Peran Kiai dan Fase Peradaban Manusia

JelajahPesantren.Com  –  Terma kiai sangat lah akrab dalam  kehidupan bermasyarakat, terkhusus di dunia pesantren, hal ini tidaklah berlebihan karena peran kiai dalam masyarakat sangat lah sentral. Terminologi kiai dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) ada 6 arti. Adalah: 1) sebutan bagi alim ulama, 2) alim ulama; 3) sebutan bagi guru ilmu gaib; 4) kepala distrik; 5) sebutan yang mengawali benda yang dianggap bertuah; dan 6) sebutan samaran untuk harimau (jika orang melewati hutan). Dalam konteks tulisan ini kiai yang dimaksud adalah sebagai sebutan bagi alim ulama, yang secara spesifik dalam masyarakat pesantren merupakan pendiri dan atau pembina pesantren.

Image From: lirboyo.net

Lebih lanjut, terma kiai berasal dari bahasa sansekerta yaitu “kai” yang bermakna guru pakar rohani keagamaan yang mempunyai spiritualitas kedekatan dengan Sang Pencipta Gusti Kang Akaryo Jagad. Terma  kiai bisa juga diambil dari bahasa arab yaitu “kaki” yang kedudukannya sama dengan “syech” yang artinya dituakan atau sepuh kadar keilmuan dan ketakwaannya.

Alkisah, orang yang memiliki kelebihan di bidang ritual keagamaan pada masa kerajaan Hindu, dipanggil “kai”. Sedangkan sang murid dipanggil “sahasti”. Ketika agama Islam masuk ke tanah Jawa maka para murid yang belajar kepada Kanjeng Sunan (aulia) disebut “santri”.  Lantas pada zaman kerajaan Majapahit jaya masa Prabu Hayam Wuruk gelar kiai hanya dipakai guru-guru agama Hindu. Sedangkan guru agama Islam bergelar Syech, seperti guru spiritual Prabu Jaya Baya, yaitu Syech Maulana Syamsu Zein (Al-Iqtishod Ed. 10, 2009).

Setelah kejayaan Raden Patah dengan kerajaan Demak nya surut, pulung keraton beralih ke Pajang, Sultan Hadi Wijoyo atau Mas Karebet. Gelar  Kiai sebagai sebutan guru yang berdakwah agama Islam dan gelar Ki bagi penganut kejawen (kasepujan) atau pemimpin wilayah seperti Ki Ageng Pengging (ayahanda Joko Tingkir), Ki Ageng Sela, Ki Ageng Pemanahan dan sebagainya.

Siklus historis, dari  kerajaan Hindu, Mataram Kuno, Kejayaan Majapahit,  Demak, Kesultanan Mataram, Pergerakan Kemerdekaan sampai masa kemerdekaan saat ini.  Gelar dan peran kiai menjadi tokoh karismatik, sentralistik dan berpengaruh bagi masyarakat tidak terbantahkan.  Peran, kewibawaan dan derajatnya ditinggikan. Masyarakat umum dan raja-raja Jawa sowan dan belajar kepada kiai. Singkat kata kiai menjadi bagian problem solver dari kalangan akar rumput sampai kelompok elit masyarakat. Pada jaman pergerakan kemerdekaan, sosok kiai yang sembunyi-sembunyi dan atau terang-terangan menentang kolonialisme. Tentunya pihak penjajah tidak suka akan relasi kiai dengan masyarakat tersebut. Dinilai membahayakan eksisitensi kaum penjajah. Karenanya, gelar kiai dimetamorfosiskan dengan pemberian gelar kiai pada benda-benda pusaka dan hewan. Misal, ada kiai pleret (tumbak pusaka peninggalann Sutowijoyo), kiai slamet (nama kerbau). Dalam kamus KBBI arti kata kiai bisa menjadi — sebutan bagi guru ilmu gaib, sebutan yang mengawali benda yang dianggap bertuah – masih termaktub. Hal ini merupakan bagian dari usaha licik penjajah untuk mengaburkan peran kiai dan termasuk dalam kategori menjatuhkan wibawa kiai. Tapi usaha itu, sia-sia belaka. Alhamdulillah. Sampai sekarang peran dan wibawa kiai masih terjaga.

Teori siklus Ibnu Khaldun (1332-1406) – seorang pemikir dan sosiolog Islam – mengatakan bahwa peradaban manusia berkembang dalam lima fase. Fase pertama, nomaden, yang kemudian menghancurkan seluruh penentangnya dan mendirikan kerajaan baru. Kedua, fase konsolidasi kekuatan dengan tujuan memperkokoh pengendalian atas kawasan yang baru dikuasai. Ketiga, fase kesenangan dan kesentosaan, yang ditandai dengan kemewahan material dan kebudayaan lainnya. Keempat, fase kedamaian berlanjut sehingga menjadi tradisi baru. Dan kelima, adalah fase kehancuran, yang dimulai dari hura-hura, pemborosan, dan kehilangan simpatik.

Menilik dari fase perkembangan peradaban manusia dari pemikir dan sosiolog Islam di atas, yang menarik adalah mencermati kehidupan kiai dan keluarga serta eksistensi pesantren yang nota bene wadah perjuangan intinya. Secara umum kehidupan kiai dan generasi penerus serta eksistensi pesantrennya semakin terkonsolidasi dan kokoh peranannya, pun kehidupan kesehariannya tetap bersahaja, sederhana. Semangat berbagi dan berekonomi solidaritas terhadap masyarakat sekitar pondok. Kewibawaan personal dan institusional pesantren terjaga karena kehidupan kiai dan generasi penerusnya jauh dari kemewahan material dan budaya hedonisme. Tiyang ndalem pesantren kekuatannya terkonsolidatif akan tujuan mulia pesantren mencetak generasi-generasi qurani yang unggul pikir, zikir, tutur dan laku.

Ada, namun tidak banyak. Generasi penerus (garis keturunan) kiai terperosok ke fase ketiga, keempat dan kelima. Syahdan, lunturnya kewibawaan personal kiai penerus dan institusional  pesantren. Yang kerap terjadi dikarenakan bukan karena memudarnya keilmuan tetapi karena terbawa arus politik lokal dan nasional. Juga karena kehidupan sehari-hari yang hedonis, konsumtif serta kepekaan solidaritas ekonomi kepada masyarakat sekitar pondok yang sudah menipis. Karena arus politik tersebut, syahwat berpolitik kiai dominan sehingga terkotak dalam kepentingan kelompok politik tertentu yang tentunya tidak bisa leluasa masuk ke kelompok politik lainnya. Terjerat logika politik praktis yang transaksional.  Ini bukan berarti kiai dan keluarga tidak diperkenankan berpolitik praktis, tapi lebih bagaimana tidak terbawa arus politik. Jadi harus memberi warna politik yang terang benderang, politik keumatan yang mengedepankan kepentingan umat dibandingkan kelompok elit politik. Pun perlunya peneguhan dalam kehidupan berekonomi yang solidaritatif  ajaran kiai-kiai sepuh. Salam sungkem kiai.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *