Peran Ilmu Pengetahuan dalam Keberagamaan

Peran Ilmu Pengetahuan dalam Keberagamaan terhadap Identitas Individu dan Gerakan Kelompok Islam

JelajahPesantren.Com – Dalam konteks kehidupan manusia, terdapat beberapa aspek yang dianggap penting dalam membentuk identitas dan memberikan kontribusi terhadap masyarakat. Salah satunya adalah dimensi agama dan ilmu pengetahuan. Sebagai makhluk yang berintelektual, manusia memiliki beberapa tanggung jawab dalam kehidupan ini. Al-Quran dan Hadits, sebagai dua sumber hukum utama dalam Islam, menjelaskan secara rinci tentang peran dan fungsi manusia. Menurut Islam, manusia memiliki tanggung jawab untuk beribadah (QS. Adz-Dzariyaat: 56), bekerja (QS. Al-Qashash: 77), berilmu (QS. Thaahaa: 114), dan berkelakuan baik (QS. An-Nahl: 90). Selain itu, manusia juga memiliki tanggung jawab untuk menjadi bagian dari masyarakat dan berkontribusi pada perkembangannya.

Dalam Islam, terdapat pandangan bahwa umat Muslim memiliki pilihan untuk terlibat dalam gerakan-gerakan kelompok yang berbeda. Beberapa di antaranya adalah menjadi bagian dari gerakan Pan Islam, memperdalam pemahaman tauhid, mengikuti kelompok mujtahid tertentu, atau memiliki kemampuan membaca situasi dan kondisi sekitar yang membuat mereka dianggap sebagai “penyaksi zaman”. Dengan demikian, terdapat dua tingkatan manusia, yaitu individu yang menjalani kehidupan rutin biasa-biasa saja dan mereka yang terlibat dalam gerakan organisasi, partai politik, atau jam’iyah.

Sebagai contoh, dalam masyarakat pedesaan, seorang individu yang beribadah di waktu sahur juga mungkin memiliki praktik-praktik animisme, seperti membakar kemenyan di bawah pohon beringin, yang berhubungan dengan profesinya sebagai dukun yang mengobati orang sakit. Dalam hal ini, individu tersebut menjalankan agamanya yang berkaitan dengan kepercayaan dan profesinya. Hal ini menunjukkan adanya kecenderungan pada manusia untuk berdoa dan bekerja secara bersamaan.

Peran Ilmu Pengetahuan dalam Keberagamaan
Peran Ilmu Pengetahuan dalam Keberagamaan

Namun, penting untuk diakui bahwa doa dan usaha tersebut didasarkan pada pengetahuan yang mungkin tidak memiliki dasar ilmiah yang valid (pseudo-science), melainkan mitos, mantera, atau mistik. Dalam berinteraksi dengan orang lain, individu ini menerapkan etika berdasarkan pemahaman yang sederhana. Oleh karena itu, perlu diingat bahwa orang-orang dengan keyakinan yang berbeda juga memiliki agama mereka sendiri, dan sikap saling menghormati dan saling memahami adalah penting, sebagaimana disebutkan dalam prinsip “Bagimu agamamu, dan bagiku agamaku” (QS. Al-Kaafiruun: 6).

Dari contoh tersebut, perhatian terhadap aspek ilmu dalam kehidupan seseorang menjadi sangat relevan. Seorang Muslim tidak hanya diakui sebagai Muslim berdasarkan klaim semata, tetapi juga berdasarkan kriteria-kriteria yang diungkapkan oleh Nabi Muhammad SAW dalam beberapa Hadits,  seperti: (1) ‘alim (berilmu), “Barangsiapa yang Allah inginkan kebaikan untuknya, maka Allah akan memahamkannya dalam urusan agama” (HR. Bukhari), (2) ‘amalam bil ‘ilmi (mengamalkan ilmunya), “Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya” (HR. Muslim), (3) zahidan (tidak terikat oleh dunia), “Dunia ini indah dan hijau, dan sesungguhnya Allah menjadikan kamu sebagai khalifah di dalamnya, dan akan melihat bagaimana perbuatanmu” (HR. Muslim), (4) wari’an (bertakwa), “Yang paling banyak mengingat mati, kemudian yang paling baik dalam mempersiapkan kematian tersebut, itulah orang yang paling cerdas” (HR. Ibn Majah), (5) mutawazdi’an (memiliki keseimbangan dalam hidup), “Sesungguhnya agama (Islam) mudah, tidak ada seorang pun yang hendak menyusahkan agama (Islam) kecuali ia akan kalah. Maka bersikap luruslah, mendekatlah, berbahagialah dan manfaatkanlah waktu pagi, sore dan ketika sebagian malam tiba.” (HR. Bukhari), dan (6) ‘arofa bi nafs, “Barangsiapa yang mengenal dirinya maka ia akan mengenal Tuhannya” (catatan: menurut ahli hadits, ini bukan hadits, tetapi memiliki makna yang dalam). Ini menunjukkan bahwa menjadi seorang muslim tidak hanya sekadar mengaku atau bersaksi (يشهد), tetapi juga mengaplikasikan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari.

Ilmu pengetahuan memiliki peran penting dalam membentuk identitas manusia dan mendorong partisipasi dalam gerakan kelompok. Sebagai individu, setiap orang memiliki tanggung jawab untuk mengembangkan pemahaman yang lebih dalam tentang agama dan pengetahuan. Selain itu, penting untuk menghargai perbedaan keyakinan dan sikap saling menghormati. Dengan demikian, seseorang tidak hanya mengklaim sebagai Muslim, tetapi juga menunjukkan keilmuan dan keberagamaan yang bermakna dalam kehidupan sehari-hari.

Gerakan Pan Islam

Pan Islam adalah konsep politik dan ideologi yang menganjurkan persatuan politik dan spiritual seluruh umat Muslim di seluruh dunia. Istilah “Pan Islam” berasal dari kata “Pan” yang berarti seluruh atau universal, dan “Islam” yang merujuk pada agama Islam. Konsep ini menekankan persatuan umat Muslim di atas perbedaan etnis, suku, negara, atau golongan politik.

Penganut konsep Pan Islam percaya bahwa umat Muslim seharusnya bersatu dalam satu negara Islam yang meliputi seluruh wilayah dunia. Mereka berpendapat bahwa persatuan ini akan menguatkan posisi umat Muslim dan mempromosikan keadilan, stabilitas, dan kemakmuran dalam masyarakat Muslim secara global.

Ide Pan Islam telah muncul sepanjang sejarah Islam, tetapi mendapatkan popularitas terutama pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 sebagai reaksi terhadap penjajahan dan kolonialisme Eropa di dunia Muslim. Pemikir-pemikir seperti Jamal al-Din al-Afghani dan Muhammad Abduh menjadi tokoh utama dalam mempopulerkan gagasan ini.

Namun, penting untuk dicatat bahwa konsep Pan Islam tidak dipegang secara seragam oleh seluruh umat Muslim. Terdapat beragam pandangan dan interpretasi terkait dengan konsep ini. Beberapa orang melihatnya sebagai wacana politik untuk mencapai kemerdekaan dan keadilan, sementara yang lain menganggapnya sebagai ideologi yang lebih radikal atau ekstremis.

Perlu diperhatikan bahwa opini dan pandangan mengenai Pan Islam dapat bervariasi tergantung pada latar belakang budaya, politik, dan agama individu yang mengemukakan atau mempelajari konsep ini.

Pemikiran Jamal al-Din al-Afghani

Jamal al-Din al-Afghani (1838-1897) adalah seorang intelektual, pemikir, dan aktivis politik yang dikenal sebagai salah satu tokoh penting dalam gerakan pembaruan Islam pada akhir abad ke-19. Dia dianggap sebagai bapak pemikiran modernis Islam dan dihormati karena sumbangsihnya terhadap pergerakan intelektual dan politik di dunia Muslim.

Al-Afghani lahir di Iran dan menghabiskan sebagian besar hidupnya dalam perjalanan di berbagai negara di Timur Tengah dan Eropa. Ia memiliki pengetahuan yang luas dalam bidang filsafat, sejarah, politik, dan agama. Pemikirannya dipengaruhi oleh berbagai aliran pemikiran, termasuk Sufisme, Nasionalisme, dan modernisme Barat.

Salah satu pemikiran sentral al-Afghani adalah tentang pentingnya pembaruan dalam Islam untuk mengatasi ketertinggalan dunia Muslim dalam bidang politik, sosial, dan intelektual. Ia mengkritik penjajahan Eropa terhadap dunia Muslim dan mengajukan argumen bahwa umat Islam harus mengembangkan kekuatan intelektual, ilmiah, dan politik mereka sendiri untuk menghadapi tantangan modernitas.

Al-Afghani memperjuangkan konsep Persatuan Islam (Pan Islam) sebagai cara untuk mengatasi perpecahan dan konflik dalam umat Muslim. Ia menyebutkan pentingnya persatuan umat Muslim di bawah bendera Islam sebagai cara untuk mengembalikan kejayaan dan kemuliaan kepada masyarakat Muslim.

Selain itu, al-Afghani mempromosikan gagasan tentang pengetahuan dan pendidikan sebagai kunci untuk membangkitkan kembali kejayaan umat Islam. Ia mengedepankan pendekatan rasional dan ilmiah dalam memahami ajaran agama dan menekankan perlunya membuka pikiran dan menerima kontribusi ilmu pengetahuan dari luar tradisi Islam.

Pemikiran al-Afghani juga mempengaruhi gerakan politik di dunia Muslim. Ia menginspirasi dan mendukung gerakan nasionalis di Mesir, Turki, dan India, dan dianggap sebagai salah satu tokoh terpenting dalam gerakan kebangkitan nasional di dunia Muslim.

Meskipun pemikirannya mendapat banyak pengikut dan pengaruh, pemikiran al-Afghani juga kontroversial dan diperdebatkan. Beberapa menganggapnya sebagai reformis yang progresif, sementara yang lain menuduhnya sebagai manipulator politik yang tidak konsisten. Namun, tak dapat disangkal bahwa al-Afghani telah meninggalkan warisan yang signifikan dalam pemikiran modernis Islam dan mempengaruhi perkembangan intelektual dan politik di dunia Muslim.

Pemikiran Muhammad Abduh

Muhammad Abduh (1849-1905) adalah seorang cendekiawan, pemikir, dan tokoh reformis Islam yang memainkan peran penting dalam gerakan pembaruan Islam di abad ke-19 dan awal abad ke-20. Ia dianggap sebagai salah satu intelektual terkemuka dalam sejarah modernisasi dan revitalisasi pemikiran Islam.

Abduh lahir di Mesir dan dididik dalam tradisi keilmuan Islam yang konservatif. Namun, ia kemudian mengembangkan pemikiran yang progresif dan menekankan pentingnya menghadapi tantangan modernitas dengan cara yang sejalan dengan nilai-nilai Islam. Pemikirannya didasarkan pada prinsip-prinsip ijtihad, yaitu upaya interpretasi kembali ajaran Islam untuk mengakomodasi perubahan zaman.

Salah satu kontribusi terpenting Abduh adalah pemikirannya tentang hubungan antara agama dan ilmu pengetahuan. Ia berpendapat bahwa Islam dan ilmu pengetahuan bukanlah hal yang bertentangan, melainkan saling melengkapi. Abduh mendorong umat Islam untuk menerima ilmu pengetahuan modern, termasuk ilmu pengetahuan alam, sains sosial, dan pemikiran filosofis. Ia menekankan pentingnya pendidikan dan pengembangan intelektual dalam rangka memajukan masyarakat Muslim.

Abduh juga memperjuangkan gagasan kesetaraan dan keadilan sosial dalam Islam. Ia menolak diskriminasi, ketidakadilan, dan penindasan dalam masyarakat Muslim, serta mengadvokasi perlunya memahami ajaran Islam yang lebih inklusif dan manusiawi. Ia mendukung hak-hak perempuan dan menekankan perlunya menghormati kebebasan individu dalam kerangka nilai-nilai Islam.

Selain itu, Abduh juga memperjuangkan prinsip-prinsip demokrasi dalam konteks Islam. Ia berpendapat bahwa sistem politik yang adil dan berkeadilan adalah sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Abduh mendukung partisipasi publik, keterbukaan, dan akuntabilitas dalam pemerintahan, serta menentang tirani dan otoritarianisme.

Pemikiran Abduh memiliki pengaruh yang luas dan menginspirasi gerakan reformis dan modernis di dunia Muslim. Ia adalah salah satu pendiri gerakan Salafi yang menekankan pada kembali ke sumber-sumber asli Islam, yaitu Al-Quran dan Hadits, dengan interpretasi yang kontekstual dan relevan untuk zaman modern.

Namun, pemikiran Abduh juga kontroversial dan menjadi subjek debat di kalangan Muslim. Beberapa kritik menganggap bahwa ia terlalu progresif dan cenderung mengekspose Islam pada pengaruh Barat. Sementara itu, yang lain menghargai upayanya untuk membangun jembatan antara Islam dan modernitas serta memperbarui pemahaman agama.

Pemikiran Muhammad Abduh mencerminkan semangat reformasi, penyesuaian dengan zaman, dan relevansi Islam dalam menghadapi perubahan sosial dan intelektual. Ia memberikan kontribusi penting dalam pergerakan pembaruan Islam dan membuka jalan bagi pemikiran yang lebih inklusif, ilmiah, dan berkeadilan dalam tradisi Islam.

Kesimpulan

Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa ilmu pengetahuan memiliki peran yang sangat signifikan dalam membentuk identitas individu dan gerakan kelompok manusia. Dalam konteks keagamaan, ilmu memberikan dasar bagi individu untuk memahami dan mempraktikkan ajaran agama mereka, serta mempengaruhi partisipasi mereka dalam berbagai gerakan kelompok, seperti yang terlihat dalam gerakan Pan Islam. Namun, sementara ilmu pengetahuan dapat memfasilitasi pemahaman yang lebih mendalam tentang agama dan membantu membentuk identitas pribadi dan kolektif, juga penting untuk diakui bahwa keberagamaan dan pengetahuan dapat berinteraksi dengan cara yang kompleks dan kadang-kadang kontradiktif.

Pemikiran para tokoh seperti Jamal al-Din al-Afghani dan Muhammad Abduh menunjukkan bagaimana ilmu pengetahuan dapat digunakan untuk memahami dan memformulasikan gagasan tentang identitas dan gerakan kelompok. Mereka memanfaatkan ilmu pengetahuan sebagai alat untuk mereformasi pemikiran dan praktek dalam komunitas Muslim, menekankan pada pentingnya pendidikan, pengetahuan, dan interpretasi yang kritis dan reflektif terhadap ajaran agama. Selain itu, pemikiran mereka juga mencerminkan kebutuhan untuk memperhatikan hubungan antara agama, ilmu pengetahuan, dan isu-isu sosial dan politik kontemporer. Dengan demikian, mereka menegaskan peran penting ilmu pengetahuan dalam membentuk identitas dan gerakan kelompok manusia dalam konteks global yang berubah-ubah dan kompleks.

—–

Kutipan ayat-ayat Al-Quran:

(QS. Adz-Dzariyaat: 56): “dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.”

(QS. Al-Qashash: 77): “dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”

(QS. Thaahaa: 114): “Maka Maha Tinggi Allah raja yang sebenar-benarnya, dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca Al-Quran sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu, dan Katakanlah: “Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan.””

QS. An-Nahl: 90): “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *