Pengorbanan versus Keserakahan

Jaten

JelajahPesantren.Com – Terma pengorbanan terkait erat dengan spirit Idul Adha, ini menilik kepasrahan Nabi Ibrahim untuk menjalankan perintah Allah untuk menyembelih Nabi Ismail (QS.37 : 102-107) dan diterimanya kurban Habil dibanding Qabil (QS.5 :27).

Ending dari kepasrahan Nabi Ibrahim ini adalah urungnya Nabi Ismail untuk disembelih, lantas Allah menggantinya dengan seekor hewan sembelihan (kambing), dan peristiwa ini sebagai dasar syariat kurban pada setiap hari Raya Idul Adha.

Dalam tafsir jalalain karya dua ulama klasik, yaitu Jalaluddin as Suyuti dan Jalaluddin Muhammad bin Ahmad al Mahalli diterangkan bahwa kurban dua anak Nabi Adam, Habil yang berupa domba dan Qabil berupa hasil tanaman dan Alloh memilih kurban dari Habil yang diterima. Tentu ini membuat Qabil murka dan dengki kepada Habil. “Mengapa kurbanmu diteriman sedangkan kurbanku tidak? Demikian tanya Qabil kepada Habil, “Sesungguhnya, Allah hanya menerima kurban dari orang-orang yang bertaqwa.” Demikian jawaban dari Habil.

Dua peristiwa diatas adalah ritual kurban yang pernah terjadi pada sejarah peradaban umat manusia yang termaktub dalam al Qur’an. Pada dua peristiwa ritual kurban tersebut terkait dengan hewan, ini memiliki makna bahwa mengorbankan watak-watak nafsu hewani menjadi pesan moral yang harus terinternalisasi dalam setiap individu. Selaras dengan firman Allah, “Daging (hewan kurban) dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaanmu.”  (QS. 22 : 37).

Tokoh pendiri dan pejuang republik ini jalan yang dipilih adalah pengorbanan, Soekarno konon masih mempunyai hutang 80 gulden kepada Karim Oei, Muhammad Hatta yang hidupnya bersahaja, Muhammad Natsir yang terlihat jasnya robek tatkala acara kenegaraan,KH. Agus Salim yang hidupnya sebagai “kontraktor” hidup dari satu rumah kontrakan ke rumah kontrakan lain sampai akhir hayat, Sahrir yang apa adanya, Tan Malaka yang jarang ganti pakaian dan lain sebagainya. Inilah jalan hidup pengorbanan yang mereka pilih.

Jalan pengorbanan yang dipilih pendiri dan penjuang republik ini selaras dengan spirit Idul Adha, berkuban. Mereka sukses menyembelih “nafsu hewani” yaitu keserakahan tatkala mendapatkan amanah sebagai penyelenggara negara.

Suasana kebatinan berbangsa hari ini kontradiktif dengan jalan pengorbanan yang telah ditempuh para pendiri dan pejuang republik ini, yang ada adalah keserakahan di semua sendi kehidupan.

Ekonomi maksi pada pertumbuhan, minim pada pemerataan. Roda perekonomian dikuasai rent seeker yang ditopang penuh oleh kekuatan politik. Praksis koruptif saling menyandera diantara kekuatan pilar demokrasi, partai politik. Para pihak yang mendapatkan amanah sebagai penyelenggara negera, baik di eksekutif, legislatif maupun yudikatif lebih enjoy memilih jalan keserakahan, hal ini menjadikan perilaku koruptif sebagai pilihan.

Budaya konsumerisme mejadi pilihan hidup mayoritas anak bangsa, tokoh agama sudah terkooptasi kepentingan politik, penyampai ayat terindikasi menjual ayat, para penegak hukum yang semestinya berada pada shaf terdepan dalam penegakan hukum malah tersangkut masalah hukum, keputusan hukum menjadi sesuatu yang transaksional.

Karenanya pesan moral berkurban harus didengungkan kembali, pilihannya adalah jalan pengorbanan bukan keserakahan. Karena keserakahan sendiri merupakan akar dari praksis koruptif, dan keserakahan yang merupakan “nafsu hewani” harus disembelih. Akhirnya, Wallahu A’lam bi al-Shawab.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *