Menelusuri Penyebab Kebermanfataan Ilmunya Santri

JelajahPesantren.Com  –  Hari ini, banyak orang memiliki ilmu yang bukan saja tidak barokah, namun juga banyak yang ilmunya mubadzir (KH. Hasyim Muzadi).

image from: id.pinterest.com

Di tengah “risaunya” dunia pendidikan saat ini akibat tingginya angka pengangguran sarjana pasca mereka menyelesaikan studi di lembaga perguruan tinggi, ada baiknya jika kita mencoba menengok pola lulusan yang dihasilkan dari pendidikan model pesantren. Sebagaimana diketahui dari data Badan Statistik Indonesia bahwa angka pengangguran pada bulan Februari 2014 adalah sebesar 5.70 % dan justru meningkat setelah satu tahun yaitu Februari 2015 adalah sebesar 5.81%.

Berdasarkan dari sumber data yang sama, pada bulan Februari 2015, penduduk bekerja masih didominasi para lulusan SD ke bawah, yang mencapai hingga 45.11 %. Sedangkan penduduk bekerja dengan pendidikan sarjana hanya sebesar 8.2%.

Dari kenyataan itu, kita semua tentunya wajib merasa terpanggil untuk setidaknya ikut berpikir bagaimana menyelesaikan masalah tersebut. Mencermati data ini, saya menjadi ingat teman-teman yang dulunya nyantri di pesantren, sekarang sudah banyak yang berkiprah dalam berbagai bidang. Mereka umumnya bekerja apa saja. Umumnya mereka memiliki prinsip: bekerja apa saja ok, yang penting halal.

Setelah lulus dari pesantren, para santri itu ada yang bekerja sebagai pedagang, petani, buruh, politikus,  pegawai, dan berbagai sektor lainnya. Mereka tidak malu bekerja apa pun bahkan yang dipandang oleh sebagian orang sebagai pekerjaan remeh sekalipun. Hal ini, lagi-lagi berbeda dengan banyak lulusan perguruan tinggi yang terkesan pilih-pilih pekerjaan.

Para penyandang gelar bergengsi itu banyak yang menganggur antara lain karena pada umumnya mereka  bukan sungguh-sungguh mencari pekerjaan tapi mencari uang. Buktinya, saat dihadapkan kepada mereka suatu pekerjaan yang uangnya tidak sesuai dengan yang mereka harapkan, maka mereka pun meninggalkan pekerjaan tersebut. Padahal, uang hakikatnya hanyalah konsekuensi dari suatu pekerjaan. Semakin bagus dan semakin besar suatu pekerjaan, maka uang yang didapat pun oleh orang yang melakukannya juga akan semakin besar. Karena itu, banyak kalangan yang secara ekstrim mengatakan bahwa para sarjana yang tidak bekerja itu sebagai pengangguran intelektual.

Ada hal yang menarik yang umumnya ada pada diri setiap santri itu, yaitu: mereka sangat mengingat dan  memegang teguh apa yang dipesankan oleh kiainya. Sehingga mereka banyak mendapatkan tempat dihati masyarakat. Ikatan santri dengan pesantren atau dengan kiai pun hingga mencapai level ikatan emosional yang mendalam sehingga walaupun telah lama keluar dari pesantren, para santri biasanya masih selalu mendatangi guru atau kiainya. Hal ini, tentunya jarang terjadi di perguruan tinggi dan sistem persekolahan di luar pesantren. Umumnya, para siswa atau mahasiswa yang telah lulus,  hampir tidak pernah lagi ke sekolah atau kampusnya kecuali untuk kegiatan reuni yang itu pun sarat dengan nuansa formalitas.

Barangkali Anda sering mendengar seorang mubaligh berkata bahwa dulunya saat di pesantren,  yang bersangkutan sangat nakal. Dia sering dihukum oleh para pengurus bahkan oleh kiai secara langsung. Namun kenapa setelah menjadi alumni mereka mendapatkan tempat yang terhormat di masyarakat? Jawaban dari pertanyaan inilah yang saya maksudkan dengan kebermanfaatan dan keberkahan ilmu.

Di pesantren, walaupun para santri tampak nakal dan sering melanggar peraturan pondok, mereka umumnya sangat takut kepada kiainya. Mereka sangat hormat kepada kiai dan  para ustadz. Mereka melakukan pelanggaran dengan sembunyi-sembunyi. Dihati mereka sangat khawatir kalau-kalau apa yang mereka lakukan diketahui oleh pimpinan pesantren.

Ditinjau dari segi jenis pelanggarannya,  umumnya mereka melakukan segala hal yang sebenarnya dalam pandangan masyarakat umum di luar pesantren bisa jadi dianggap biasa sedangkan di lingkungan pesantren dikategorikan pelanggaran. Seperti, menonton film, membawa atau menggunakan HP, atau media elektronik lainnya,  berpacaran, pergi keluar pondok menonton pertunjukan konser, dan seterusnya. Semua aktivitas tersebut di dunia pesantren sudah dikategorikan melanggar. Bahkan termasuk pelanggaran yang cukup berat.

Umumnya para santri itu begitu segan bahkan takut pada Kiainya. Mereka dengan ikhlas menerima setiap hukuman akibat tindakan pelanggaran. Para santri yang “nakal” sekalipun ,  tetap sangat ta’dzim pada gurunya. Hal ini tampak berbeda dengan pelanggaran yang terjadi pada sekolah-sekolah umum.  Ketika seorang siswa atau mahasiswa yang melanggar  dikenai hukuman, malah tertanam kebencian dan dendam pada guru atau dosennya. Bahkan tidak jarang seorang siswa dikabarkan mengancam guru dengan senjata tajam. Melaporkan guru ke polisi. Dan ada pula sekelompok mahasiswa yang mendemo dosen-dosen mereka.

Dalam teori suggestopedia disebutkan bahwa  tanpa penghormatan, maka informasi yang di sampaikan seseorang tidak akan bersifat permanen. Inilah yang menjadi akar dari kebermanfaatan ilmu. Menyimak esensi dari teori ini, kita bisa menyimpulkan bahwa menghormati guru-guru kita adalah bukan untuk kepentingan mereka namun untuk keuntungan kita sendiri. Tidak bisa dipungkiri juga ada beberapa alumni pesantren yang ilmunya tidak bermanfaat dan tidak berkembang. Hal ini sangat bisa jadi dikarenakan mereka kurang ta’dzim pada pengasuh atau ustadz-ustadzahnya.

Pendidikan di pesantren yang dikedepankan adalah masalah akhlak. Sehingga sebagaimana yang dikemukakan oleh Prof. Imam Suprayogo dalam sebuah artikelnya bahwa ukuran keberhasilan pendidikan pesantren bukan sebagaimana pendidikan di luar pesantren yang berupa nilai yang tinggi, dan prestasi akademik. Ukuran yang bisa digunakan sebagai barometer keberhasilan dipesantren adalah kepatuhan, ketawadhu’an, dan keikhlasan beramal. Jika dicermati ukuran-ukuran tersebut lebih didominasi masalah penataan hati. Ukurannya adalah akhlak atau dalam bahasa sekarang diistilahkan dengan karakter.

Satu lagi hal yang sangat penting yang menjadi faktor kebermanfaatan serta keberkahan ilmu para santri yaitu doa dari para masayikh atau para kiai, ibu nyai, ustadz dan ustadzahnya. Mereka rela mengurangi jatah tidur dimalam hari dan berpuasa disiang hari untuk mentirakati dan mendoakan para santrinya. Hal inilah yang mungkin perlu ditingkatkan di kalangan pendidikan di luar pesantren. Ya. Faktor doa dari para pendidiknya.

Ranah pendidikan yang dikembangkan di luar pesantren biasa kita sebut dengan aspek kognitif ( pengetahuan ), psikomotorik ( keterampilan ), dan afektif ( sikap ). Pada praktiknya, dibanyak sekolah, wilayah kognitif dan psikomotoriklah yang lebih banyak ditekankan. Jika hal ini dibiarkan, maka pendidikan akan kehilangan ruhnya. Karena jiwa pendidikan adalah perubahan perilaku. Jika ilmu dan keterampilan didapat namun ahlaq tidak ditumbuh suburkan maka pendidikan akan menuju kepada kehancuran.

Sebagai penutup, izinkan saya mengemukakan pendapat dari Hujjatul Islam Imam Al Ghazali mengenai keutamaan akhlak dan ilmu. Beliau mengatakan bahwa keduanya adalah ibarat masakan soup. Ilmu bagaikan garam, sedangkan akhlak seperti kuahnya. Yang pasti, suatu masakan sup harus lebih banyak kuah dibanding garamnya. Jika sebaliknya, maka sup itu tidak akan bisa dikonsumsi. Alias mubadzir. Wallahua’alam bisshawab

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *