Korona Merebak, Ibadah Malang Kadak (3)

oleh: DR. KH. Ahmad Musta’in Syafi’ie al-Hafidz al-Hadist (Pengasuh Madrasatul Qur’an Tebuireng)

JelajahPesantren.Com –Terpaksa kami menjawab : Pertama, dalil TIDAK ke masjid berdasar testimoni Ibn Hajar dalam Badzl al-Ma’un dan Hadis tetap di rumah saat wabah dengan pahala mati syahid. Kedua, masihkah kewajiban shalat jum’ah saat sekarang ini?.

Bismillah.

Pertama, Ibn Hajar mengunggah kesaksian dirinya saat wabah melanda Damaskus dan Mesir. Penguasanya mengerahkan umat ke tanah lapang untuk doa bersama dan korban malah bertambah, termasuk puterinya sendiri. Begini :

  1. Justru unggahan Ibn Hajar itu sebuah kritik terhadap langkah mereka yang SALAH dalam menangani wabah (tha’un) melanda. Istighatsah memang usaha mulia, tapi salah terapannya. Mestinya steril dulu sesuai protokol kesehatan.
  2. Dilaksanakan di padang sahara (al-shakhra’) dan bukan di dalam masjid. Yang dijamin Rasulullah SAW hanya di dalam masjid, ahli masjid, ummar al-masjid dan steril. Dan putrinya yang meninggal, bukan beliau. Padahal wanita Arab lebih tinggal di dalam rumah, tapi kena juga. Sementara ayahnya, al-imam Ibn Hajar al-Asqallany sendiri aktif shalat berjama’ah di masjid dan istiqamah mengajar al-Hadis di masjid. Beliau sehat. Anda masih ragu, bahwa masjid melindungi warganya?
  3. Korban bertambah banyak setelah doa bersama. Apa tolok ukurnya?. Kenapa tidak berpikir dengan pola “awlawy”. Bahwa itu sudah dilakukan doa bersama, korban masih sekian banyak. Apalagi tidak. Sangat mungkin doa mereka sudah dikabulkan meski sebagian. Misalnya – semula korban, oleh Tuhan ditarget 1.000 orang. Karena doa, maka dikurangi. “Tidak ada yang mampu menangkis qadla’ kecuali doa”. Anda ragu sabda Rasulullah SAW ini ?

Kedua, arahan Rasulullah SAW :”..tetap tinggal di rumah diberi pahala syahid. Begini :

Hadis ini harus diposisikan sebagai instruksi saat wabah benar-benar posisif mengganas di sebuah daerah. Hal itu sesuai sabab al-wurud atau deskripsi masalah yang disodorkan oleh bunda A’isyah R.A. “.. tha’un telah melanda di satu daerah, mohon arahan ya Rasulallah?”. Lalu dinasehati, bahwa tha’un itu adzab, maka tetap tinggal di rumah, isolasi diri. Jangan lupa, teks al-Hadis “.. yamkuts fi al-bait, shabira muhtasiba “.

Jadi tidak sekedar tetap di rumah secara pasif, melainkan harus : “Shabira, Muhtasiba“. Shabira (bersabar), artinya seirus melakukan tindakan medis : bersih, streril, makan sehat, istirahat cukup dan lain-lain. Sedangkan Muhtasiba artinya Lillahi ta’ala, berdzikir dan pasrah total kepada-Nya. Jika antar poin dalam terma al-Hadis dikomparasikan, mana paling urgen : yamkuts fi al-bait (tinggal di rumah) atau tindakan “shabira muhtasiba“?.

Jadi, menjadikan Hadis ini sebagai dalil tidak boleh ke masjid dan tetap di rumah sungguh pemahaman prematur dan sepihak. Karena waktu itu posisi Rasulullah SAW ada di zona aman dan beliau tetap ke masjid. Rasulullah SAW menyatakan tha’un (Covid-19) sebagai adzab. Pastinya, adzab itu turun akibat dosa. Caranya menangkisnya?, ya istighfar, bertaubat dan banyak sedekah.

Jika Anda yakin ini, kenapa saat adzab melanda justeru anda malah menjauhi masjid?. Tidak percayakah Anda, bahwa Allah SWT tidak akan mengadzab suatu kaum jika Rasulullah SAW ada di situ “..wa anta fihim” ?.

Tidak percayakah Anda bahwa Allah tidak akan mengadzab suatu kaum jika mereka aktif beristighfar “..wa hum mustaghfirun“? (al-Anfal:33).

Rasulullah SAW memang sudah wafat, tapi ada syariahnya dan ada pula bershalawat kepadanya, itulah gantinya. Maka, banyak-banyak beristighfar dan bershalawat di masjid adalah usaha mempercepat pemberantasan korona.

Kemana Habib-habib yang menyatakan diri sebagai pecinta Rasulullah SAW dan hobi show shalawatan dan konser ke mana-mana?. Inilah saatnya berkhusyu’-khusyu’ melobi Rasulullah SAW bersama kru dan umat di dalam masjid, merayu dan mengunduh syafa’atnya. Masih percaya syafaat?.

Bisa jadi corona ini menegur gaya antum bershalawat. Jangan menjual nyanyian atas nama shalawat, karena Rasulullah SAW pasti tidak akan hadir di majlis anda, meskipun dekorasi di panggung anda bertuliskan ” Indonesia Bershalawat. Kemana pula para kiai yang akas beristighatsah politik?. Saat ini umat sangat membutuhkan istighatsah antum di dalam masjid.

“Masjid” adalah Karantia Terbaik Bagi Umat Islam.

Memenuhi kewajiban akedemik, penulis memilih cara al-Jam’ dalam menyikapi satu masalah dengan dua dalil kontradiktif. Yakni mengkompromikan dan memakai keduanya secara proporsional sesuai situasi dan kondisi. Itulah yang terbaik menurut disiplin Ushul al-Fiqh, meski ada juga cara Naskh dengan mendisfungsikan salah satunya. Bagi penulis, inilah saatnya mengaplikasikan ushul al-fiqh lebih bermanfaat dalam kehidupan nyata, bukan sekedar khazanah pustaka. Jadi, Bagi yang Memenuhi Syarat Kesehatan: Sehat, Bersih, Aman dan Yain, Maka “Wajib” ke Masjid.

Kewajiban pengurus Takmir/ Imarah masjid adalah memakmurkan masjid sebisa mungkin, bukan menutupnya. Kerja samalah dengan pemerintah, keluarkan uang kas masjid untuk kesehatan dan kemaslahatan jamaah, demi bisa beribadah di dalam masjid. Sungguh tidak ada dosa zalim melebihi orang yang menghalangi masjid untuk beribadah, (al-baqarah:114).

Maka mohon Pemerintah tidak radikal menutup masjid. Mohon disadari, mohon dilihat secara jujur, bahwa masih sangat banyak kaum muslimin negeri ini yang sehat wal afiat. Masih banyak sekali zona hijau, maka jangan dimerah-merahkan. Berpikirlah positif kepada Tuhan, maka Tuhan akan bersikap positif kepada tuan. Tapi jika penguasa ngeyel dan bersikeras menutup masjid, maka patuhilah.

Sampai 1 April 2020, masjid a-Haram Makkah masih menyelenggarakan shalat shubuh berjamaah, meski makmumnya sedikit. Imamnya membaca surah al-ma’arij khusyu’ sekali. Begitu juga di beberapa masjid dunia, aktif melaksanakan qunut nazilah berjamaah. Kita.. . .?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *