yang disandarkan kepada Aakhidzun/ orang yang mengambil dari para perawi Qurraa’ 7,10/14.

Contoh : Warsy mempunyai dua murid al azraaq dan al ashbahani, (Thoriqul Azraaq ‘an Warasy).

Dari uraian ini, maka orang yang bisa mengajarkan bacaan Al-Quran adalah orang yang pernah bertalaqqi (bertatap muka) dan musyafahah (berguru) dengan orang yang mempunyai sanad. Karena dalam Qiraat banyak hal-hal yang tidak bisa dibaca kecuali harus melalui talaqqi dan musyafahah. Contoh: Cara membaca lafadz

إركب معنا   menurut Hafs ada dua wajah Idgham dan Idzhar, dan masih banyak di antara contoh-contoh lain yang senada dengan hal tersebut.

Adapun faedah adanya perbedaan-perbedaan bacaan (Qiroat) diantaranya: Pertama, Keringanan dan kemudahan bagi umat/ Islam. Kedua, Qiroat baik itu mutawatir, masyhur ataupun syadzdzah, bisa membantu dalam bidang tafsir. Ketiga, Lebih tampak mukjizatnya Al-Quran dari segi ringkasnya. Keempat, Meluruskan akidah sebagian orang yang salah dalam penafsiran Allah tentang sifat Surga dan penghuninya :

وَاِذَا رَاَيْتَ ثُمَّ رَاَيْتَ نَعِيْمًا وَ مُلْكًا ( مَلِكًا ) كَبِيْرًا

Dalam qiroah lain dibaca ( مَلِكاً ) dengan memfathahkan mim dan mengkasrohkan lam. Sehingga qiroah kedua ini menjelaskan qiroah pertama bahwa kaum mukminin akan melihat wajah Allah SWT di akhirat nanti,sebagai mana akidah Ahlussunnah wal Jamaah. Kelima, Merupakan keutamaan dan kemuliaan umat Muhammad saw atas umat-umat pendahulunya. Karena kitab sebelumnya turun hanya satu segi dan dalam satu qiroah, berbeda dengan Al-Quran. (Zulfidar Akaha, Abduh,1996 :126-128). Bacaan dan hafalan Al-Quran harus dilakukan terus menerus. Sebab kekalnya Al-Quran merupakan salah satu keistimewaan tersendiri. Hal ini tercermin dari para penghafalnya yang tidak pernah putus dari generasi ke generasi, termasuk masih berlanjutnya hafalan dan bacaan secara lisan, di samping penulisannya juga. Terus menerusnya bacaan Al-Quran harus tetap dilestarikan, karena ini merupakan salah satu bagian terpenting dari ajaran Islam terhadap para penganutnya. ( Al Ghazali,1999:28 )

  1. Aspek pemahaman.

Al-Quran yang merupakan Wahyu Allah SWT terakhir yang diturunkan kepada khotamil anbiya’ Muhammad Saw mengandung berbagai macam hikmah dan ilmu yang tidak mungkin dikaji secara menyeluruh dan sempurna oleh manusia manapun hal ini disebabkan karena adanya perbedaan jangkauan, karakter dan status Al-Quran dengan kekuatan akal manusia yang hanya bisa menjangkau alam fisis. Sedangkan Al-Quran mengandung berbagai macam sumber keilmuan dari yang fisis, non fisis dan metafisis, masa lalu, sekarang dan akan datang. Nabi menggambarkan:

إن هذاالقران معذ بة الله فى الارض  Sesungguhnya Al-Quran ini adalah tempat sumber air Allah – untuk dinikmati dan dimanfaatkan – di muka bumi oleh manusia sesuai dengan tingkat kebutuhan dan kemampuannya.

Sayyid Qutb, ketika memulai menulis kitab Tafsirnya فى ظلال القرأن  mengatakan:

الحياة في ظلا ل القرأن نعمة نعمة لايعرفها الامن ذاقها  hidup di bawah naungan Al-Quran terasa nikmat, nikmat yang tidak dapat dimengerti kecuali orang yang telah merasakannya.

Untuk bisa memahami Al-Quran secara keseluruhan dan sempurna meskipun ini hal yang mustahil bagi manusia biasa kecuali Nabi, minimal dibutuhkan 70 sampai dengan 80 macam ilmu yang berhubungan dengan Al-Quran. Ada beberapa problematika yang kita hadapi ketika kita ingin memahami Al-Quran:

  1. Kedudukan Al-Quran yang sangat tinggi yaitu statusnya sebagai mukjizat yang kebenarannya “ Mutlak “, “ Abadi “ dan “ Universal “. Sedang kemampuan akal manusia terbatas dan bersifat temporal.
  2. Kedudukan Al-Quran sebagai sumber keilmuan yang menjangkau masalah-masalah fisis,non fisis, maupun metafisis.
  3. Kedudukan Al-Quran sebagai Hudan/ petunjuk dan jalan hidup untuk umat manusia khususnya umat Islam dari zaman ke zaman, dari tempat ke tempat lain.
  4. Kedudukan Al-Quran sebagai fenomena bahasa bukan sekedar bahasa arab tetapi juga Mukjizat dan padat hikmah.

Untuk memahami Al-Quran dengan baik memerlukan beberapa hal :

  1. Lebih memahami ilmu – ilmu Al-Quran yang sudah ada.
  2. Memanfaatkan hasil – hasil penemuan dan informasi ilmiah modern yang berkembang.
  3. Memahami substansi masalah yang menjadi sasaran Al-Quran di samping memahami kalimat – kalimatnya.
  4. Menyadari tentang perbedaan status kebenaran Al-Quran yang bersifat Qoth’i / Absolut dan status kebenaran kita yang bersifat nisbi/ relatif. Yang dipengaruhi oleh tempat, waktu, dan pengalaman.

Dalam hal pemahaman ini Allah SWT berfirman dalam Al-Quran antara lain :

وأنزلنا إليك ألذكرلتبين للناس ما نزل إليهم ولعلهم يتفكرون [ ألنحل : 44 ]

“Dan kami Allah SWT telah menurunkan Al-Quran pada engkau Muhammad, supaya engkau terangkan kepada manusia barang apa yang diturunkan kepada mereka, agar mereka memikirkan “   ( An Nahl : 44 ).

وما انزلنا عليك الذكرإلالتبين لهم الذى اختلفوا فيه هدى ورحمة لقوم يؤمنون [النحل : 64 ]

“Dan tidaklah Kami Allah SWT turunkan Al Kitab kepada engkau Muhammad melainkan agar supaya engkau terangkan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan di dalamnya, dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang – orang yang percaya “. ( An Nahl : 64 ).

Dua ayat di atas menunjukkan bahwa Al-Quran yang diturunkan kepada nabi Muhammad Saw itu agar diterangkan dan dijelaskan serta ditafsiri kepada umat manusia, perihal apa yang telah diturunkan dan apa yang diperselisihkan oleh mereka di dalam soal agama. (Moenawar Kholil,1985 : 120 ).

Al-Quran mempunyai tiga jenis petunjuk bagi manusia :

Pertama adalah doktrin; artinya Ia mengandung segala pelajaran yang diperlukan manusia untuk mengetahui siapa dirinya, di mana dia berada dan ke mana ia pergi. Al-Quran adalah dasar dari hukum Tuhan dan pengetahuan metafisis.

Kedua, Al-Quran berisi petunjuk yang menyerupai ringkasan sejarah manusia, rakyat biasa, raja-raja, orang – orang suci, dan para nabi sepanjang zaman dan segala cobaan yang menimpa mereka. Artinya Al-Quran adalah ringkasan sejarah eksistensi duniawi manusia, yang di mulai dengan kelahiran dan diakhiri dengan kematian.

Ketiga, Al-Quran berisi sesuatu yang sulit untuk dijelaskan dengan bahasa modern. Artinya Al-Quran memiliki daya magi yang sangat agung, bukan dalam arti harfiyah melainkan dalam arti metafisis. Orang membaca dan menghafalkan Al-Quran dari hari ke hari; bahkan ada orang suci yang menghabiskan umurnya dengan membaca Al-Quran. Ini semua disebabkan oleh kehadiran-Nya di dalam Al-Quran, yang memberikan makanan rohani bagi jiwa manusia.(Sayyid Husain Nashr,2000: 30 ) Sebagai contoh Imam Al Ghazali mengatakan bahwa imam Syafi’i apabila membaca Al-Quran tidak terasa lagi berapa lama waktu yang sudah dihabiskannya (sulit membatasi ). Kerap kali mulai membaca pada tengah malam, dan sampai waktu fajar tahu-tahu dikejutkan oleh suara azan subuh. Semua itu karena rasa nikmat yang dihayatinya (M.Tholhah Hasan, 2000: 188 ).

Syeikh Abi Bakr al-Jazairi dalam kitab “Minhajul Muslim“ nya beliau mengatakan bahwa Al-Quran mengandung ilmu-ilmu yang bermacam0macam di antaranya : a. ilmu – ilmu Kauniyah (Alam) ,b. Ilmu-ilmu sejarah, c. Ilmu-ilmu syariat dan al Qonuniyah, d. Ilmu-ilmu politik/ siyasah. ( Abi Bakr Al Jazairi,2005 : 25 )

Selain itu petunjuk Al-Quran terdiri dari 4 tingkatan :

  1. Petunjuk bagi kaum awam/ petunjuk harfiyah (ibarah).
  2. Petunjuk bagi para cendekiawan (khawash), petunjuk yang berupa perbandingan ( isyarah).
  3. Petunjuk bagi para sahabat Tuhan / Auliya’. Arti yang tersembunyi yang berhubungan dengan dunia luar indra (Lathaaif), yang ditujukan bagi para sahabat Tuhan / Wali.
  4. Petunjuk bagi para Nabi yaitu kebenaran spiritual (Haqaaiq)

Manusia membutuhkan petunjuk tuhan, sebab meskipun ia makhluk theomorfis, pada dasarnya ia pelupa dan acuh tak acuh karena itu ia harus selalu diberi petunjuk/ peringatan. Kitab Al-Quran berisi banyak dasar – dasar pemikiran. Sebagaimana pernah digambarkan oleh Al Aqqad, kegiatan pemikiran adalah kegiatan yang diwajibkan Islam. Di samping itu, Al-Quran juga mengandung banyak hal yang bersifat dialogis terhadap alam semesta yang belum pernah tertera dalam kitab-kitab sebelumnya.

Kebanyakan umat Islam merasa sudah mempraktikkan kandungan Al-Quran secara konsekuen. Padahal kenyataannya, hanya sebatas pada hukum-hukum bacaan saja, meskipun hal ini penting karena bacaan Al-Quran bersifat tauqifi langsung dari Rasul. Sedangkan untuk memahami, untuk menentukan hukum serta penafsiran lebih lanjut tentang kandungan Al-Quran, maka masih jarang kalaupun tidak sulit kita temukan khususnya di kalangan umat Islam. Ini adalah masalah yang tidak boleh dianggap remeh  dan tidak boleh diabaikan begitu saja bila kita tidak menginginkan keterasingan dari agama kita sendiri dan dari keterasingan Al-Quran sebagai pedoman agama.

Seperti firman Alloh swt dalam Al-Quran Surat Al Maidah 15-16.

  1. Hai ahli Kitab, Sesungguhnya telah datang kepadamu Rasul Kami, menjelaskan kepadamu banyak dari isi Al kitab yang kamu sembunyi kan, dan banyak (pula yang) dibiarkannya. Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan kitab yang menerangkan [408].
  2. dengan kitab Itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.

Pemahaman yang sempit dan dangkal terhadap Islam menurut Budhy – Rahman akan menimbulkan masalah serius bagi umat Islam. Pertama, munculnya klaim kebenaran. Kedua, munculnya monopoli tafsir. Ketiga, munculnya kekerasan dengan pengatasnamaan agama. Oleh karenanya setidaknya ada lima argumen mengapa teks-teks agama perlu ditafsirkan: pertama, Al-Quran diturunkan dalam penggalang ruang dan waktu tertentu, sementara manusia yang menjadi sasaran berkembang terus dalam membangun peradabannya.  Kedua, bahasa apa pun termasuk bahasa kitab suci memiliki keterbatasan yang bersifat lokal karena bahasa adalah realitas budaya. Sementara itu  pesan dan kebenaran agama yang termuat dalam bahasa lokal tadi mempunyai klaim universal. Oleh karena itu, kalau teks “disakralkan”, maka akan beku dan mati pemahamannya. Ketiga, ketika bahasa agama disakralkan, maka akan muncul beberapa kemungkinan, bisa jadi pesan agama akan terpelihara kokoh, tetapi bisa juga makna dan pesan fundamental agama malah terkurung oleh teks yang telah “ disakralkan “ tadi. Keempat, Al-Quran selain kodifikasi hukum tuhan adalah sebuah “ rekaman “ dialog Tuhan dengan sejarah di mana kehadiran Tuhan diwakili oleh rasul-Nya. Kelima, semakin otonom dan berkembang pemikiran manusia maka semakin otonom manusia mengikuti atau menolak ajaran agama dan kitab sucinya. Seperti yang dikatakan oleh Amin al Khuli “ kapan pun, pemikiran memang, sebuah kekafiran. Ia diharamkan dan diperangi. Bersama lalunya zaman, ia menjadi sebuah aliran bahkan keyakinan dan pembaharuan. Di atasnya, kehidupan terus melaju setapak demi setapak menuju muara “. Semoga Allah melindungi akidah kita Amiin.

Al-Quran berbicara kepada akal dan hati manusia. Kepada akal diperintahkan untuk berpikir, selain melalui ayat-ayat kosmos, juga melalui ajaran-ajaran yang argumentasinya terdapat dalam Al-Quran. Kepada hati, Al-Quran berbicara selain melalui ibadah juga melalui ajaran-ajaran moral yang juga terdapat di dalam Hadits, dengan demikian Al-Quran menyatukan antara pendidikan Qolbiyah dan Aqliyah (Harun Nasution,1998 : 38). Dari apa yang dikatakan oleh Harun Nasution ini dapat ditegaskan bahwa di dalam Al-Quran tidak ada dualisme pendidikan, pendidikan agama dan sains akan tetapi pendidikan dikemas secara integral dan balance meskipun masih dalam bentuk dasar dan global.

Syaikh al Ghazali dalam bukunya Berdialog dengan Al-Quran mengatakan bahwa metode memahami Al-Quran dibagi menjadi dua yaitu metode klasik dan metode modern. Metode Klasik Kajian-kajian ini berkisar pada usaha-usaha menemukan nilai-nilai sastra, fikih, kalam, aspek sufistik-filosofisnya, pendidikan, dan sebagainya. Ada juga yang menggunakan metode atsariyyiin atau dikenal tafsir bil Ma’tsur. Sedangkan metode modern Syech Al Ghazali mengatakan sudah saatnya usaha untuk membangun kebudayaan atau kajian Al-Qurani baru, seperti yang pernah dicontohkan oleh Al Aqqad dalam sebuah karyanya At tafkiir Faridhah Islamiyah (Al Ghazali: 38).

Tafsir jenis yang kedua ini lebih menitik beratkan pada aspek-aspek rasionalitas dan aspek filosofis atau sering dikenal dengan tafsir bil Ra’yi. Untuk menggunakan tafsir jenis ini diperlukan syarat dan kaidah-kaidah tertentu seperti memahami tata bahasa Arab, sastra Arab, Asbabun Nuzul dan lain-lain.

Al-Quran terdiri dari bagian yang sifatnya berbeda satu sama lain,sebagian dedaktis dan penuh keterangan,sebagian lagi puitis,ringkas dan langsung pada pokok persoalannya. Keajaiban Al-Quran terletak pada kekuatan bahasanya yang mampu menarik hati orang terus menerus,sejak mulai diturunkan hampir seribu lima ratus tahun yang lalu sampai kini.

Al-Quran dikenal dengan tiga buah nama, yaitu Al-Quran, Al Furqon dan Ummul Kitab. Pertama, Al-Quran yang dikenal secara umum berarti bacaan, kitab-Nya adalah bacaan yang berisi ide dan pikiran, yang menuju kepada kebenaran.

Kedua, Al Furqon berarti pemisah, yang menolong manusia untuk membedakan baik dan buruk nyata dan hayal, mutlak dan nisbi. Ketiga, Umm al Kitab, (induk dari segala buku) Al-Quran adalah prototipe dari segala “ buku“, yang melambangkan pengetahuan.

Dalam pandangan Islam, Al-Quran adalah inti sari dari semua pengetahuan. Tetapi pengetahuan ini terkandung di dalam Al-Quran sebagai benih dan prinsip. Untuk menemukan prinsip ini, orang harus menghayati arti yang sebenarnya dari “ Ummu al Kitab “, dan kemudian menemukan dasar, bukan detail pengetahuan. Jadi Al-Quran bukan saja sumber pengetahuan metafisis dan religius, tetapi juga sumber segala pengetahuan.

Fungsi Al-Quran bukan hanya sebatas untuk dibaca. Lebih dari itu, Al-Quran juga memperingatkan seseorang untuk mengingat-ingat hari pembalasan itu benar. Di samping itu berdialog dengan orang-orang yang berakal untuk berpikir tentang hal-hal yang mereka dengar agar dapat menjadi satu bangsa yang dinamis, kreatif dan berbuat banyak terhadap bangsanya. Ini dikarenakan mereka telah memahami dan menghayati kandungan Al-Quran serta mampu menganalisis tujuan dan maksudnya.

  1. Aspek Keyakinan.

Keyakinan yang kami maksud di sini bukan keyakinan bahwa Al-Quran adalah kitab suci yang diturunkan oleh Allah dan memiliki kebenaran yang absolut tetapi keyakinan yang kami maksud adalah Al-Quran sebagai kitab suci mempunyai daya magi yang sangat kuat sehingga sulit bagi akal untuk bisa memahami hakikat yang terkandung di dalamnya. Hal ini dapat kita ambil satu contoh bahwa surat-surat dan ayat-ayat tertentu dari Al-Quran ketika dibaca secara istiqomah ternyata diyakini dapat membawa “berkayh“ tersendiri bagi pembacanya apakah berkah itu berhubungan dengan keselamatan dirinya, ketenangan jiwanya, kemudahan dalam rizqinya dan lain sebagainya. Oleh karena itulah tidak sedikit orang yang menjadikan bagian-bagian ayat Al-Quran sebagai “ azimat “.

Dalam hal yang gaib, umat tidak dipaksakan untuk menganalisis tuntas persoalan Al-Quran, memang beginilah karakter manusia kalau sudah menyentuh alam metafisika berbagai teori boleh muncul, tetapi semuanya tidak lepas dari sebuah tafsiran atau malah spekulasi. Demikian dikatakan oleh Daniel Djunaid dalam Antropologi Al-Quran beliau juga menambahkan yang lebih aman terima saja informasi dari Allah dan Rasulullah sendiri, tanpa harus masuk terlalu jauh mencari substansi yang kadang kala cenderung membodohi orang atau malah menampakkan kebodohan diri sendiri. (Djuned,, 2011 : 27-28).

Untuk lebih memperjelas terhadap bahasan tentang keyakinan ini dapat kita ambil contoh dalam sejarah turunnya Al-Quran disebutkan bahwa Al-Quran sesuai dengan isyarat ayat sendiri, ada jeda yang agak lama antara surat-surat yang sudah turun dengan surat ke sepuluh Al Dhuha. Pada saat itu ada semacam kecemasan dan kerinduan yang tumbuh dalam hati Rasulullah Saw ketika Jibril lama tidak datang  mengajarkan Al-Quran. Dari contoh ini jelaslah bahwa Al-Quran adalah mukjizat yang memiliki daya magi luar biasa yang harus kita yakini. Oleh karena itu membaca Al-Quran dimengerti ataupun tidak adalah ibadah yang berpahala dan juga dapat membuat pembacanya merasakan ketentraman dan kebahagiaan dalam hatinya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *