Manusia dan Tanah

JelajahPesantren.Com  – Dalam Al-Quran di dalam surat Al-Fathir, pada ayat ke-11 Allah s.w.t., menjelaskan bahwa muasal manusia diciptakan dari tanah. Dari tanah ini kemudian berproses pada kondisi berikutnya dalam perkembangan terbentuknya manusia, yaitu kepada air mania atau sperma. Tanah merupakan sesuatu yang dalam pandangan Quraisy Syihab sangat berbeda dengan air atau api, tanah adalah sebuah elemen yang stabil. Tanah merupakan substansi yang dibutuhkan oleh seluruh makhluk hidup di muka bumi. Ia dibutuhkan oleh hewan, air, tetumbuhan, dan manusia itu sendiri khususnya.

Tanah sebagai sesuatu yang dibutuhkan oleh seluruh makhluk, dan manusia adalah ciptaan-Nya yang berasal dari tanah, maka sudah barang tentu manusia tidak lepas dari bagian sifat asalnya, yaitu tanah. Sebagai sesuatu yang berasal dari tanah maka manusia adalah makhluk yang dibutuhkan. Manusia dibutuhkan bumi ini untuk memakmurkannya, merawatnya, dan menghiasinya dengan keindahan. Manusia dapat menjadi makhluk yang menentukan akan eksistensi bumi ini. Karena dikonstruksi dari tanah, manusia menjadi makhluk yang cocok di tugaskan untuk menjaga dan memelihara bumi. Keberadaannya menjadi tumpuan oleh seluruh makhluk hidup. Menjadi makhluk yang digadang untuk dapat melestarikan bumi. Maka, sebab harapan-harapan itu, sejatinya manusia harus bersikap bijaksana. Kebijaksanaan ini adalah sebuah ikhtiar, tergantung kepada manusia akan hendak di bawa ke mana arah bumi dan kehidupan ini. Dengan begitu, ketika manusia ini baik, maka baik pula bumi serta seluruh isi bumi ini. Namun sebaliknya, apabila manusia berperilaku jahat, bumi dan seluruh isinya akan menjadi berantakan.

Manusia, sebagaimana tanah, tanah tempatnya adalah di bawah. Tanah karena berada di bawah, maka ia selalu menjadi pijakan. Tempat di mana kita berpijak. “Bawah” sebagai eksistensi keberadaan tanah mengandung kerendahan. Konotasinya, sesuatu yang di bawah sering dikesankan sebagai sesuatu yang hina, dan rendahan. Kita ketika disebut sebagai “orang bawah” atau “orang bawahan” maka sejatinya status diri kita di tengah-tengah kehidupan sosial adalah makhluk yang lemah, dianggap tidak berguna, dan di injak-injak. Demikian halnya tanah yang setiap saat kita injak. Manusia karena dari tanah sejatinya tercipta dari substansi yang “rendahan” dan penuh kehinaan. Manusia kemudian berubah menjadi mulia karena atas kasih-Nya. Dari bawah (tanah) ia di angkat (berubah) kepada bentuk yang lain, yang mulia yaitu manusia.

Pada surat At-Tin ayat 4-5 Allah s.w.t., berfirman, “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”, menjelaskan bahwa atas kuasa-Nya tanah itu dipola sedemikian rupa sehingga terciptalah makhluk yang sangat luar biasa yang berupa manusia. Sebuah makhluk yang dalam pandangan Allah paling sempurna penciptaannya dibandingkan dengan makhluk-makhluk yang lainnya. Namun, pada ayat berikutnya, Allah kembali berfirman, “Kemudian kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya”, mengindikasikan bahwa Allah tidak akan segan-segan mengembalikan manusia kepada sifat asalnya, apabila manusia meninggalkan kebijaksanaannya, yaitu tanah yang terinjak, tanah yang berada di bawah, yaitu sifat kehinaan.

Akan tetapi tidak semua yang terinjak-injak itu berindikasi hina. Tanah memang di bawah, berposisi selalu terinjak-injak. Namun pada esensinya, tanah adalah substansi atau kenyataan yang paling dibela. Pembelaan manusia akan tanahnya pada waktu-waktu tertentu melebihi segalanya. Banyak manusia rela bersimbah darah dan terbujur kaku demi membela tanahnya. Kita banyak menyaksikan percekcokan perebutan harta warisan yang berujung pada nestapa dan kematian. Lebih jauh lagi pembelaan mati-matian akan tanah adalah pembelaan kepada tanah tumpah darah kita, Indonesia. Nenek moyang kita telah mempertaruhkan segala harta benda serta raga dan jiwanya demi membebaskan sejengkal demi sejengkal tanah ini dari penjajahan. Kita menyaksikan kisah-kisah heroik, cerita-cerita kepahlawanan putra-putri bangsa ini demi tanah air ini. Dari sanalah kemunculan cinta tanah air. Artinya kita mencintai tanah ini.

Kecintaan akan tanah air seyogyanya tidak terlepas dari keberasalan manusia itu sendiri. Sebagai sesuatu yang berasal dari tanah sewajarnya pula mencintai asalnya, dan sewajarnya pula juga akan kembali kepadanya. Artinya, cinta tanah tumpah darahnya sebagai fitrah penciptaannya. Adalah sesuatu yang naif, misalkan apabila kemudian ada seseorang di mana ia dilahirkan di Indonesia, menghirup nafas di Indonesia, tumbuh berkembang di Indonesia, berkeluarga dan mencari nafkah di Indonesia namun ia merasa cinta Malaysia, atau Arab Saudi.

Pada dasarnya memang semua tanah di muka bumi ini adalah disediakan Allah s.w.t., untuk umat manusia. Karena semua tanah ini adalah milik-Nya kita merasa bebas untuk bertempat tenggal dimanapun yang kita kehendaki semampu kita. Akan tetapi kita berhadapan dengan batasan kemampuan kita. Kita tidak pernah diberikan pilihan untuk terlahir bebas di tanah yang tidak dimiliki oleh siapa pun. Kita terlahir di dalam batasan-batasan geografis, di tanah-tanah (tempat-tempat teritorial yang sudah terkapling-kapling). Itulah batas kita, itulah yang sudah ditentukan oleh yang maha kuasa.“Wahai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal, sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. Q.S Al-Hujurat, 13.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *