Syahwat Beragama (1)

JelajahPesantren.Com – “Agaknya orang Indonesia paling Syahwat melibatkan Tuhan untuk hal-hal yang mestinya bisa diselesaikan oleh seorang kepala desa”

Indonesia, saat ini, menjadi negeri yang sangat religius. Pew’s Global Attitude Survey pada Oktober 2019 merilis “which nationalities consider religion most important” dan menyebut Indonesia di posisi teratas kedua setelah Ethiopia sebagai negeri yang menganggap agama sebagai hal sangat penting.

Jika melihat peningkatan yang sangat signifikan dari gairah keberagamaan orang-orang Indonesia dalam 20 tahun terakhir, terutama bagi Islam sebagai mayoritas, data dari Global Institut itu tidak mengejutkan. Pembangunan masjid misalnya, pada tahun 1970-an hingga 1990-an mengalami peningkatan. Robert Hefner, atau yang biasa dipanggil Bob Hefner, antropolog Amerika yang banyak melakukan riset keagamaan di Indonesia, melaporkan jumlah masjid di Jawa Timur meningkat dari 15.575 pada tahun 1973 menjadi 17.750 pada tahun 1979, 20.648 pada tahun 1984 menjadi 25.655 pada tahun 1990.

Saat ini, menurut data Dewan Masjid Indonesia 2018, jumlah masjid di Indonesia mencapai 800 ribu hingga satu juta. Masjid dengan mudah ditemui di kampung-kampung, di kantor, sekolah, mall dan di tiap kompleks perumahan terdapat sedikitnya tiga masjid.

Begitu pula jumlah Majelis Ta’lim (MT) di Indonesia sangat banyak. Data Kementerian Agama 2018 menyebut 250 ribu jumlah MT. Menurut Imam besar Masjid Istiqlal dan mantan Wakil Menteri Agama, Nasaruddin Umar (2018), jika tiap MT memiliki anggota 50 orang, maka terdapat 12 juta 500 ribu anggota MT, yang mayoritas anggotanya ibu-ibu, yang mengadakan pengajian penuh dalam seminggu.

Data Kementerian Agama 2017 tentang jumlah Pesantren di Indonesia juga menunjukkan peningkatan yang sangat menakjubkan. Pada tahun 1977 jumlah pesantren hanya sekitar 4.195. Pada 1985 jumlahnya naik menjadi 6.239. Pada 1997 jumlah pesantren naik mencapai 224% atau 9.388. Pada 2001 naik lagi menjadi 11.312. pada 2005 jumlah pesantren naik lagi menjadi 14.798. Pada 2016 naik lagi secara signifikan menjadi 28.194 pesantren dengan jumlah santri mencapai hampir 5 juta orang. Selain pesantren, terdapat ribuan Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah non-pesantren, negeri dan swasta, yang tersebar di seluruh Indonesia dengan jumlah jutaan pelajar.

Selain lembaga keagamaan di atas, Kementerian Agama juga memiliki 58 universitas Islam negeri dan Institut Islam negeri yang tersebar di seluruh Indonesia. Selain universitas Islam negeri, Muslim Indonesia juga memiliki Universitas dan Sekolah tinggi Islam swasta yang berafiliasi kepada Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyyah. Asosiasi Perguruan Tinggi Nahdlatul Ulama misalnya, mencatat terdapat 111 perguruan tinggi di bawah NU. Sementara Pengurus Pusat Muhammadiyyah pada 2018 merilis jumlah Pendidikan tinggi di bawah Muhammadiyyah sebanyak 174. Tentu terdapat jutaan pelajar Muslim yang belajar di perguruan tinggi Islam negeri dan kedua organisasi Islam terbesar itu.

Dalam hal religiusitas di wilayah publik, Direktorat Jenderal Industri Kecil Menengah, Kementerian Perindustrian bekerjasama dengan Asosiasi Perancang Pengusaha Mode Indonesia, mencatat pada 2017 terdapat 20 juta perempuan Indonesia yang memakai hijab (sangat mungkin faktanya lebih dari angka itu). Meski fakta sosial mengkonfirmasi data itu, tetap saja angka 20 juta itu sangat mencengangkan.

Hampir di semua kantor dan sekolah negeri dan swasta, juga perguruan tinggi, kita menyaksikan sebagian besar Muslimah Indonesia memakai jilbab atau hijab, satu pemandangan yang mustahil terjadi pada era 1970-an dan 1980-an, apalagi masa-masa sebelum itu.

Sepanjang periode kolonialisme Belanda hingga dasawarsa pertama Orde Baru misalnya, umat Islam sering dipandang sebagai kelompok yang “miskin, kumuh, bodoh dan terbelakang”. Pada sepanjang periode ini, tak ada priyayi atau orang kaya yang berani menggunakan simbol-simbol Islam seperti memakai “kerudung” atau “sarung” atau berjalan sambil “memeluk al-Qur’an di dada” karena takut dicap sebagai kelompok yang bodoh dan terbelakang. Almarhum Doktor Alfian, peneliti senior LIPI, dalam Disertasinya tentang politik kaum modernis di masa kolonial Belanda (2010), menggambarkan masa-masa ketika kaum Muslim berada pada fase “miskin, bodoh, dan terbelakang”, misalnya soal kehidupan miskin santri di Banten, Alfian mengutip catatan Pangeran Aria Ahmad Djajadiningrat:

“…Pada hari pasaran kami (para santri) diizinkan pergi ke Serang (ibukota Banten) untuk mencari cabai merah dan garam serta bahan-bahan makanan murah lainnya. Semua itu tidak dibeli melainkan diperoleh dengan mengemis. Mengemis merupakan keharusan bagi seorang santri, karena dia sama sekali tidak mempunyai uang. Jika dia ingin makan lebih enak, maka dia harus mengemis kepada setiap keluarga kaya dan dermawan di kota”.

Alamsjah Ratuperwiranegara, Menteri Agama periode 1978-1983, juga bercerita (1997) bahwa dahulu seorang pribumi yang terpelajar dan terhormat (karena sekolah di sekolah Belanda dan fasih berbahasa Belanda) jika ingin sembahyang ke masjid, maka ia berangkat dengan berjalan kaki atau naik delman menuju masjid (meskipun punya mobil). Mobilnya ditinggal di rumah. Sesampainya di masjid ia akan mengganti celananya dengan sarung, dan setelah sembahyang sarung itu dilipat dan ia kembali memakai celananya. Jika ditanya tentang agamanya, maka sang pribumi tidak akan mengaku sebagai Muslim. Ia merasa malu menunjukkan identitasnya sebagai muslim atau santri karena lebih pintar, kaya, dan berpendidikan dibanding mayoritas Muslim saat itu yang bodoh, miskin dan kotor. Tetapi, bumi berputar, dunia berubah.

Kini kaum santri malah menjadi kelas menengah dan atas Indonesia: menjadi pengusaha, intelektual, birokrat, teknokrat, menteri, Wakil Presiden (Kyai Ma’ruf Amin) dan bahkan Presiden (Gus Dur). Orang-orang kaya dan terpandang, kaum selebritis serta sosialita perkotaan kini ramai-ramai memakai jilbab dan hijab. Pakaian Islami dan pernak-pernik Islam menjadi ukuran status sosial mereka sebagai orang terpandang.

Kenyataan Islamisasi yang massif di atas memunculkan apa yang saya sebut budaya “serba agama” (everything is religious). Dalam masyarakat yang sangat religius, semua hal yang berbau agama akan ramai disambut. Tidak semata “komodifikasi agama” atau berbisnis dengan label agama, “politisasi agama” atau berpolitik praktis demi meraih kekuasaan dengan cara menggunakan sentimen agama, kampanye tentang “Islam yang otentik dan kaafah” sedangkan yang di luar kelompoknya bukan Islam yang otentik, serta “kultus kepada orang-orang suci” (Wali), tetapi juga memunculkan fenomena “nabi-nabi baru”. Tesis Al-Makin dalam Nabi-Nabi Nusantara (2017) menunjukkan bahwa hanya di tengah masyarakat yang religius akan selalu muncul nabi-nabi baru di Nusantara. Pada masyarakat yang sekuler seperti di Eropa Barat misalnya, akan sulit muncul nabi atau orang suci yang dikultuskan, wong masyarakatnya gak percaya agama kok.

Kita menyaksikan kebudayaan Indonesia hari ini adalah kebudayaan religius yang merasuki banyak aspek kehidupan, termasuk munculnya fenomena “agamaisasi” pada hal-hal yang sebenarnya bukan di wilayah agama. Misalnya, saya pernah masuk ke dalam Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN). Di dalam gedungnya terdapat baliho besar yang bertuliskan “Hikmah kewajiban berjilbab seperti termaktub dalam surat An-Nur ayat 31”.

Hikmah itu kemudian dijelaskan secara detail dalam baliho besar sekolah itu. Jadi sebenarnya itu sekolah menengah kejuruan/keahlian atau sekolah agama? Mengapa yang dikampanyekan bukan etos keilmuan atau teori-teori sains yang bisa menginspirasi para siswa di sekolah keahlian/kejuruan itu? Ini satu contoh saja. Ada banyak contoh-contoh lain di wilayah dan area yang semestinya bersifat sekuler atau profan tetapi diisi dengan konten religius. Itulah yang kemudian memunculkan parodi kutipan di atas dari sastrawan Remy Silado bahwa hal-hal yang sebenarnya bisa diselesaikan oleh ketua RT tapi harus diurus oleh tuhan (agama).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *