Akar Historis Pemikiran Pesantren

image from: id.pinterest.com

JelajahPesantren.Com – Menurut para ahli sejarah, penyebaran Islam masa awal masuk ke Indonesia adalah dengan jalur perdagangan. Tasawuf merupakan pendekatan keagamaan yang dipakai saat itu. Di antara penyebab berkembang pesatnya Islam adalah efektifnya metode yang ditempuh para penyebar Islam saat itu, yaitu perkawinan dan pendidikan.

Para da’i tak segan menikah dengan wanita lokal sehingga secara otomatis sang istri beserta keluarganya masuk Islam. Ketika suatu daerah sudah ada pemeluk Islamnya, maka dibangunlah surau atau masjid yang dijadikan pusat penyebaran Islam dan pendidikan keagamaan, bahkan pada akhirnya menjadi “pondok pesantren” saat itu.

Seiring berjalannya waktu, Fenomena yang menarik adalah bagaimana Sunan Bonang mengubah syair Jawa dengan gendingnya menjadi gending islami, Sunan Kalijaga mengubah pewayangan dengan ceritanya yang islami, sebagai contoh senjata kalimasada (syahadad). Juga beberapa wali lain yang dengan piawainya meramu dakwah dalam bentuk yang santun melalui seni budaya, bahkan sampai sekarang ada yang terus dilestarikan sebagai warisan budaya, seperti acara sekaten di keraton Yogyakarta dan Cirebon. Dari sisi arsitektur, dapat kita lihat bentuk bangunan masjid yang mengolaburasi arsitektur cina, Hindu dan Jawa di beberapa masjid tua seperti masjid Demak, Cirebon dan lainnya.

Konsep Ud’u ila Sabili Robbika Bil Hikmati wal Mau’idzotil Hasanati betul-betul dijadikan dasar pada dakwah pada saat itu. Imbasnya, konvrontasi dengan budaya lokal betul-betul dapat diminimalisir. Yang dikedepankan bukan monolitik bahasa agama, tetapi universalitas agama yang lebih ditonjolkan. Bukan antara halal dan haram, tetapi kedudukan Islam sebagai rahmatan lil alamin yang menjadi tujuan. Alangkah indahnya drama yang ditampilkan para pejuang Islam awal di pentas dakwah negeri ini. Persaudaraan, kebersamaan, toleransi dan kesantunan dipegang kukuh dalam retorika dakwah mereka. Ironis memang, ketika langkah-langkah mereka terlupakan di masa-masa berikutnya, sehingga muncullah fundamentalisme, ekstrimisme dan radikalisme di negara ini. Hal ini disitir Gus Dur dalam syairnya (1993):

Duh bolo konco priyo wanito || ojok mong ngaji syari’at bloko || Gor pinter dongeng nulis lan moco ||  tembe burine bakal sengsoro || Akeh kang apal Quran Hadise ||  Seneng ngafirke marang liyane || Kafire dewe gak digatekke ||  yen isih kotor ati akale

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *