Santri, Siswa dan Mahasiswa

JelajahPesantren.Com  –  Pendidikan karakter selalu perlu model, Tanpa adanya model, Pendidikan karakter akan gagal. – Quote

image from: duniasantri.co

Di negeri ini terdapat setidaknya tiga istilah populer bagi para penuntut ilmu. Tiga hal tersebut adalah istilah santri, siswa, dan mahasiswa. Walaupun ketiganya sama-sama subyek pencari ilmu pengetahuan, penamaan yang berbeda dari ketiganya tentunya meniscayakan kemungkinan pemberian makna  yang berbeda pula.

Secara sangat sederhana, perbedaan pertama di antara ketiganya adalah dari sisi jenjang dan status keformalannya. Siswa adalah penuntut ilmu di sekolah formal tingkat dasar dan menengah mulai PAUD/ TK, SD/ MI, SMP/ MTs, SMA/ MA dan SMK. Mahasiswa adalah penuntut ilmu di perguruan tinggi. Sedangkan Santri adalah penuntut ilmu di lembaga pendidikan pondok pesantren.

Dari status kelembagaannya, ketiga pelajar tersebut juga berada pada posisi yang berbeda. Sebagaimana yang kita ketahui bersama, status pelembagaan pendidikan di Indonesia ada tiga jenis, yaitu: pendidikan formal, pendidikan non formal, dan pendidikan informal. Dari tiga klasifikasi ini, predikat siswa dan mahasiswa tergolong pelajar yang menuntut ilmu di lembaga formal, sedangkan santri berada pada kawasan lembaga pendidikan non formal.

Karena status kelembagaan pendidikannya bersifat formal, maka penyandang status siswa dan mahasiswa berlaku hanya pada saat seseorang dinyatakan masih belajar secara aktif dan secara administratif masih terdaftar. Sedangkan santri yang notabene berada pada  lembaga nonformal, status kesantrian biasanya masih melekat pada diri seseorang bahkan setelah yang bersangkutan tidak lagi berada di pesantren.

Siswa dan mahasiswa digembleng dengan kajian keilmuan barat. Mereka diwajibkan untuk menuntaskan kurikulum yang begitu ketat, antara lain karena pembelajaran di dalamnya dibatasi oleh waktu. Dalam kurun waktu 3 tahun seorang siswa SLTP atau SLTA diharapkan sudah bisa menyelesaikan studinya. Begitu juga dengan perguruan tinggi, strata satu-umumnya maksimal 14 semester mereka harus sudah selesai.  Jika tidak, status kemahasiswaannya akan dicabut. Karena pembatasan waktu ini sehingga fokus perhatian dan sistem persekokalahan dan perguruan tinggi  adalah lebih pada target penyelesaian materi atau pelajaran.

Pembatasan waktu seperti yang dikemukakan di atas, tentu berbeda halnya dengan para santri. Pondok pesantren tidak membatasi berapa tahun seseorang harus tinggal di dalamnya. Para santri bisa tinggal di pesantren selama 20 tahun, 25 tahun, bahkan ada yang seumur hidup mereka gunakan waktunya untuk berada di pesantren. Walaupun saat ini dikembangkan jenjang-jenjang muaddalah (penyetaraan) sehingga di lingkungan pesantren pun terdapat madrasah diniyah mulai MI, MTs, maupun MA, selesainya para santri menempuh jenjang-jenjang tetsebut tidak serta merta menjadikan santri bisa langsung keluar atau boyong dari pesantren.

Setelah lulus pada jenjang-jenjang pendidikan diniah tersebut, para santri biasanya masih diminta untuk memperdalam keilmuannya melalui kegiatan pengabdian baik di dalam pesantrennya sendiri ataupun dikirim ke pesantren lain untuk mengembangkan keilmuannya melalui mengajar. Waktu yang digunakan untuk pengabdian pun relatif lama yaitu berkisar 3-5 tahun. Sedangkan masa belajar mengabdi di lembaga formal biasanya dituangkan dalam format PKL (Praktik Kerja Lapangan) atau KKN (Kuliah Kerja Nyata) yang durasi waktunya kisaran 3 – maksimal 6 bulan (1 semester).

Dalam banyak kajian dari hasil research ilmiah disebutkan bahwa motivasi para santri dalam menuntut ilmu lebih mengarah pada hal-hal yang bersifat transendental. Alasan mereka dalam menuntut ilmu pada umumnya karena mencari ridlo Allah swt., mengharap barokahnya ilmu, memupuk akhlak atau budi pekerti yang luhur, dan untuk alasan-alasan dakwah islamiah.

Sementara itu, para siswa atau mahasiswa memiliki tujuan yang lebih kompleks. Umumnya para pelajar atau mahasiswa dipersiapkan untuk mengisi lowongan atau peluang pekerjaan. Bahkan sejak masa sekolah orientasi yang dilakukan oleh lembaga formal adalah bagaimana agar para lulusannya bisa mendapatkan pekerjaan yang layak dan bisa menjadi orang profesional dibidangnya.

Karena tujuan yang cukup “berbeda” itu,  hal yang dikembangkan di dalam pembelajaran di kedua jenis lembaga tersebut juga ada perbedaannya.  Prof. Imam Suprayogo pernah menulis bahwa lembaga formal mengutamakan para pelajarnya agar bisa berpikir sitematis, ilmiah, dan bahkan kritis. Dalam bahasa psikologinya, sistem persekolahaan, banyak mengembangkan jenis otak kiri.  Sementara lembaga pendidikan pesantren terutama pesantren tradisional masih menekankan kepada aspek kepatuhan kepada guru, ustadz, dan terlebih pada kiainya. Para santri tidak hanya di support untuk mencari ilmu, namun juga keberkahan ilmu.

Jangan hanya mengira para Santri hanya identik dengan sarungan, gudikan, dan kepolosan. Ade Marimba, 1974: 73 menjelaskan bahwa sifat-sifat kesantrian menitik beratkan pada akhlak al karimah, menuju kepribadian muslim yang sempurna dengan tiga aspek yang dijiwainya yaitu: aspek akidah, syariah, dan akhlak. Sedangkan KH. Imam Zarkasyi- Pendiri dan pengasuh pondok pesantren Gontor menyebutkan ciri-ciri keperibadian santri dengan istilah panca jiwa, yaitu: jiwa ikhlas, jiwa sederhana, jiwa mandiri, jiwa berukhuwah islamiah, jiwa bebas merdeka. Pengasuh pondok yang sangat terkenal di Jawa Timur ini juga menegaskan bahwa santri itu tubuhnya harus sehat, hatinya bersih dan pikirannya harus merdeka.

Sikap tawadhu’ kepada guru, harapan agar para guru selalu meridhoinya, demi  barokah dan manfaatnya ilmu yang telah didapat, adalah ciri-ciri khas pendidikan ala santri yang dikembangkan dipondok pesantren. Karena aspek-aspek ini pulalah status santri lebih mengarah pada karakter bukan status administratif. Siapa pun yang sangat hormat pada guru, ikhlas dalam berbuat dan beramal, mengembangkan sopan santun serta akhlaq yang terpuji, biasanya masih disebut santri walalu pun mereka sudah tidak di pesantren lagi.

Namun biasanya, orang-orang yang memiliki kriteria santri sebagaimana yang disebutkan dirinya selalu mengaitkan hidupnya dengan pesantren. Hubungannya dengan kiai masih sangat dekat dan terus dijaga hingga akhir hayatnya. Mereka bersilaturahmi dan masih terus sangat peduli pada urusan-urusan kepesantrenan walaupun sudah berstatus sebagai alumni. Kedekatan dengan pesantren sebagai “energi moral” menjadikan para santri akan memiliki kontrol yang baik bagi jiwanya setelah mereka kembali ke Masyarakat.

Sementara itu, alumni para pelajar dari kalangan siswa atau mahasiswa, umumnya memiliki ikatan yang tidak begitu kuat dengan lembaga di mana dia menuntut ilmu. Kentalnya nuansa formalitas dan administratif menyebabkan para alumni pun kurang hubungan emosionalnya dengan para guru maupun dosen. Kedatangan para alumni ke lembaga pendidikan formal sering kali hanya kalau terkait dengan pertemuan reuni. Itu pun sering tidak maksimal kedatangannya. Setelah sekian lama tidak bertemu, banyak di antara mereka, para guru dengan murid, mahasiswa dengan dosennya sudah saling melupakan satu dengan yang lainnya.

Para pelajar dan mahasiswa dipersiapkan untuk menguasai berbagai disiplin ilmu dan keterampilan. Dalam istilah pedagogis, mereka digembleng dari aspek kognitif ( pikiran ) dan psikomotorik ( keterampilan ). Setelah menekankan pada dua aspek ini, diharapkan para siswa atau mahasiswa memiliki  aspek afektif ( perilaku ) yang baik. Dominasi kajian di sistem persekolahan banyak mengarah pada daya-daya visual, kinestetik, auditorial, olfactory, dan gustatory.

Sedangkan di pesantren, sasaran pendidikan diarahkan pada pokok yang bisa mengubah kepribadian manusia yaitu, hati. Pembinaan mental spiritual sangat ditekankan. Akibatnya, para santri memiliki jiwa yang kokoh. Pondasi yang ditanamkan dan ditekankan di pesantren bukanlah ilmu melainkan akhlak. Menurut hemat saya, pola ini harus selalu dipertahankan walaupun pesantren juga mengadopsi berbagai hal baik di sistem persekolahan. Jika tidak dipertahankan, maka keunggulan sistem pendidikan pesantren dengan seluruh tata nilai yang baik yang ada di dalamnya, akan menemui ajalnya. Naudzubillah.

Karakter santri sebagaimana disebutkan di atas, dibentuk melalui pembiasaan riil  yang sangat lama dalam praktik nyata di kehidupan pesantren. Para santri juga mendapatkan keberkahan do’a dari para masyayikh.  Disamping itu, peran ketokohan Kiai sebagai figur karismatik yang dijadikan model atau patron juga sangat dominan dalam membentuk karakter tersebut. Keteladanan inilah yang juga dibutuhkan di lembaga pendidikan formal. Jika hari ini sedang di gembar-gemborkan pendidikan karakter melalui  implementasi kurikulum 2013, keteladanan tetap menjadi kuncinya. Tanpa adanya keteladanan, pendidikan karakter hanya akan seperti menarik bambu dari ujung; sulit dilaksanakan dan rentan akan kegagalan. Wallahua’lam.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *