Image from pngwing.com

Titik Tuju Lelaku Puasa dan Makna Ketupat sebagai Laku Papat

JelajahPesantren.Com – Titik tuju lelaku puasa adalah laa’allakum tattaqun. Sebagaimana legal standing diperintahkannya puasa, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kalian bertakwa.” (Q.S.  al-Baqarah [2]: 183).

Image from pngwing.com
Image from pngwing.com

laa’allakum tattaqun dalam ayat tersebut menggunakan fi’il mudari’ (jenis verba masa sekarang). Menurut Mushaf al-Quran Tadabbur Maiyah Padhangmbulan, hal ini menunjukkan adanya legasi bahwa takwa adalah sebuah proses yang terus-menerus.

Arti takwa (dari Bahasa Arab ittaqa-yattaqi) adalah berhati-hati, awas, waspada, atau menjaga diri dari suatu bahaya. Arti ini tentunya tidaklah tunggal, namun dalam kontekstual titik tuju lelaku puasa, arti ini sengaja dipilih.

Dalam sebuah Riwayat disebutkan, ketika ditanya oleh Umar bin Khatab ra. ihwal arti takwa, Ibnu Mas’ud balik bertanya, “Apa yang kamu lakukan ketika berjalan di tengah hutan?” Sahabat Umar ra. menjawab, “Aku harus awas dan waspada. Berhati-hati agar tidak terkena onak dan duri dan waspada dengan tanaman-tanaman beracun.” Ibnu Mas’ud berkata, “Itulah takwa.”

Karenanya, lelaku puasa (Ramadan) yang menjadi rukun Islam keempat mengajarkan pada sebuah proses untuk berhati-hati, waspada dan mawas diri, serta mengasah kepekaan.

Ini senada dengan arti puasa dalam Bahasa arab, shaum atau shiam, berasal dari kata shaamu, yashuumu dan shauman wa shiyaaman. Adalah menahan.

Titik tuju lelaku puasa membawa harapan manusia menjadi lebih waspada dan peka. Pertama waspada dan peka terhadap kesalahan yang dilakukan. Dan Kedua waspada dan peka terhadap anugerah dan kemurahan Allah swt. yang telah diterima. Harapan ini mengandung dua dimensi. Dimensi hablum minallah dan hablum minnnas.

Terasahnya kewaspadaan dan kepekaan dengan lelaku puasa dapat mendekatkan diri kepada Allah, memperkuatkan relasional makhluk dan al-khalik sebagai hamba Allah. Dan mendekatkan diri kepada sesama manusia, memperat tali silaturrahim sebagai ikhtiar meningkatkan kompetensi sebagai makhluk sosial, humans as social being.

Pepatah Arab yang masyhur mengatakan, “Al-insaanu mahallu al-khatha’ wa al-nisyaan” (Manusia itu tempatnya salah dan lupa). Pepatah ini memberi isyarat yang kuat sesungguhnya tak ada satu pun manusia luput dari kesalahan atau tak pernah berbuat dosa. Takwa sebagai titik tuju lelaku puasa juga sebagai sebuah proses. Dalam proses tersebut diharapkan membangun kepekaan dan kewaspadaan atas kesalahan dan dosa yang diperbuat.

Kepekaan dan kewaspadaan atas kesalahan mendorong untuk sesegera mungkin melakukan tindakan lanjutan.

Tindakan lanjutan atas kesalahan dan dosa yang diperbuat. Jika kaitan kesalahan dengan Allah swt., maka beristighfar.  Firman Allah Ta’alaa, “Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubatlah kepada-Nya, niscaya Dia akan memberikan kenikmatan yang baik (terus-menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberi kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya.” (Q.S. Hud [11]: 3).

Sehingga kalimat istighfar, Astagfirullahal ‘Adzim sebagai pengalaman religius yang melibatkan permohonan ampunan kepada Allah swt. dan pertolonganNya agar tidak berbuat dosa lagi. Dengan kata lain, pengakuan dosa dengan kalimat yang terucap secara lisan dan merasuk hati serta diiringi dengan perbuatan (penyesalan dan tidak mengulangi tumindak dosa tersebut) sebagai bentuk taubatan nasuha.

Jika tumindak kesalahan kepada Allah swt. Telah dideskripsikan diatas. Lantas bagaimana kesalahan kepada sesama manusia? Jawabnya adalah sesegera mungkin meminta maaf kepada yang menjadi korban atas kesalahan kita. Disinilah esensi memberi maaf, memaafkan karena terkait haqqul adam dan terhindar dari jeratan saling dendam. Namun, terkadang permintaan maaf bertepuk sebelah tangan. Pesan lugas al-Quran, “Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.” (QS. Al A’rof [7]: Ayat 199).

Para ahli psikologi menemukan bahwa saling memaafkan itu mendukung kesehatan mental. Temuan ini menunjukkan bahwa tidak saling memaafkan, dendam akan dekat dengan kebodohan dan ketidaksehatan mental. Tentu kita semua berkeinginan sehat kan? Selain itu, dapat memperkokoh kualitas individu sebagai bagian dari humans as social being.

Selanjutnya, harapan menjadi lebih waspada dan peka atas titik tuju lelaku puasa adalah waspada dan peka terhadap anugerah dan kemurahan Allah swt. yang telah diterima.

Ahsani taqwim, demikian gambaran Allah swt. menciptakan makhluk-Nya yang bernama manusia. Sebaik-baik rupa, bahkan Allah juga telah menganugerahkan kepada manusia potensi yang sangat berharga berupa akal pikiran sehingga manusia dapat membuat pilihan-pilihan terbaik bagi diri, kehidupannya, dan alam semesta.

Perintah syukur dan reward-nya serta punishment bagi yang kufur nikmat secara tegas termaktub pada QS. Ibrahim [14]: 7, “la’in syakartum la’azīdannakum wa la’in kafartum inna ‘ażābī lasyadīd.” yang artinya, “Sesungguhnya   jika   kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”.

Termasuk syukur atas nikmat orang-orang hebat di sekitar kita. Sanak dan keluarga, tetangga, teman dan rekan kerja. Bahkan para pembeci kita. Yang jelas, Allah swt. mengirimkan orang-orang tersebut dekat dengan kehidupan kita.

Syukur itu sendiri merupakan pengalaman religius berkenaan ungkapan terima kasih atas segala nikmat yang telah diberikan oleh  Allah  swt. Ungkapan ini juga bisa disampaikan kepada sesama manusia sebagai bentuk terima kasih. “Tidak dikatakan bersyukur pada Allah bagi siapa yang tidak tahu berterima kasih pada manusia.”  (HR.  Abu  Daud  No.  4811  dan  At-Tirmidzi no. 1954)

Sama halnya dengan istighfar, syukur diawali dengan ungkapan lisan. Mengucapkannya dengan dzikir seperti kalimat alhamdulillah, menautkan dalam hati dan mengekspresikannya dengan amal perbuatan.

Ritual (budaya) penghujung Ramadan dan awal Syawal menjadi aktivitas simbolik penuh makna akan titik tuju lelaku puasa. Zakat (fitrah) sebagai penanda syukur dan semangat berbagi, takbiran bukti menggemakan kebesaranNya, mudik sebagai pengingat asal-usul (kampung halaman adalah kampung akherat kita kelak), halal-bihalal sebagai lambang pengakuan kesalahan kepada sesama yang puncaknya adalah lebaran ketupat/ kupat.

Bagi Kanjeng sunan Bonang (salah satu Walisongo), simbolisasi  dari kupat merupakan singkatan  dari  “laku  sing  papat” yang mengindikasikan empat perbuatan setelah menjalani puasa  Ramadan, yaitu:  manusia  semestinya mengakui  kesalahan,  memohon  maaf  dan  memberi  maaf;  berbagi  kepada  sesama; menjalani hidup  dengan  sikap  sabar  dan  tenang; serta  senantiasa  menjaga  kebersihan  lahir  dan  batin. Laku sing papat adalah titik tuju lelaku puasa, laa’allakum tattaqun.

Jadi puasa adalah sebuah proses untuk mempertajam kepekaan spiritualitas dan sosial dengan titik tuju takwa sebagai sikap batin. Sabda kanjeng Nabi Muhammad saw., “At-taqwa hahuna. Takwa itu ada di sini,” sambil Rasulullah saw. Meletakkan tangan di dadanya. Akhirnya, Wallahu a’lamu bi al-shawab.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *