Gelar Kiai dan Gus dalam Dunia Politik

Slametan

JelajahPesantren.Com    Dalam kehidupan sosial, gelar Kiai dan Gus merupakan gelar sosial yang diberikan sebagai penghargaan atas status atau jasa tertentu yang mempunyai nilai plus dalam kehidupan sosial di lingkungannya, Kedua gelar ini tidak memperhitungkan proses akademik sehingga tidak ada standard atau indikator khusus dalam penyematan gelar tersebut, lebih pada subyektifitas dari sebuah komunitas sosial.

Ada tiga jalur proses penyemaan gelar Kiai, pertama jalur keturunan dan yang kedua jalur keilmuan dan jalur posisi dalam komunitas sosial. Jalur pertama jalur keturunan, dalam artian apabila seseorang terlahir dari orang tua yang berstatus Kiai, maka dia akan bergelar Gus. Ketika Gus sudah memasuki usia dewasa, maka secara otomatis akan disebut Kiai. Terlebih lagi ketika dia sudah menggantikan perang orang tuanya. Tapi ada juga yang terus dipanggil Gus karena lebih nyaman dan melekat panggilan Gus dalam komunitasnya,

Jalur kedua adalah jalur keilmuan, artinya seseorang akan dipanggil Kiai dalam komunitas sosial dikarenakan mempunyai tingkat keilmuan keagamaan yang tinggi. Terlepas apakah dia keturunan Kiai atau bukan. Jalur ketiga adalah jalur posisi dalam komunitas sosial, artinya ketika sesorang menjadi tokoh agama atau mempunyai santri, maka secara otomatis akan menyandang gelar Kiai.

Berbeda dengan gelar Kiai, penyematan gelar Gus lebih pada jalur keturunan. Artinya gelar Gus disematkan pada seseorang karena dia mempunyai jalur keturunan dari Kiai dengan mengesampingkan usia maupun keilmuan, Mulai dari lahir gelar Gus sudah bisa disematkan apabila orang tuanya seorang Kiai.

Kedua gelar di atas merupakan gelar yang cukup berkelas dalam kehidupan sosial, karena akan berimbas pada penghargaan sosial dalam intraksi antar individu sosial. Menariknya, kedua gelar di atas belakangan terkadang dipakai sebagai alat dalam perhelatan politik dalam artian umum.

Dalam pengertian umum, politik bermakna seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional mampun nonkonstitusional. Artinya baik itu berhubungan dengan kekuasan struktural formal maupun kekuasaan dalam strata sosial. Kreatifitas dalam berpolitik menjadi syarat mutlak untuk tercapainya tujuan dari politik itu sendiri. Bukan sesuatu yang tabu dalam politik apa yang sebenarnya tabu dalam etika sosial.

Sebenarnya gelar Kiai atau Gus munculnya dari penilaian orang lain, bukan penilaian diri sendiri, tapi dalam dunia politik bisa saja seseorang dengan tujuan tertentu membisikkan kepada tim suksesnya agar disematkan gelar Kiai atau Gus di depan namanya. Fenomena seperti ini sudah mulai nampak dalam dunia politik secara umum, meskipun dalam konteks masih beberapa kasus saja. Tapi fenomena itu sudah mulai nampak belakangan ini. Jika politik ditafsiri sebagai seni secara umum, maka itu menjadi sah-sah saja dan tentunya bisa dimaklumi dalam dunia politik.

Konsekuensi negatifnya adalah meredupnya kesakralan gelar Kiai dan Gus dalam ranah sosial. Setiap orang akan mudah menyematkan gelar Kiai atau Gus di depan namanya sendiri dengan mengesampingkan indikator sosial yang ada selama ini, Tentunya hanya untuk keperluan sesaat dalam nafsu politiknya.

Semoga fenomena ini tidak berlanjut, semoga ada kesadaran dari individu-individu dan semoga masyarakat memeliki kecerdasan sosial sehingga dapat membedakan Kiai dan Gus yang hakiki dan mana yang Kiai dan Gus politik. Wallahu a’lamu bi al-shawab.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *