Slametan sebagai Tradisi Penghormatan Kepada Orang yang Sudah Mendahului Kita

JelajahPesantren.Com – Ajaran menghormati yang tua dan menyayangi yang lebih muda merupakan warisan secara budaya harus tetap dijaga dan dilestarikan. Etika hidup tidak serampangan. Menghormati juga dapat dengan kesantunan dalam berbicara dan menyampaikan pendapat. Menyayangi juga berarti tidak memandang rendak dan bersikap mengacuhkan. Menghormati dapat bermakna melestarikan ajaran-ajaran yang ditinggalkan yang baik untuk diteruskan. Menyayangi pula dapat bermakna merawat tradisi yang bermanfaat dalam merawat kebersamaan, kerukunan, dan keutuhan. Menghormati dapat berupa bentuk rasa terima kasih dengan berupaya membalas kebaikan-kebaikan yang sudah ditanamkan.

Slametan

Kebiasaan orang Indonesia, khususnya Jawa adalah mengadakan slametan. Slametan berasal dari kata selamat. Acara ini berisi bacaan-bacaan yang dikutip dari Al-Qur’an dan Hadis Nabi saw., setelah pembacaan selesai, selanjutnya diikuti dengan ramah tamah dan berkatan (bingkisan) untuk dibawa pulang. Jumlah undangan menyesuaikan kemampuan dari yang sedang mengadakan hajatan (tuan rumah). Begitu pula dengan hidangan ramah tamah dan berkatannya juga bergantung dengan kemampuan sohibul hajat (tuan rumah). Tidak ada unsur kriteria atau aturan sosial tentang suguhan yang harus disediakan oleh tuan rumah, misalkan harus menyediakan ini dan itu dan seterusnya. Sesuatunya berjalan apa adanya, semuanya kembali kepada kemampuan sohibul baitnya (tuan rumah). Berkatan adalah istilah khusus yang hanya ada ketika acara-acara slametan, atau yang serupanya. Makna sederhananya untuk mudah dipahami secara umum, berkatan dapat disebut dengan bingkisan. Bingkisan tersebut agar dibawa pulang oleh para undangan dari tuan rumah untuk keluarga mereka yang di rumah. Berkatan sendiri adalah kata dari bahasa Arab, barokah, yang bermakna harapan bertambahnya kebaikan.

Tradisi ini sudah barang tentu oleh para pendahulu moyang bangsa ini sudah dipikirkan secara sungguh-sungguh dan matang. Tradisi “kumpul-kumpul” ini menjadi sarana ampuh dalam rangka menjalin tali silaturrahim dan persaudaraan, tidak hanya individu tetapi lebih jauh bersifat antar keluarga. Sebab, berkatan yang dibawa pulang itu secara tidak langsung adalah “salam” persaudaraan dari tuan rumah kepada keluarga para undangan. Dalam kajian sosiologi, ini merupakan bagian kecerdasan sosial.

Ditilik dari konsep akhlak-etika kebiasaan slametan dapat dilihat sebagai bentuk penghormatan atau rasa sayang kepada orang-orang yang sudah lebih dulu kembali ke alam sana. Pengertian “lebih dulu” dapat bermakna adalah yang lebih tua. Sebab, mereka berangkat dan hadir lebih awal kesana daripada kita yang masih diberi kesempatan hidup lebih panjang dari mereka. Dengan mengingat mereka tidak akan melunturkan sumbangsihnya atas keberadaan kita di dunia ini. Mengingat mereka dengan mengundang tetangga dan handaitolan dapat dilihat sebagai bentuk syukur (terima kasih) kita kepadanya yang sudah mendidik kita dengan ilmu dan pengalaman yang baik. Mengingat mereka dapat membuka kembali memori sejarahnya, usahanya, perjuangannya, kasih sayangnya dalam upayanya mengantarkan kita menjadi anak yang bergunan, anak yang shaleh atau shalehah. Mengingat mereka bisa menjadi dalam rangka me refresh kembali pesan-pesannya, dapat menggelorakan semangat hidup untuk dapat hidup yang lebih baik. Untaian doa ampunan yang secara sadar selalu dihaturkan kepada Allah swt., sangat mungkin tidak lepas dari rasa penghormatan besar kita kepada mereka dan juga rasa terima kasih dan sayang kita kepada mereka. Alluhummaghfir lana dzunubana wa liwa lidayna warhamna warhamhuma kama rabbawna shighara (Ya Allah, Ampuni dosa-dosa kami dan kedua orang tua kami, sayangilah kami dan juga kedua orang tua kami sebagaimana mereka telah menyayangi kami sewaktu kecil kami).

Disadari bahwa alam disana lebih berat keadaannya daripada alam dunia, bahagia dan deritanya tergantung amal perbuatan di dunia. Selama hidup di dunia setiap individu manusia tidak pernah lepas dari maksiat dan dosa. Slametan menjadi sarana “balas budi” seseorang kepada orang-orang tercinta, terlebih kepada kedua orang tua, keluarga, teman, dan sesama saudara seiman. Bacaan-bacaan Al-Qur’an dapat dihadiahkan pahalanya kepada mereka, bacaan tahlil, tahmid, tasbih, dan istighfar juga dapat menjadi wasilah memintakan kepada Allah atas ampunan dan kebaikan mereka di alam sana. Doa-doa yang dilantunkan secara berjamaah punya peluang lebih besar untuk di ijabah  (dikabulkan) oleh Allah swt.

Didorong semangat secara agama, maka suguhan dan berkatan slametan dapat dimaknai sedekah. Dan memang demikian yang sudah umum di masyarakat secara pengamalannya. Mereka memaknai yang dipersipakan untuk para uandangan dari suguhan dan berkatan semata-mata hanya untuk bersedekah. Bersedekah tidak harus dalam kondisi ketika secara ekonomi sedang stabil, sebagian tanda dari perilaku ketakwaan adalah ketika secara ekonomi labil namun masih menciptakan peluang untuk bersedekah. Manfaat sedekah sungguh amat besar kebaikannya. Bagi tuan rumah yang sedang slametan kebaikan tersebut diperuntukkan kepada mereka yang telah mendahului dirinya. Dengan ulasan singkat diatas, dilihat dari hubungan sosial, sebagaimana dari asal katanya slametan, adalah upaya untuk selamat, dengan arti menjaga dan merawat nilai tali asih sesama warga dan sesama muslim. Secara agama dapat berarti supaya yang sudah berangkat ke alam sana diberikan kesentosaan oleh Allah swt., yaitu selamat dari kejamnya siksaan kubur. secara keseluruhan prosesi slametan dapat menjadi tolok ukur sosial bagi penghormatan, kasih sayang, dan rasa terima kasih serta kebaktian seorang anak manusia kepada mereka yang sudah lebih dulu berangkat ke alam sana. Sejalan dengan sabda Nabi saw., “Setiap anak Adam terputus amalnya (ketika meninggal dunia) kecuali tiga perkara, amal sedekah, ilmu yang berguna (untuk generasi yang masih hidup), dan seorang anak (keturunan) yang ikhlas mendoakannya (memintakan ampunan baginya).”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *